20 May 2008

Mitos PKS dan Pakde Karwo

Tidak mengejutkan. Partai Keadilan Sejahtera akhirnya menjatuhkan pilihan untuk mendukung Soekarwo - Saifullah Yusuf dalam pemilihan gubernur Juli 2008 mendatang. Jika merunut jejak rekam konstelasi politik Jawa Timur, awalnya PKS sempat jatuh cinta dengan Pak De sebelum berpindah ke Joko Subroto.

Yang menarik untuk dikupas adalah manuver PKS begitu menyatakan diri mendukung duet KarSa. Dengan nada optimis, PKS menyatakan akan menyumbangkan sedikitnya dua juta suara untuk duet tersebut. Pernyataan ini sempat menjadi headline di media massa.

Bagi publik yang tak kritis, sesumbar PKS bisa dimakan mentah-mentah. Apalagi, media massa melambungkan berita tentang keberhasilan PKS dalam sejumlah pemilihan kepala daerah. Ada pandangan, PKS benar-benar akan menyumbangkan banyak suara untuk kemenangan KarSa.

Saya lebih suka bersikap kritis terhadap klaim PKS. Saya tidak yakin dengan mitos soliditas kader PKS yang memiliki mobilitas untuk menarik banyak suara. Kader PKS memang memiliki ketaatan organisasi tinggi, sama dengan PDI Perjuangan. Namun tidak bisa dibuktikan, apakah soliditas itulah yang menghasilkan jutaan suara untuk pasangan kandidat dalam sebuah elektoral.

Realitis di Jawa Timur mereka hanya meraup 608 ribu suara saat pemilu 2004.

Di Jakarta, PKS yang mencalonkan sendiri gubernur tanpa berkoalisi harus menelan kekalahan. Saat pemilihan presiden 2004, dukungan PKS untuk Amin Rais tak membuahkan apapun. Amin hanya berada di peringkat ketiga.

Dalam pemilihan presiden putaran kedua, PKS kancrit mendukung Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla dibandingkan Partai Demokrat dan PBB. Namun opini sudah menempatkan PKS sebagai penyumbang suara signifikan untuk SBY -JK. Padahal, siapapun tahu SBY punya cukup karisma pribadi untuk menarik suara rakyat.

Di Jawa Barat, kader PKS Achmad Heryawan memang berhasil menduduki posisi gubernur. Namun, masih ada pertanyaan, benarkah ini merupakan soliditas jaring-jaring PKS, atau karena karisma Dede Yusuf, aktor laga cum politisi PAN yang menjadi calon wakil gubernur.

Di sebuah media massa sempat disebutkan, mulanya PKS tak tertarik menerima pinangan PAN dan Dede Yusuf. PKS masih berharap Heryawan bisa menjadi pendamping kandidat lain yang lebih mapan. Namun, di saat terakhir, setelah peta politik sudah pasti, PKS mau menerima ajakan PAN.

Fenomena ini agaknya juga terjadi di Jawa Timur. PKS baru menceburkan diri ke gelanggang, memilih KarSa, setelah PAN dan Demokrat menetapkan pilihan. Sebagai partai yang kancrit dalam mendukung KarSa, PKS tentu butuh sesuatu yang bisa dijadikan nilai tawar. Bagi sebuah ajang elektoral, tidak ada nilai tawar yang lebih menarik ketimbang raupan suara.

Klaim tersebut sejatinya lebih banyak menguntungkan PKS sendiri dalam hal opini, ketimbang menguntungkan duet KarSa. Jika KarSa benar-benar menang, PKS lagi-lagi kembali menuai opini positif, bahwa partai ini berhasil mendudukkan satu kandidat lagi di kursi kepala daerah.

Menjelang 2009, ini opini yang bagus bagi PKS. Opini akan semakin mengukuhkan posisi PKS sebagai partai kuda hitam, dan semakin menegaskan mitos soliditas kader-kader partai ini untuk bertarung dalam pemilu.

Padahal, diakui atau tidak, KarSa adalah salah satu kandidat yang sudah bersiap jauh-jauh hari untuk masuk medan tempur pilgub. Sebelum partai-partai bergerak memanaskan mesin politik, semua sudah disiapkan rapi sejak Soekarwo masih petarung tunggal: mulai dari infrastruktur pendukung hingga pencitraan di hadapan publik.

Tak heran, jika jauh-jauh hari, banyak yang menjagokan Soekarwo bakal menjadi pemenang pilgub, selain ada yang menjagokan Soenarjo. Yang dibutuhkan Soekarwo hanyalah kendaraan politik. PDI Perjuangan tak bisa diharapkan. Namun Soekarwo dengan mudah akhirnya bisa menggandeng PAN dan Partai Demokrat.

Tak ada yang bisa memastikan, jika kelak KarSa menang dan meraup dukungan jutaan suara, dua juta itu adalah hasil kerja PKS dan bukannya hasil pencitraan yang dilakukan Soekarwo jauh-jauh hari. Jangan sampai di kemudian hari muncul anggapan yang cenderung menomorduakan kinerja mesin partai PAN dan Demokrat atau kerja pencitraan jauh-jauh hari, jika KarSa menang.

Jika kelak KarSa benar-benar menang dengan suara berapapun, itu adalah hasil kerja keras semua orang dan kemenangan masyarakat yang rela antre di hari pemungutan suara. Alangkah sayangnya jika kemudian arti kemenangan itu dikecilkan oleh sebuah klaim.[wir/ted]

No comments: