24 July 2008

Burger Kill Terilhami Eksekusi Mati

Sebuah surat elektronik dari Eben, gitaris Burger Kill kepada saya. Ia mengatakan, tersentuh dengan eksekusi mati Sumiarsih dan Sugeng. Mereka ingin membuat sebuah lagu.

Saat tengah menanti detik-detik eksekusi mati terhadap dua jagal keluarga Purwanto, Sumiarsih dan Sugeng, iseng-iseng saya membuka website Burger Kill. Ini band metal asal Ujungberung Bandung yang membuat saya terkesan dengan lagu Tiga Titik Hitam.
Saya menulis email untuk mereka:
Bung,

Kenalkan saya Oryza Ardyansyah Wirawan, reporter beritajatim.com, sebuah media online terbesar di Jawa Timur.

Saya mengetik surat untuk Anda pukul 23:35, Jumat malam, 18 Juli 2008. Saat ini, kami semua, wartawan di Surabaya tengah tegang menantikan detik-detik eksekusi dua terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng. (Anda bisa baca di media massa).

Anda tahu, saya menulis kisah detik-detik kematian kedua orang itu di tangan eksekutor dengan mendenmgarkan lagu Anda:

TIGA TITIK HITAM

Barusan ini, pintu gerbang Rumah Tahanan Medaeng sudah terbuka. TIGA TITIK HITAM langsung saya setel keras-keras di kantor.

Saya menghayati, dua orang dengan oenuh rasa takut berjalan masuk ke mobil. Menuju tempat eksekusi.

Mata ditutup.

Menghadap regu tembak

dan BERTERIAKKK...

TERIAKKAN NAMAMU
DI KESUNYIAN HATIKU
MERABA MERANGKUL SURYAMU
DI KEHANGATAN JIWAMU...

Kematian mengerikan, Bro...
Mengerikan, Bro...

Saya akan selalu terkenang momen ini.... Dan salah satunya dengan lagu Anda....

NB:
Salam untuk semua, jangan sungkan balas email saya.

Warm regard
Di kehangatan jiwamu


Email saya dibalas oleh Eben, gitaris Burger Kill. Dia mengatakan:

Hi Oryza...

Sebelumnya terimakasih untuk waktunya menuliskan cerita ini kepada kami, mmmm... jujur saja kami sedikit kaget membacanya, benar2 kejadian yang sangat memilukan hati dan sangat menyentuh. Kami sempat membahas cerita ini bersama2 dan coba kami angkat menjadi sebuah wacana untuk penulisan lirik. Yah mudah2an saja mereka yang telah pergi bisa mendapat tempat terbaik disisi-Nya dan diampuni segala dosa2nya.

Sekali lagi terimakasih banyak untuk segalanya, mudah2an kita bisa bertemu di lain waktu dan membahasnya bersama2 :) ok! Please keep in touch, Take care...
(*)

2 comments:

Anonymous said...

Ja, kamu merasa tersentuh dengan eksekusi mati sumiasih dan sugeng. Kamu dan semua orang hanya melihat apa yang dirasakan sumiasih dan sugeng pada bulan Juni 2008, mengapa kamu dan mungkin juga si Eben tidak mencoba merasakan apa yang dirasakan sumiasih, sugeng, dan juga prayit dan adi saputro pada tahun 1988. saat mereka membunuh lima orang dengan menggunakan sebuah palu.....
apakah sumiasih dan sugeng merasakan ketakutan. apakah mereka merasakan adanya Tuhan. aku tidak yakin.....
aku yakin pada tahun 1988 - aku lupa bulannya - dalam dada sumiasih dan sugeng, dan juga prayit hanya ada benci dan dendam, dan tentu saja syetan...
mengapa banyak orang selalu melihat seorang penjahat pada saat akan divonis. tertunduk, menangis, tampil dalam wajah suci dan baik hati. mengapa tidak dilihat saat kejahatan dilakukan, kejam, bengis, dan sadis....

Oryza Ardyansyah Wirawan said...

Mas Ucup yang baik, sepertinya sampeyan salah kira, atau mengambil kesimpulan terlampau cepat.

Saya hanya menuliskan apa yang saya rasakan ketika hukuman mati terjadi. Saya pikir ngeri juga saat kita tahu mau mati kapan, dan dengan cara bagaimana kita mati.

Ditembak. Tepat di jantung. Bahkan info terakhir yang saya dapat, jantung Sumiarsih jebol kena tembus beberapa peluru.

Apakah itu berarti saya bersimpati dengan mereka? Agaknya ini yang harus dibedakan. Saya salah satu orang yang mendukung hukuman mati tetap diberlakukan di Indonesia, terutama untuk pembunuhan sadis, terencana, dan para bandar gede narkoba.

Sugeng dan Sumiarsih layak dihukum mati. (Saya membaca berita soal pembunuhan yang mereka lakukan ketika kelas lima SD.)

Hanya yang saya sayangkan, kenapa eksekusi harus menunggu selama 20 tahun. Saya berharap, jika Ryan si jagal Jombang dieksekusi kelak, tidak usah menunggu 20 tahun.

Terima kasih.