03 June 2008

Hikayat FPI Berwajah Damai di Jember

FPI Jember menjadi FPI pertama di Indonesia yang membubarkan diri. Eksperimen wajah damai FPI yang digagalkan keadaan.

Saya sedang menyantap lalapan ayam goreng di sebuah warung di jalan Kalimantan, saat serombongan beratribut PKB memacu sepeda motor mereka ke utara. Saya mendadak yakin: mereka pasti ke kantor Dewan Pimpinan Cabang PKB Jember.

Saya telpon Ahmad Halim, salah satu anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Jember. "Ya mau nyerbu FPI," katanya.

Senin malam, saat menonton wawancara TV One dengan Ketua Front Pembela Islam Habib Riziq, saya sudah memperkirakan, besok pagi kantor FPI pasti bakal digeruduk massa pendukung Abdurrahman Wahid.

Betapa tidak. Riziq dengan berani mengatakan Wahid buta mata dan buta hati. "Dia kan antek Yahudi," sergahnya.

Saya mempercepat sarapan pagi. Di halaman kantor DPC PKB sudah berkumpul puluhan atau bahkan ratusan orang dengan membawa bendera Partai Kebangkitan Bangsa, Gerakan Pemuda Ansor, dan bendera Nahdlatul Ulama.

Saya masuk ke salah satu ruangan dan bertemu dengan Sekretaris PKB Jember Ayub Junaedi, koordinator aksi Satuan Tugas PKB Hafidi, dan Ketua GP Ansor Jember Babun Suharto. Ayub menjelaskan kepada petugas kepolisian, bahwa mereka akan langsung berkonvoi menuju kantor FPI di kampung Kauman, kelurahan Mangli.

Konvoi massa PKB menarik perhatian orang banyak. Di bawah kawalan mobil polisi, konvoi itu mendapatkan privelese layaknya pejabat negara: bisa menerabas lampu lalu lintas. Banyak juga di antara penunggang sepeda motor itu yang tidak berhelm.

Di Kauman, sejumlah petugas kepolisian sudah berjaga. Massa langsung merangsek masuk. Polisi bersiaga. Hanya ada beberapa orang perwakilan demonstran yang bisa meneruskan perjalanan ke rumah Habib Abubakar, pimpinan FPI Jember.

Rumah Abubakar terletak di sebuah gang sempit. Di sebelah rumahnya ada musola Miftahul Jannah.

Rumah itu tidak istimewa. Ruang tamunya hanya dilengkapi karpet. Tanpa kursi.

Abubakar menyambut Sekretaris PKB Ayub Junaedi, Ketua Ansor Babun Suharto, dan koordinator aksi Garda Bangsa Hafidi dengan senyuman. Ia menyalami dengan hangat ketiga tamunya itu.

Ini kunjungan kedua Ayub Junaedi dan kawan-kawan ke rumah Abubakar sejak dua tahun silam. Tahun 2006, massa pendukung Abdurrahman Wahid menyerbu markas FPI di Mangli itu. Massa tersinggung dengan tindakan FPI di Jawa Tengah yang dianggap menghina Gus Dur dalam sebuah forum seminar.

Sempat terjadi kericuhan dalam penyerbuan tersebut. Saat itu, dalam pertemuan yang berlangsung panas di ruang tamu Abubakar, para pendukung Gus Dur mendiktekan surat pernyataan permintaan maaf yang harus ditandatangani sang habib.

Seperti dejavu, peristiwa itu terulang kembali. Selasa siang tadi, massa pendukung Gus Dur kembali datang. Warga di sekitar markas FPI bermunculan untuk melihat. Namun tak ada kericuhan.

Begitu datang, Hafidi langsung menanyakan sikap Abubakar terhadap aksi kekerasan FPI di Monas, Ahad lalu. “Kami ingin tahu sikap antum sebagai warga Jember,” tukasnya.

Tanpa melepas senyum, Abubakar menyatakan baru tahu peristiwa Monas senin kemarin. “Saya selaku umat Islam sangat menyesalkan kejadian di Monas,” katanya.

Abubakar juga menyesalkan pelecehan yang dilakukan Habib Riziq, Ketua FPI pusat, terhadap Abdurrahman Wahid. Dalam wawancara live di TV One, Riziq menyebut Gus Dur buta mata dan buta hati. “Dia kan antek Yahudi,” kata Riziq, berapi-api.

Menurut Abubakar, sebagai sesama hamba Allah, tidak layak saling melecehkan. “Jangan kita hanya rumongso benere dewe,” katanya.

“Itu yang dilakukan FPI di daerah-daerah lain. Merasa benar, merasa malaikat,” sergah Ayub Junaedi.

Abubakar menjelaskan, dirinya tidak setuju dengan kekerasan yang terjadi di Monas. “FPI Jember sudah menunjukkan kita berbeda,” katanya, beberapa kali.

Sampai saat ini FPI di Jember tidak melakukan kegiatan. “Kami menghargai sampeyan. Keutuhan Jember kami utamakan,” kata Abubakar.

FPI di Jember memang boleh dibilang sial. Organisasi ini selalu terkena getah aktivitas rekan-rekannya di daerah lain. Kali ini, Abubakar kembali membuat surat pernyataan yang lebih telak dari tahun sebelumnya: membubarkan FPI. “Saya secara pribadi dan sisi manusia, saya setuju dibubarkan,” katanya.

Isi surat yang ditulisnya dengan didiktekan Hafidi itu berisi tiga poin. Pertama, permohonan maaf kepada masyarakat, khususnya korban penganiayaan FPI di Monas tanggal 1 Juni 2008. Kedua, memohon maaf sebesar-besarnya kepada KH Abdurrahman Wahid atas sikap FPI selama ini. Ketiga, sejak hari ini (Selasa, 3 Juni 2008), FPI Jember membubarkan diri.

Abubakar beberapa kali menoleh ke Kiai Haji Lutfi Ahmad seperti meminta pertimbangan. Bibir Ahmad bergerak memberikan persetujuan. Lutfi Ahmad adalah salah satu ulama tenar NU di Jember yang pernah menjadi ketua Partai Amanat Nasional tingkat kabupaten.

Sebuah materai Rp 6 ribu ditempelkan Ayub Junaedi di atas kertas yang kusut itu.

"Ada stempel?" tanya Junaedi.

"Tidak ada," jawab Abu Bakar.

Abubakar diminta membacakan pernyataan yang ditulisnya di hadapan wartawan yang mengelilinginya. Prosesi selesai. Di luar kediaman Abubakar, massa pendukung Gus Dur menuliskan kalimat 'FPI Haram di Jember' dengan cat semprot di atas kain putih sepanjang sepuluh meter.

Spanduk itu dipajang di atas jembatan yang menghubungkan bangunan lama masjid jamik Baitul Amien dengan bangunan baru masjid itu, di jalan Sultan Agung.

Di kantor Pemerintah Kabupaten Jember, Babun Suharto menyerahkan fotokopi pernyataan Abubakar kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa Sudjak Hidayat. Hidayat menyatakan, pembubaran FPI menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. "Kalau di atas bubar, di bawah juga akan bubar," katanya.

Namun benarkah FPI Jember layak dibubarkan? Jujur saja, Front Pembela Islam di kabupaten Jember tak ubahnya antitesis FPI di pusat. Di tengah-tengah kaum Nahdiliyyin, FPI Jember berwajah damai dan ramah.

Ini ditegaskan berkali-kali oleh Abubakar sendiri. “Kami berbeda (dengan FPI di Jakarta). FPI di Jember sudah menunjukkan kita berbeda,” katanya.

Perbedaan wajah FPI ini dibenarkan oleh Lutfi Ahmad. Sebagai tokoh NU, dia acap diajak berdiskusi oleh Abubakar.

Kepada saya, Lutfi Ahmad mengatakan, FPI di Jember sebenarnya hanyalah perwakilan tanpa berbentuk organisasi formal.

“Saya tak masuk secara formal. Berbeda dengan di Jakarta, mereka sadar di Jember kondisi berbeda. Tidak ada yang signifikan untuk direaksi. Kita hanya melakukan kajian ilmiah biasa setiap 35 hari sekali dan kegiatan sosial seperti khitanan massal,” kata Ahmad.

Selama ini FPI Jember tidak memiliki anggota tetap. “Yang ada simpatisan, dan fluktuatif. Kadang satu kegiatan ada banyak simpatisannya,” kata Ahmad.

Ahmad menolak sebutan pembubaran FPI. “Kalau membubarkan diri tidak masalah, karena terbentuk secara sukarela,” katanya.

Kendati FPI di Jember membubarkan diri, kegiatan kajian ilmiah keagamaan tetap akan dilanjutkan. Pasalnya, kajian ilmiah itu tidak memiliki relevansi dengan persoalan kekerasan yang dilakukan FPI di Jakarta. Lagipula acara itu bisa digelar tanpa harus berlabel FPI.

Terkait kekerasan di Monas, Lutfi Ahmad tak bisa berkomentar. Ia mengaku tak tahu persis kejadiannya. Namun ia tidak menyetujui dilakukannya kekerasan kecuali bersifat syar’i (sesuai syariat). “Misalkan ada seseorang dizolimi kita kemudian membela yang dizolimi tersebut,” katanya. (*)

No comments: