13 June 2008

Maklumat Ke-Indonesia- an

Kita bersama-sama di sini, untuk menegaskan kembali
Indonesia tempat kita berdiri. Indonesia sebagai
sebuah warisan yang berharga, tapi juga sebuah
cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para
pendahulu, tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak..

Kita bersama-sama di sini, untuk menyadari kembali,
bahwa Indonesia adalah satu prestasi sejarah namun
juga proyek yang tak mudah. Dalam banyak hal,
tanahair ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat,
sebuah negeri, memang proses yang tak akan kunjung
usai. Seperti dikutip Bung Karno, bagi sebuah bangsa
yang berjuang, tak ada akhir perjalanan.

Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa
bangga tapi juga trauma, tersentuh semangat yang
berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk.

Namun baik atau buruk keadaan kita, kita bagian dari
tanahair ini dan tanahair ini bagian dari hidup kita:
‘Di sanalah kita berdiri, jadi pandu Ibuku’…

Di sanalah kita berdiri: di awal abad ke-21, di sebuah
zaman yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah
hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar
yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun
akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang
dicita-citakan. Abad yang penuh harapan, tapi juga
penuh korban. Abad sosialisme yang datang dengan
agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut.
Abad kapitalisme
yang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi
memperburuk ketimpangan sosial dan ketakadilan
internasional. Abad Perang Dingin yang tak ada
lagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah
dan besi. Abad ketika arus informasi terbuka luas,
tapi tak selalu membentuk sikap toleran terhadap yang
beda.

Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan
berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang
manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan
politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan
baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama
ditemukan.


Kini makin jelas-lah, tak ada doktrin yang mudah dan
mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada
formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang
menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus
selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus
selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan
sumber-sumber kreatif yang beraneka..

Sejarah mencatat, Indonesia selalu mampu untuk
demikian – sebab Indonesia sendiri, 17 ribu pulau yang
berjajar dari barat sampai ke Timur, adalah sumber
kreatif yang tumbuh dalam kebhinekaan.

Para ibu dan bapak pendiri republik dengan arif
menyadari hal itu. Itulah sebabnya Pancasila digali,
dilahirkan, dan disepakati di hari ini, 61 tahun yang
lalu..

Tidak, Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir
dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari
benturan kepentingan, sumbang-menyumbang gagasan,
saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Dengan
demikian ia mengakui perbedaan manusia dan
ketidak-sempurnaann ya. Ia tak menganggap diri doktrin
yang maha benar.

Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya,
sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang
menganggap diri maha benar.

Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama
–sebagaimana Indonesia tidak pernah dan tidak hendak
mendasarkan dirinya pada satu agama apapun. Nilai
luhur agama-agama menghilhami kita, namun justru
karena itu, kita mengakui keterbatasan manusia.
Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa
memaksa, berhak memonopoli kebenaran, patut menguasai
percakapan.


Maka hari ini kita tegaskan kembali Indonesia sebagai
cita-cita bersama, cita-cita yang belum selesai. Maka
hari ini kita berseru, agar bangun jiwa Indonesia,
bangun badannya, dalam berbeda dan bersatu!

Jakarta, 1 Juni 2006.

Goenawan Mohamad

No comments: