30 June 2008

Espana...Turkiye...

Piala Eropa 2008 dimenangkan oleh sepakbola indah. Prediksi saya meleset. Namun saya benar ketika memperkirakan kejutan staying power muncul dari Turki.

Saat menyaksikan Fernando Torres melesakkan bola ke gawang Lehmann, hati kecil saya berkata: Spanyol bakal juara. Gol menit ke - 33 itu, kalau menyitir bahasa anak gaul, Torres banget.

Bola umpan panjang. Torres berlari. Philip Lahm mencoba menghalangi. Tapi Lham terlalu mungil. Torres ambil bagian belakang Lahm. Lehmann maju. Torres meloncat, dan bola disontek. Gol.

Torres bangeet! Sebagai penggemar berat Liverpool dan pendukung Jerman, saya suka Torres akhirnya bikin gol dengan gayanya itu.

Atas nama keadilan sejarah, Spanyol memang layak menang. Dalam setiap turnamen, Piala Dunia dan Eropa, mereka selalu jadi favorit. Namun menembus semifinal pun anak-anak Matador kesulitan. Untuk Piala Eropa, mereka sudah menanti 44 tahun untuk bisa menggondol tropi itu lagi.

Saat Michel Platini menyerahkan piala itu di podium kepada sang kapten Iker Casillas, dua jarinya diacungkan. Dua kali. Spanyol sudah juara dua kali, dalam rentang waktu berjauhan.

Atas nama keadilan sepakbola indah, Spanyol memang layak menang. Saya sempat kecewa berat sepakbola mafia Italia yang tidak jantan dan suka intrik bisa juara Piala Dunia 2006. Saya juga terkejut bukan main saat Belanda yang sudah mengembalikan Total Voetbal tumbang. Harapan sepakbola memang hanya pada Spanyol yang konsisten sejak awal turnamen.

Bagaimana dengan Turki? Sayang bukan mereka yang juara. Padahal, jika Turki juara, maka sepakbola indah dan bersemangat tetap jadi pemenang. Sepanjang Piala Eropa ini, tidak pernah saya melihat tim dengan semangat dan staying power seperti Turki. Jerman sekalipun, bagi saya, seperti bukan siapa-siapa ketika berhadapan dengan Turkiye.

Jerman boleh menang 3 - 2. Tapi ingat, Turki bermain dengan keterbatasan pemain. Sembilan pemain inti mereka tidak bisa dimainkan. Itu pun Jerman kocar-kacir. Dipaksa berlari ke sana kemari.

Turki nyaris bikin kejutan lagi, saat pada menit 86 bisa bikin gol yang menyamakan kedudukan 2 - 2. Sayang, si kecil Lahm bergerak cepat dan menjebol gawang Rustu tiga menit kemudian.

Saya suka Turki yang selalu bisa membalik keadaan beberapa kali. Jika Tuhan menurunkan sepakbola dengan keajaiban, saya percaya, keajaiban tersebut salah satunya disematkan pada Turki. Keajaiban bahwa takdir masih bisa diubah sebelum peluit panjang berbunyi.

Saat berhadapan dengan Swiss, Turki menang 2 -1 pada menit akhir setelah sempat tertinggal. Saat berhadapan dengan Ceko, Turki lebih gila lagi. Tertinggal 0 - 2 hingga pertengahan babak kedua, Turki masih bisa menang 3 - 2 di menit terakhir.

Slaven Bilic, pelatih Kroasia, jadi korban tragis Turki berikutnya. Berjingkrak kegirangan dan berpikir akan masuk semifinal setelah Kroasia unggul 1 - 0 pada menit 89, Bilic hanya bisa terpekur saat dengan ajaib Turki menyamakan kedudukan 1 - 1 pada menit 91. Adu penalti. Kroasia habis.

Piala Eropa berakhir. Piala Dunia dua tahun lagi. Saya berharap Piala Dunia akan menghadirkan keajaiban dan keindahan sepakbola sebagaimana Piala Eropa. (*)

No comments: