13 June 2008

Rabuk Haram di Tanah Terlarang

Pesanggem dianggap sebagai faktor X kelangkaan pupuk bersubsidi. Pemerintah diragukan bisa membendung masuknya pupuk bersubsidi ke hutan rimba milik Perhutani.

Di hutan rimba, para petani hutan, atau biasa disebut pesanggem, memanen kemakmuran hari-hari ini. Harga kopi di pasaran tengah terkerek naik. Kini tinggal berhitung, berapa tebal kocek mereka nanti.

Kalau dikalkulasi, semua pesanggem yang tergabung dalam lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dan bergiat dalam budidaya kopi, bisa menghasilkan 300 ton kopi per tahun. Satu hektare lahan bisa menghasilkan 12 kuintal biji kopi. Dengan biaya produksi Rp 2 - 3 juta per hektare, petani bisa meraup pemasukan Rp 40 - 50 juta per hektare.

Dari 49 LMDH di Jember, sebanyak 18 lembaga di antaranya menggarap tanaman kopi. Mereka bercocok tanam di lereng Argopuro, Raung, daerah Baban Silosanen, dengan rata-rata luas di kawasan pemangku desa 600 - 1.500 hektare.

Ketua Forum Komunikasi LMDH Imam Buchori mengatakan, dua tahun terakhir ini harga kopi rakyat memang cenderung bagus, antara Rp 18 ribu - 25 ribu per kilogram. "Sekarang petani sedang masa panen, namun belum panen raya," katanya.

Mereka menjual hasil panen kepada pedagang di kecamatan Tanggul Jember dan kecamatan Dampit, Malang. Model penjualan berjalan alamiah, tanpa ada informasi pasar yang akurat dan terorganisir sebelumnya.

Namun di tengah kegembiraan para pesanggem itu, kehadiran tanaman kopi di rimba raya menyisakan persoalan. Baik persoalan budidaya maupun persoalan pasca panen.

Persoalan pasca panen di antaranya adalah proses pengeringan biji kopi sebelum dijual. Selama ini petani masih mengeringkan biji kopi secara alamiah, yakni dengan bantuan sinar matahari. Pemerintah diminta membantu para petani hutan dengan mengupayakan alat pengering yang bagus sekaligus alat pemecah biji kopi.

"Kami juga berpandangan sudah saatnya petani memperhatikan pengemasan," kata Buchori. Pengemasan akan membantu menaikkan nilai produk. Petani juga menginginkan kestabilan harga.

Namun persoalan paling gawat sebenarnya adalah persoalan yang muncul saat proses budidaya. Salah satu persoalan adalah masih adanya potensi benturan antara petani dengan petugas Perhutani di lapangan.

Buchori mengatakan, petani LMDH memang menanam di lahan hutan produksi, bukan hutan lindung. Penanamannya pun hanya dilakukan kawasan yang memang menjadi wilayah kerjasama dengan Perhutani.

Namun, terjadi perebutan ruang tanaman antara petani dengan Perhutani. Perhutani menginginkan agar kualitas pepohonan di hutan diperbaiki, sehingga jarak antar pohon lebih rapat. Sementara petani memandang semakin rapat pepohonan akan semakin merugikan mereka, karena tanaman kopi butuh banyak cahaya matahari.

Memang di sejumlah tempat, ada bagi hasil antara petani dengan Perhutani, di mana Perhutani mendapat bagian 15 persen dari panen. Tapi sejatinya, Perhutani lebih menghendaki hutan tetap ditumbuhi tegakan pohon daripada tanaman kopi.

Kepala Perhutani Jember Taufik Setyadi pernah mengatakan kepada saya, keberadaan pohon kopi di hutan adalah titik kompromi antara pihaknya dengan masyarakat. Namun sejatinya keberadaan tanaman kopi merugikan dan tak seharusnya ditanam di wilayah hutan.

"Ini yang masih harus disinergikan. Ke depan, kami ingin menanam kopi tahan naungan sebagaimana yang dikembangkan di Bandung Selatan. Harganya cukup bagus," kata Buchori. Pergantian jenis tanaman ini akan dilakukan secara bertahap.

Persoalan lain yang tak kalah merepotkan adalah masalah pupuk bersubsidi. Anggota Komisi B DPRD Jember Jufriyadi menyatakan, pesanggem adalah faktor X yang memicu kelangkaan pupuk bersubsidi selama ini.

Imam Buchori membenarkan bahwa pesanggem merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelangkaan pupuk bersubsidi. Diperkirakan sekitar 15 – 20 persen pupuk bersubsidi lari ke hutan, digunakan petani yang bercocok tanam di sana.

“Kami berharap lebih diperhatikan dalam hal pupuk bersubsidi. Pupuk langka karena kemungkinan lari ke petani yang menanam kopi di hutan,” kata Buchori.

Petani hutan membutuhkan setidaknya 1 – 2 kuintal urea per hektare tanaman kopi. Padahal, diperkirakan kawasan kopi yang dikembangkan dalam hutan mencapai 600 – 1.500 hektare.

Jika dibandingkan dengan kebutuhan petani di sawah, sebenarnya kebutuhan urea petani hutan memang rendah. Anwar Giono, distributor dari CV Arta Guna, menginformasikan, bahwa petani tembakau membutuhkan 8 kuintal urea, kubis 2 ton urea, padi 5 kuintal, dan jagung 8 kuintal untuk setiap hektare lahan. Kecilnya dosis urea dikarenakan lahan hutan masih subur.

Namun sekecil apapun, masuknya pupuk bersubsidi ke hutan tetap saja bikin masalah. Pasalnya, pemerintah tidak pernah memasukkan kebutuhan para pesanggem ini dalam daftar usulan jumlah pupuk bersubsidi yang diajukan pemerintah Jember ke pusat.

Buchori meminta pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada para pesanggem untuk ikut menikmati pupuk bersubsidi. “Kami secara lisan beberapa kesempatan menyampaikan masalah ini. Tapi belum direspons,” keluhnya.

Buchori menolak jika dikatakan keberadaan pesanggem ilegal semua. Petani hutan yang tergabung dalam LMDH sudah bekerjasama dengan Perhutani.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jember Dwidjo Sulastyono tersenyum geli saat mendengar kemungkinan pesanggem di wilayah hutan Perhutani memperoleh pupuk bersubsidi secara resmi.

Dengan tegas Sulastyono menolak memberikan pupuk bersubsidi kepada pesanggem atau petani yang bercocok tanam di dalam kawasan hutan. Pemberian pupuk bersubsidi untuk pesanggem adalah pelanggaran. “Kalau mereka dapat subsidi, maka ya memperkaya BUMN. Seharusnya yang mbandani (memodali) mereka ya BUMN bersangkutan,” katanya.

Badan usaha milik negara (BUMN) yang dimaksud Sulastyono adalah Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Informasi yang diperoleh Sulastyono dari Perhutani, sebanyak 11 ribu hektare lahan hutan diusahakan untuk kopi.

Bagi hasil antara Perhutani dengan pesanggem bikin Sulastyono tidak sreg memberikan pupuk bersubsidi ke hutan. “Sepanjang tak bagi hasil, ayo. Tapi kalau bagi hasil memperkaya BUMN, kan kacau,” katanya.

Harga pupuk bersubsidi adalah Rp 1.250 per kilogram, dan urea non subsidi adalah Rp 3.750 per kilogram. “Ini Rp 2.500 per kilogram subsidi kalau masuk ke kantong yang mampu, kan kasihan petani,” kata Sulastyono.

Tahun ini Dishutbun telah merencanakan penyaluran 4.291,07 ton urea bersubsidi kepada petani kopi rakyat di 5.363,84 hektare lahan. Semuanya lahan di luar hutan.

Sulastyono menginginkan penegakan hukum yang tegas. Penyalur pupuk harus selektif benar dalam menjual pupuk, dan jangan sampai lari ke hutan. “Makanya harus pakai rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). RDKK itu pengendali,” katanya.

Taufik Setyadi dalam suatu kesempatan pernah mengatakan kepada saya, bahwa pembelian pupuk bersubsidi dilakukan petani hutan sendiri dan bukan Perhutani. Perhutani malah menginginkan pupuk organik, mengingat kondisi tanah hutan masih bagus.

Sikap Dishutbun ini dikecam oleh Jufriyadi. Pemerintah Kabupaten Jember dinilainya tidak boleh lepas tangan dalam menangani urusan petani hutan. Selama ini, karena petani hutan lebih banyak berdiam dan mencari nafkah di area hutan Perhutani, Pemkab cenderung tidak banyak terlibat dalam pembinaan.

Jufriyadi dengan terang-terangan menyatakan Pemkab belum punya data jelas dan definisi petani hutan yang menjadi tanggungjawab pemerintah. "Padahal tanggungjawab pembinaan mereka ada pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun)," katanya.

Pemkab disarankan membantu petani hutan yang bercocok tanam kopi dengan jalan menyediakan mitra usaha dan peralatan khusus. Keberadaan mitra usaha dalam hal perdagangan akan membuat petani hutan tidak terombang-ambing harga kopi di pasaran.

Dishutbun juga disarankan memperkuat wadah petani kopi yang sebagian adalah petani hutan. Pembinaan hanya efektif jika dilakukan melalui kelompok, dan bukan perorangan. "Terakhir, harus ada alokasi anggaran APBD untuk bantuan bagi petani kopi di hutan. Bantuannya bisa berupa program dan peralatan pendukung," kata Jufriyadi.

Jufriyadi mencontohkan pembinaan untuk petani tebu. Petani tebu yang berjasa dalam meningkatkan produksi gula nasional menikmati sejumlah fasilitas.

Namun bagaimana dengan masalah rabuk bersubsidi? Ini yang masih repot. Jufriyadi memandang pemerintah seakan tak mau melihat realitas keberadaan pesanggem dan adanya fakta bahwa mereka juga menikmati pupuk bersubsidi.

Pemerintah Kabupaten Jember justru menggadang-gadang juru selamat baru untuk menekan kebocoran pupuk bersubsidi ke pihak di luar petani resmi dan mengantisipasi kelangkaan. Juru selamat itu bernama rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Sejak bulan Juli, pembelian pupuk bersubsidi harus didasarkan pada RDKK petani.

Asisten Bagian Ekonomi Pemerintah Jember Edi Budi Susilo menjelaskan, sebelumnya RDKK tidak diberlakukan. “Pupuk Kaltim maupun Petrokimia belum menetapkan suplai pupuk berdasarkan RDKK. Yang kita tetapkan adalah usulan dari SKPD (dinas teknis),” katanya.

Penerapan RDKK akan diberlakukan Pupuk Kaltim yang mendistribusikan urea di Jember. Sementara Petrokimia masih belum akan menerapkannya.

Teknik distribusi sesuai RDKK ini didasarkan pada evaluasi terhadap fenomena menghilangnya pupuk di pasaran. Selama ini distributor merasa sudah menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai kuota. Namun petani merasa terus kekurangan.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa opini kelangkaan pupuk terbentuk karena adanya indikasi perubahan pola tanam dari satu komoditas ke komoditas lain. Kedua, ada indikasi telah terjadi kepanikan pasca kenaikan harga bahan bakar minyak yang mengakibatkan pembelian pupuk besar-besaran oleh petani.

Dengan adanya RDKK, maka kios resmi bisa menjual pupuk kepada petani sesuai kebutuhan dan sasaran. Di luar jumlah kebutuhan dan sasaran yang tercantum dalam RDKK tidak akan diperbolehkan.

Oleh sebab itu, petani yang belum bergabung dengan kelompok tani diminta segera bergabung. “Petani harus masuk kelompok tani, sehingga memudahkan pengendalian pupuk bersubsidi ini,” kata Edi.

Petani juga diharapkan tidak begitu saja mudah berubah komoditas. Jika nanti perubahan komoditas ini tak sesuai dengan RDKK dan menyebabkan kebutuhan pupuk tak tercukupi, maka risiko itu ditanggung petani bersangkutan.

Bakal saktikah sang juru selamat ini? Ini yang harus ditunggu. Pagi-pagi, wakil rakyat di DPRD Jember sudah meragukan keampuhan RDKK, terutama untuk mencegah pupuk bersubsidi masuk ke hutan.

Jufriyadi menyebut solusi RDKK sebagai solusi yang lucu. RDKK bersandar pada rapat kelompok tani dan bukan hanya ditentukan pengurus kelompok tani. Namun kenyataannya, di Jember, sebagian besar kelompok tani tidak sehat.

“Saya jamin RDKK akan amburadul. Kita ambil contoh saja pembagian benih bersubsidi kemarin yang berdasarkan kelompok tani, muncul persoalan di mana-mana. Kalau mau pakai RDKK, sehatkan dulu itu kelompok tani. Di sini peran petugas penyuluh lapang penting,” kata Jufriyadi.

Menurut Jufriyadi, boleh saja pemerintah menyatakan petani hutan tidak boleh menggunakan pupuk bersubsidi. “Tapi apa dijamin, pupuk bersubsidi tak bakal keluyuran ke hutan? Apa Perhutani mampu mengontrol? Wilayah pembinaan petani hutan ada pada Dishutbun, bukan Perhutani,” katanya, keras.

Rendra Wirawan, anggota Komisi B dari Fraksi Demokrat Amanat Bangsa, menganggap RDKK hanya solusi awal dan bukan final. Ia meminta ada pemerataan distribusi pupuk bersubsidi.

Sementara, anggota Komisi B dari Fraksi PPP Samuji Zarkasih mendesak agar Pemkab Jember mengeluarkan peta lokasi lahan yang diberi pupuk bersubsidi, sebagaimana dilakukan untuk petani tebu. Ini terkait dengan masalah kepemilikan lahan, agar pupuk bersubsidi tepat sasaran. (*)

No comments: