19 May 2008

Thomas, Uber, Kebanggaan...

Dari Istora Senayan jelaslah sudah, bangsa ini sejatinya tak butuh kemenangan, tapi kebanggaan. Kita terjungkal di Thomas Cup. Kita kalah di Uber Cup. Dua kekalahan. Dua perlakuan berbeda dari penonton: kita melihat riuh kemenangan menyambut tim putri Indonesia yang kalah dari china 0 - 3.

Lihatlah, bagaimana penonton berdiri dan meneriakkan 'Indonesia...Indonesia...Indonesia' lebih sering saat seluruh anggota tim Uber memberikan penghormatan, ketimbang saat menyambut tim Thomas. Saya bisa saja salah. Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa penonton masih bisa berteriak keras karena tim Uber kalah dengan kepala tegak.

Saat menyaksikan tim Thomas Cup dihajar Korea Selatan di semifinal, saya tak memiliki getar (orang Jawa bilang treteg) yang membuat saya sedih. Atau juga bangga. Tanpa bermaksud meremehkan perjuangan tim Thomas, Taufik Hidayat dan kawan-kawan agaknya perlu belajar soal semangat 'hidup-mati' di lapangan dari tim Uber.

Saya merinding melihat Liliyana Natsir dan Vita Marissa jatuh bangun hingga mengejar ketertinggalan sepuluh poin di set ketiga. Saya membayangkan pertarungan yang mereka jalani diiringi lagu BENDERA yang dinyanyikan Cokelat. Bersemangat. Berani. Mereka memang akhirnya kalah. Kalah. Tapi mereka sudah sebenar-benarnya melawan. Melawan.

Maria Kristin. Adrianti Firdasari. Mereka telah melawan. Saya kira, semangat itu yang dilihat para penonton Indonesia. Bangsa ini butuh kebanggaan. Perlawanan tim Uber Indonesia menghadirkan itu. Di raketmu, harga diri kami berada.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana gegap-gempitanya istora jika Sabtu malam itu, tim Uber Indonesia bisa menang. Tapi sudahlah. Malam itu saya sudah merasakan kembali apa yang lama tidak saya rasakan sebagai orang Indonesia: kebanggaan. (*)

1 comment:

Koran Saya said...

Tim Uber kita memang lebih hebat.