03 March 2008

Saya Dipecat dari Jatim Mandiri

Ada kriteria lain pemutusan hubungan kerja bagi wartawan: tidak bisa mencari iklan.

Sabtu sore, satu Maret, ponsel saya berdering. Ribut Wijoto. Ia redaktur di harian Jatim Mandiri, tempat saya bekerja sejak April 2006.

Ribut berbicara dengan nada serba canggung. Selama ini ia memang terkesan canggung saat berbicara dengan saya di telpon. Kami tidak pernah bertemu muka. Selama jadi wartawan di Jatim Mandiri untuk wilayah korespondensi Jember, saya memang jarang ke kantor di Surabaya.

Saat ke Surabaya, saya tidak bertemu Ribut. Tempo hari, saya sempat mau diundang hadir ke kantor bersama wartawan daerah lain untuk berkoordinasi. Namun batal. “Tidak ada uang ganti transportasi,” kata Ribut.

Saya sudah kepalang basah beli tiket kereta api kelas bisnis berangkat pulang. Ribut minta maaf kepada saya.

Sabtu sore itu, kami kembali berbicara. Ribut tampak segan. “Mas, sampeyan tidak diberitahu kantor?”

“Diberitahu apa?”

“Jadi sampeyan belum tahu? Waktu saya nanyakan soal gaji sampeyan yang terlambat kepada kantor, saya diberitahu kalau sampayan sudah dilepas.”

Dilepas adalah kata lain untuk diberhentikan. Dipecat.

“Pertama, korannya tidak sampai Jember. Kedua, sampeyan dianggap tidak memberi kontribusi untuk kantor.”

Saya tahu apa yang dimaksud dengan kontribusi. Di Jatim Mandiri, seorang wartawan memang diharapkan (untuk tidak mengatakan diharuskan) mencari iklan maupun pelanggan. Uang perolehan iklan akan masuk kantong perusahaan, dan wartawan yang berhasil mendapatkannya akan menerima bagian barang sepuluh sampai dua puluh persen.

Sebenarnya di sebuah perusahaan media, sudah ada bagian pencari iklan atau advertising. Namun di sejumlah perusahaan, wartawan masih dituntut mencari tambahan melalui iklan. Tuntutan ini tentunya memiliki kadar berbeda-beda di setiap perusahaan.

Saat saya bekerja di harian Radar Jember, wartawan dipersilakan berlomba-lomba mencari tambahan pemasukan melalui perolehan iklan. Tips sepuluh persen dari nilai iklan cukup lumayan sebagai tambahan pendapatan yang dianggap lebih halal.

Di Radar, wartawan dilarang menerima pemberian dari narasumber, tapi sangat diizinkan mencari iklan. (Sebuah aturan yang sangat ironi mengingat besaran gaji yang tak manusiawi.)

Biasanya iklan yang diburu wartawan adalah iklan advertorial. Advertorial adalah akronim dari advertise editorial. Maksudnya, iklan sebuah produk dirupakan berita yang berbau promosi. Ini bisa kegiatan perusahaan, perseorangan, instansi pemerintah, organisasi masyarakat, atau partai politik.

Saya pernah juga mendapat iklan advertorial dan display. Nilai advertorial pertama yang saya peroleh adalah Rp 800 ribu, yang berarti duit Rp 80 ribu bisa masuk kantong saya. Kecil memang tapi lumayan daripada tidak sama sekali, mengingat selama enam bulan pertama di Radar saya hanya menerima upah Rp 200 ribu per bulan. Setelah dua tahun bekerja pun, take home pay saya paling banyak Rp 500 ribu per bulan.

Saat bekerja di harian Suara Indonesia, saya jarang memperoleh iklan. Seingat saya, hanya dua kali saya mendapatkan iklan. Salah satunya iklan display ucapan selamat atas terlantiknya pasangan bupati – wakil bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal dan Kusen Andalas.

Iklan itu dipesan oleh Dinas Informasi dan Komunikasi Jember. Saya bisa memperoleh iklan itu, mungkin, karena sewaktu pemilihan kepala daerah Jember 2005, Djalal – Kusen menyodorkan kontrak untuk advertorial kampanye mereka berdua kepada Suara Indonesia.

Namun, kendati berhasil mendapatkan kontrak advertorial masa kampanye yang dibarter dengan pembelian koran 500 eksemplar per hari selama satu bulan, saya sama sekali tidak memperoleh komisi barang satu persen pun.

Di Radar Jember, saya tidak dituntut mencari iklan, karena harian ini memiliki sumber daya divisi advertise yang lumayan kuat. Apalagi Radar Jember adalah koran harian dengan pembaca terbanyak, tanpa pesaing, sehingga mudah memikat dunia usaha untuk memasang promosi.

Di Suara Indonesia, iklan yang saya dapatkan serba kebetulan karena ada pemilihan kepala daerah. Pemimpin redaksi Suara Indonesia Dhimam Abror Djuraid sebenarnya tidak menghendaki wartawan mencari iklan.

Suatu kala, Abror pernah berbicara soal prinsip pagar api: berita dan iklan harus memiliki batasan jelas. Tidak boleh campur aduk, karena iklan dan berita jauh berbeda. Iklan melayani kepentingan pemasang iklan, berita melayani kepentingan publik.

Namun idealitas dan realitas ibarat panggang jauh dari api. Prinsip pagar api mudah diterapkan oleh media massa yang mapan. Namun bagi koran baru dengan oplah yang baru dua atau tiga ribu eksemplar seperti Suara Indonesia, pagar api ditabrak juga akhirnya.

Menjadi wartawan dalam arti sesungguhnya baru saya rasakan di Beritajatim.com. Portal berita ini resmi berdiri 1 Mei 2006. Dwi Eko Lokononto, pemimpin redaksinya, lebih memilih mengangkat satu pegawai lagi di Jember untuk membantu saya mencari iklan dan menulis berita.

“Mas Wirawan konsentrasi pada berita. Nanti kalau kita bebani mencari iklan, nanti beritanya malah kocar-kacir,” kata Lokononto kepada saya.

Bagaimana dengan Jatim Mandiri? Harian ini jelas menabrak prinsip pagar api, dan jelas tidak memiliki itikad mempertahankan pagar api. Alasan yang diberikan Ribut sebenarnya sudah saya dengar sejak November lalu.

Ribut pernah melayangkan pesan singkat pada 23 November 2007, dan memberitahu bahwa Jatim Mandiri tahu kalau saya kerja merangkap sebagai reporter Beritajatim.com. Saya memang masuk ke Jatim Mandiri dan Beritajatim.com pada saat hampir bersamaan di tahun 2006.

Saya melamar ke Beritajatim.com, karena memandang media online memiliki prospek bagus. Selain itu, jika hanya mengandalkan gaji dari Jatim Mandiri, niscaya saya tidak akan bisa menghidupi keluarga dengan layak. Gaji di Jatim Mandiri hanya Rp 500 ribu per bulan. Jauh di bawah upah minimum kerja Jember yang mencapai Rp 645 ribu.

Dalam pesan pendeknya, Ribut mengatakan, dalam waktu dekat saya akan diinstruksikan mencari iklan dan pelanggan. “Itu rencana Pak Imron. Jika target ga terpenuhi, sampeyan mungkin akan dilepas. Tapi, itu masih rencana,” jelasnya.

Pak Imron yang dimaksud adalah Imron Mawardi, pemimpin redaksi Jatim Mandiri. Ia bekas wartawan Jawa Pos. Sebenarnya, saya mengenal Imron Mawardi. Dia kakak kelas saya di Fakultas Pertanian Universitas Jember. Saya angkatan 1996, dia angkatan 1988 atau 1989, saya lupa persisnya.

Saya tidak bisa berjanji soal memperoleh iklan, dan hanya akan berusaha. Namun terus terang saya pesimis. Saya bukan orang yang cakap. Sepanjang umur saya menjadi wartawan, saya memperoleh iklan karena kebaikan hati orang lain dan bukan karena usaha keras saya.

Saya tidak pandai melobi dan tidak tahan harus membujuk-bujuk orang memasang iklan. Saya katakan kepada Ribut dalam sebuah surat elektronik, kesabaran dan ketekunan saya sebagai wartawan bukan untuk mencari iklan, tapi untuk menembus narasumber dan menggali berita.

Pesimisme semakin kental, karena Jatim Mandiri tidak pernah masuk Jember. Dulu, Suara Indonesia juga tidak beredar di Jember. Namun, koran ini punya nama besar yang tidak dimiliki Jatim Mandiri, sehingga tanpa harus menunjukkan wujud koran pun, narasumber percaya kepada saya.

Ribut ternyata tidak tahu kondisi Jatim Mandiri di Jember. Ia mengira, selama ini koran itu telah masuk dan beredar ke Jember. Waktu saya katakan bahwa wajah koran pun saya tidak tahu, ia terkejut bukan kepalang.

“Ya Allah, Mas, berarti selama ini sampeyan ga tahu, berita mana yang dimuat, diedit apa tidak. Terus jika narasumber menanyakan hasil wawancara bagaimana,” katanya dalam sebuah layanan pesan singkat.

Menurut Ribut, jajaran redaktur menyalahkan saya. “Seharusnya sampeyan minta dikirimi paling tidak 25 eksemplar selama sepekan untuk perkenalan, dan mencari pelanggan.”

Saya berpikir, inisiatif itu seharusnya diambil Jatim Mandiri dan bukan saya. Jika mau, sebenarnya Jatim Mandiri bisa saja mengirimkan petugas pemasaran ke Surabaya untuk memberikan penawaran kepada agen dan instansi pemerintah. Saya siap, jika diminta mengantarkan dan membantu bertemu jajaran birokrat dan wakil rakyat.

Dalam percakapan awal Maret tempo hari, sikap saya memilih untuk tidak mencari iklan kembali saya tegaskan kepada Ribut. “Tugas saya adalah mencari berita. Kontribusi saya kepada kantor jelas: menuliskan berita untuk dimuat. Selama ini saya juga rajin berkirim berita.”

Ribut mengatakan, wartawan dengan kualitas seperti saya seharusnya tidak bekerja di Jatim Mandiri. Saya pernah mendengar kata-kata ini dari seseorang yang mengutip perkataan Dhimam Abror. “Seharusnya wartawan dengan kualitas seperti Oryza tidak cocok bekerja di xxx (saya tidak mau sebut nama medianya).”

Saya tidak tahu, apakah itu pujian atas kemampuan saya atau sindiran atas ketidakmampuan saya. Tapi demi menggirangkan hati sendiri, saya anggap sajalah sebagai pujian.

Saya mengecam kepengecutan manajemen dan redaktur Jatim Mandiri untuk menyampaikan pemecatan kepada saya secara langsung. “Seharusnya saya diberitahu atau diberi surat, tidak diam-diam seperti ini.”

Saya jengkel benar, karena gaji saya bulan Januari yang seharusnya dibayarkan paling lambat pertengahan Februari belum turun. Saat saya mengecek kepada Adrizal, manajer keuangan, saya mendapat jawaban: “Tanyakan ke Pak Imron.”

Imron Mawardi juga tidak menjawab tegas. “Masa? Nanti saya cek ke kantor.”

Saya kaget, setelah Anik, pegawai bagian keuangan, mengatakan bahwa nama saya tidak ada dalam daftar penerima gaji. “Aku nggak tahu, Mas. Sampeyan coba tanyakan sendiri ke Pak Imron.”

Alamak, apa pula ini? pikir saya.

“Mungkin Pak Imron sungkan, Mas, buat ngomong ke sampeyan langsung. Dia kan ngerti kode etik jurnalistik,” kata Ribut.

“Tidak bisa begitu. Seharusnya dia bicara terus terang kepada aku. Aku sudah siap, kok, dari dulu,” sanggah saya.

Ribut tidak bisa menjawab banyak. Ia terdengar serba salah.

Saya bilang ke Ribut bahwa saya tidak ingin ribut-ribut. “Silakan kalau mau memberhentikan aku. Tapi selesaikan dulu hak-hak normatifku sebagai pegawai.”

“Dua bulan gaji ya, Mas?” tanya Ribut.

Ribut mengatakan, akan mencoba menanyakannya ke manajemen. Menurutnya, masalah gaji memang sulit. “Dulu saya sempat nanyakan gaji wartawan di Madura yang tidak cair-cair.”

Saya tidak ingat pasti pasal-pasal dalam undang-undang tenaga kerja. Seingat saya pesangon sebesar tiga kali gaji. Tapi untuk sementara saya mengiyakan apa kata Ribut. Saya bertekad untuk melayangkan surat kepada Jatim Mandiri untuk menuntut hak-hak normatif berupa pesangon.

Saya browsing di internet. Ternyata dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 pasal 156 disebutkan, masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, mendapat pesangon dua bulan upah. Saya mulai bekerja April 2006 dan diberhentikan tanpa surat Maret 2008. Hampir dua tahun.

Pesangon itu seharusnya dihitung dengan memperhatikan komponen upah pokok dan segala macam tunjangan. Tapi saya tidak berharap terlalu muluk. Pesangon sebesar Rp 1 juta plus gaji saya bulan Januari sebesar Rp 500 ribu dan gaji setengah bulan kerja bulan Februari sebesar Rp 250 ribu, sudah cukup buat saya. Total jenderal Rp 1,75 juta.

Saya juga akan mempersoalkan tidak adanya surat resmi pemutusan hubungan kerja. Jika memang saya dianggap bersalah, seharusnya ada tiga kali surat peringatan secara berturut-turut.

Itu pun jika saya dianggap melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Persoalannya: saya tidak pernah menandatangani perjanjian kerja bersama atau kontrak apapun. Saya tidak tahu apakah tidak mencari iklan untuk perusahaan (yang jelas bukan tugas pokok dan fungsi wartawan) merupakan pelanggaran peraturan?

Saya memberitahukan kabar pemecatan kepada istri saya. Ia tersenyum. Kami memang sudah siap sejak dulu, jika memang harus dihengkang paksa dari Jatim Mandiri.

Istri saya adalah orang yang tangguh. Dulu, saya didepak dari Radar Jember saat kami baru saja menikah di tahun 2004. Kini, saya dipecat saat istri saya sedang hamil tiga bulan anak kedua kami. Saya percaya, anak kedua kami akan menjadi anak yang tangguh karena lahir di tengah situasi sulit kedua orang tuanya.

Saya tidak sedih, karena dua pemutusan hubungan kerja yang saya alami tidak terkait dengan persoalan integritas saya sebagai wartawan. Di Radar Jember, saya sampai sekarang meyakini, ada nuansa politis dan faktor suka-tak suka dalam penonaktifan saya secara sepihak sebagai wartawan oleh pimpinan. Suatu saat saya akan menuliskannya dalam blog ini.

Istri saya tidak menangis. Ia hanya berkata, “Wah, kita nggak jadi beli sepeda motor dong.” Kami memang berencana membeli sepeda motor untuk mengganti Yamaha butut tahun 1980-an milik saya dengan menggunakan uang tabungan. Dengan tiadanya pasokan gaji dari Jatim Mandiri, tentu saja rencana itu kembali tertunda.

Saya selalu optimis, Tuhan menutup pintu yang satu dan membuka pintu yang lain. (*)

13 comments:

Anonymous said...

aku trenyuh membaca ceritamu, bung. tabahlah. orang-orang teraniaya niscaya akan lebih mulia.
ternyata di negeri ini pekerjaan otak tak dihargai pantas.
bung, di media apa jurnalis gajinya paling tinggi? kompas? berapa?
salam kenal

Oryza Ardyansyah Wirawan said...

Bung Arya, terima kasih atas simpati dan doanya. Ini menguatkan saya.

Saya tidak tahu ada berapa media di Indonesia yang memberi gaji layak kepada wartawan. Konon itu media-media lama seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos.

Yang pasti, saya baru tahu hanya PANTAU yang memberi harga layak untuk sebuah artikel reportase, dengan menghargai Rp 400 per kata.

Salam kenal juga...

Anonymous said...

ampun!
tabah ya mas. iya, saya yakin, ada jalan yang lain yang terbuka. saya cenderung setuju dengan omongan "Oryza ga seharusnya kerja di tempat itu" sebagai sebuah pujian. ayo, pasti ada tempat lain yang lebih layak. semangat yak! salam buat anak dan istrinya, mas.

kartun united said...

riz ini aku jujuk, wah sepertinya lagi susah ya... , moga2 cepet dapat job baru aja deh..

Anonymous said...

SABAR. INSYA ALLOH ADA HIKMAH DIBALIK ITU SEMUA.Memang di bumi (Indonesia )ini, untuk mencapai sesuatunya nurani harus mingir. Kalau bisa WAL-WAL GEDUWAL, KODOK, ULO, LANGSUNG DIUNTAL.Nggak penting orang lain, sing penting awak dewe happy.
Sabar Orys.Salam untuk isrimu yang tabah, salam untuk semua keluarga besarmu.SABAAAAR !

Anonymous said...

Tenang Pak De

Anonymous said...

Yang sabar ya Riz, Saya yakin pasti Allah SWT akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan hambanya yang teraniaya, Amin.Mudah2an Allah akan memberikan tempat mencari rizki yang halal , barokah dan bermanfaat dunia dan akhirat.Amin

Anonymous said...

bung, jangan tersinggung yach. kemarin saya transfer sedikit rejeki buat beli satu/ dua kotak susu buat anak sampeyan. jangan ditolak ya.

semoga sampeyan segera dibukakn pintu rejeki yang lain

salam hangat

Oryza Ardyansyah Wirawan said...

Bung Igen Arya, saya terkejut membaca surat Anda. Terima kasih atas bantuannya. Saya rasanya sama sekali belum mengenal Anda, tapi isi surat anda membuat seolah-olah kita tak ubahnya sahabat lama yang tak saling jumpa.

Apapun, Bung, terima kasih. Setelah saya beranjak sembuh, saya akan kembali meneruskan perjuangan saya.

Horizon Budaya said...

Za...nasib ente hampir sama dengan ane. Aku juga sudah ditekan terus untuk mengundurkan diri dengan alasan yang tidak jelas dan gak profesional. feelingku mungkin karena aku terlalu idealis. Tapi ane melawan, aku gak mau mengundurkan diri, lebih baik aku dipecat dengan alasan tidak cocok dengan pimpinan daripada mengundurkan diri dengan alasan tidak jelas. Kalo dipecat lumayankan dapat pesangon 4 bulan gaji...

Sigit Budhi Setiawan said...

Piye yo mas...masku...masku. aku ora ison omong. Institusi HAM atau NGO yang sok advokasi hak apapunlah saja banyak yang pakai outsourcing dan tidak adil pada pekerjanya...
Kita disini pernah menghadapi kondisi absurd dan hopeless ini. Jadi semua artinya persis kata Saut Sitompul di puisinya: Semua itu taik!

kapolnyo said...

mas sampeyan di tulis nang kompasiana, iki linknge.. http://public.kompasiana.com/2009/05/01/kawan-yakinlah-tulisan-akan-menghidupimu/

Mas Sip Channel said...

cerita yang sampean buat sangat menyentuh dan menggugahkan hati saya mas.... dan cerita ini nyaris sama dengan saya...sewaktu istri saya akan melahirkan? saya di keluarkan dari media, lalu saya melamar di media Mxxx... dan skrng saya juga di keluarkan tanpa alasan yang jelas. padahal? satu minggu sebelum saya di keluarkan saya mendpt iklan 1 halaman warna dari salah satu toko swalayan di daerah Probolinggo. tapi setelah saya melununasi iklan itu, nama saya sudah di hapus dalam bok, saya tlp ke biro tidak diangkat...... saya berusaha mencari pemecatan sata ke biro.... sspulang dari kantor biro kecelakaan...... hingga detik ini saya masih belum tahu apa alasan pemecatan saya.