05 June 2008

Dua Wajah

Dunia pendidikan di Jember memiliki dua wajah: prestasi yang dipuji pemerintah pusat dan siswa yang keleleran karena status aset sekolah tak jelas. Pemkab Jember lamban dalam menyelesaikan aset sekolah yang berstatus konflik.

Rabu, 28 Mei lalu. Di halaman SMP Negeri 2 Ajung, puja-puji untuk dunia pendidikan Jember meluncur dari bibir Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo. Prestasi mulai dari pemberantasan buta huruf hingga angka partisipasi kasar pendidikan disebut-sebut.

Jika dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) siswa sejak tingkat sekolah dasar hingga menengah pertama, Jember sudah melebihi target nasional. Hanya sekolah menengah atas yang belum melampaui target nasional.

APK SMA target nasional adalah 68 persen pada akhir 2009. Target Jatim sudah tercapai. Di Jember saat ini baru mencapai APK SMA 49,30 persen. “Jadi masih ada disparitas 18,7 persen untuk dua tahun. Kalau bupati bekerja keras didukung para guru dan kepala sekolah, saya akan bantu. Tapi saya akan tinggalkan kalau main-main,” kata Bambang.

Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal tersenyum. Sekitar dua ribu guru yang hadir bertepuk tangan mendengar pujian Pak Menteri. Betapa indahnya…

Selasa, 3 Juni 2008. Sebuah papan hitam berdiri tegak di halaman sekolah dasar negeri Selodakon 03 kecamatan Tanggul. “DITUTUP KEMBALI KERENA TIDAK BERES”.

Puluhan bocah berseragam putih dan merah berebut membacanya. Mereka tak tahu apa maksudnya. Yang mereka tahu, hari itu mereka harus belajar di selasar dan teras sekolah mereka untuk kedua kalinya, setelah April lalu. Pintu ruang kelas mereka disegel dengan paku.

Penyegelan kali kedua ini adalah bagian dari episode sengketa status kepemilikan tanah antara Dinas Pendidikan Jember dengan Tarsan, ahli waris Amsiati. Tarsan dan Sholeh menuntut pemerintah memberi ganti rugi Rp 80 juta atas tanah yang telah ditempati untuk sekolah itu. Selama ganti rugi belum jelas, segel tak akan dibuka.

Kepada wartawan, Kepala SDN Selodakon 03 Sapto Widyo Baskoro menyayangkan aksi penyegelan itu, karena menyebabkan para siswa terlantar. “Padahal sudah ada ujian semester minggu depan,” katanya, menunjuk 209 orang siswanya.

Kepala Bidang Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Jember, Jumari, mengatakan proses belajar mengajar memang dalam kondisi darurat. Ia membenarkan jika proses belajar mengajar menghadapi ujian semester tidak akan berjalan optimal.

“Psikologi siswa saja kita jaga. Kalau prestasi (dari dulu) memang biasa-biasa saja,” kata Jumari.


Layaknya sebuah birokrasi di negara dunia ketiga, respons Dinas Pendidikan terkesan lamban. Dinas kesulitan memberi saran staf kepada bupati terkait sengketa status lahan tersebut, karena kerepotan melacak riwayat pendirian dan status akad tanah sekolah itu.

Menurut Sapto, lahan sekolah itu sebelumnya dimiliki Amsiati Saunah. Tahun 1971 dilakukan tukar guling oleh pemerintah untuk melempangkan program pembangunan sekolah dasar instruksi presiden. Namun sejak delapan tahun silam, program tukar guling dibatalkan, sementara bangunan sekolah sudah berdiri.

Namun Jumari mengatakan pihaknya kesulitan menemukan bukti hitam di atas putih. “Mereka (ahli waris tanah) mengaku pernah mengirim surat ke pemerintah, tapi tahun berapa kita tidak punya tembusannya,” katanya, Kamis (5/6).

Dispendik tengah berusaha keras mencari surat tersebut, termasuk yang menerangkan adanya janji ganti rugi atas lahan sebesar Rp 80 juta. Siapa yang menjanjikan ganti rugi sebesar ini belum jelas.

Menurut informasi yang diperoleh Jumari, pemilik tanah yang sekarang ditempati SDN Selodakon 03 pernah dijanjikan uang pengganti oleh kepala desa. Namun entah bagaimana kemudian muncul persoalan. Pemilik tanah melayangkan gugatan. Jumari tidak tahu kapan gugatan dilayangkan.

“Saya ngebel UPTD (Unit Pelayanan Teknis Dinas) untuk mencari surat pertama dari lurah (kepala desa),” kata Jumari.

Kenapa lahan SDN Selodakon 03 tidak dibeli saja? “Wah, nanti ada sekolah yang tak bermasalah kemudian dipermasalahkan,” kata Jumari menyebut efek domino yang mungkin muncul.

Ketua Komisi A DPRD Jember Abdul Ghafur menyayangkan kekhawatiran itu. Menurutnya itu konsekuensi hukum yang harus ditanggung Pemkab. “Lho kalau tidak diselesaikan seperti itu kan nanti akan bermasalah terus hingga anak cucu kita. Kasihan,” katanya.

“Masalah status tanah sekolah-sekolah dasar negeri di Jember seperti fenomena gunung es. Bukan sekali ini saja terjadi,” kata Ghafur.

DPRD Jember mencatat masalah serupa terjadi di sekolah dasar negeri di desa Karangbayat kecamatan Sumberbaru, kecamatan Silo, kecamatan Arjasa, dan kecamatan Sukowono. Bahkan, di Karangbayat, sebuah SD urung direhabilitasi kendati sudah rusak berat, karena status lahan masih belum jelas.

Persoalan ini tentu menyisakan ironi dan kontradiksi. Baru saja kabupaten Jember mendapat penghargaan untuk sektor pendidikan, namun muncul masalah siswa keleleran karena sekolah disegel.

“Ini merupakan hambatan bagi cita-cita pemerintah di Jember untuk mewujudkan program wajib belajar sembilan tahun,” kata Ghafur.

SD-SD yang rawan konflik status tanah ini dibangun tahun 1970-an atas dasar instruksi presiden atau dikenal sebagai SD Inpres. Lahan yang digunakan adalah lahan milik warga desa atau lahan milik desa, dan pengadministrasiannya lemah.

“Saat itu warga ada yang merasa cukup bangga dengan mewakafkan tanahnya untuk sekolah, atau ada yang diberi janji ganti rugi tanpa ada hitam di atas putih. Akhirnya setelah pemilik tanah meninggal, dipersoalkan oleh para ahli waris,” kata Ghafur.

Jumari membenarkan, persoalan tanah di Jember memang luar biasa. Saat sekolah dasar yang berdiri atas instruksi presiden atau SD Inpres mulai dibangun, tidak ada persoalan yang muncul. Gugatan baru muncul dari para ahli waris. Dispendik saat ini mendata status aset sekolah-sekolah yang diduga bermasalah.

Solusi yang diinginkan Pemkab Jember adalah sertifikasi semua lahan tersebut oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai hak tanah negara.

Ketua Komisi D yang membidangi masalah pendidikan, Miftahul Ulum, mengatakan pihaknya memang pernah meminta agar Dinas Pendidikan Jember mendata aset-aset sekolah. Setelah itu dilakukan klasifikasi, mana aset yang bermasalah dan membutuhkan sertifikasi segera.

Namun saat ini dibutuhkan langkah cepat lebih daripada sekadar pendataan. Ghafur dan Ulum meminta segera dianggarkan pembelian lahan sekolah bermasalah, terutama SDN Selodakon 03. Jika pemerintah tidak mampu membeli langsung, maka bisa dicicil dalam tahun jamak. Pemerintah tidak boleh merasa rugi membeli lahan itu, karena mencerdaskan kehidupan bangsa adalah harga mati.

“Guru dan siswa siap belajar di mana pun, dalam kondisi minimal terlantar. Sekarang tinggal political goodwill pemerintah,” kata Ghafur, mengingatkan para siswa akan menghadapi ujian semester.

Sementara Ulum mengatakan, hal pertama yang dilakukan Pemkab adalah memberi kejelasan lebih dulu kepada ahli waris lahan yang ditempati SDN Selodakon 03.

“Kami menyarankan agar untuk menyelesaikannya, pemerintah menganggarkan dalam perubahan APBD secepatnya Minimal dirembuk dulu antara wahli waris dan pemerintah. Jadi kalau ada kesepakatan ganti rugi, tinggal menunggu waktu saja. Jika tidak dilakukan, siswa akan terganggu,” kata Ulum. (*)

1 comment:

Unknown said...

Gimana mau maju kalau pemerintah hanya memberikan anggaran pendidikan yang sedikit di APBN.
Nasib guru bantu dan honorer yang gak pernah sejaterah menambah wajah buruk pendidikan nasional kita.
oiya pasang widget infogue.com. Bisa nambah pengunjung lho.
kayak diblog gue.
http://pendidikan.infogue.com/dua_wajah_dunia_pendidikan_di_jember