12 February 2008

Surat dari Lokasi Bencana Situbondo
Hari yang Cerah untuk Jiwa yang Masai

Hari yang cerah. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Selasa (12/2/2008), matahari bersinar tanpa tertutupi mendung. Warga korban banjir bandang bisa menjemur perabotan yang basah di halaman rumah mereka, di antara tumpukan kayu puing rumah dan pagar.

Saya berada di salah satu kampung yang terhantam banjir. Rumah keluarga saya di Capore, kelurahan Ardirejo kecamatan Panji, hanya berjarak sekitar 50 meter dari sungai Sampeyan Baru yang mengamuk Jumat malam lalu. Pagi ini, kami merasa lebih baik, karena semalam tidur bisa lebih nyenyak, tidak terganggu sirine waspada.

Ini berbeda dengan Ahad malam lalu, saat sirine waspada sempat menjerit-jerit. Air deras sudah mulai pasang.

Saya mendapat peringatan dari salah satu kawan, bahwa hujan deras dan sungai mulai meluap di kecamatan Prajekan, kabupaten Bondowoso. Seperti Jumat malam lalu, kami semua mengungsi ke daerah yang disebut Bukit Salju, dan berdoa banjir tak terjadi lagi. Syukurlah, banjir memang akhirnya tak terjadi lagi.

Bagi sejumlah tetangga saya, banjir sudah menghabiskan segalanya. Saya menyaksikan Supri, tetangga belakang rumah mertua, kehilangan rumah dan tempat pembuatan tempe. Jumat malam, saat banjir terjadi, saya bertemu dengan dia.

Matanya kosong. Senyumnya hambar. “Habis sudah,” katanya. Saya tidak bisa menjawab.

Sabtu pagi, saya menyempatkan diri melihat rumah Supri. Hancur. Tak ada yang Tersisa. “Mulai dari bawah lagi. Alhamdulillah ya Allah, saya masih diberi keselamatan,” katanya lirih.

Air memang luar biasa deras. Salah satu tetangga bernama Said bercerita kepada semua orang bagaimana air berpusar begitu kencang. Ia bisa bercerita, karena menjadi satu-satunya warga kampung yang tidak mengungsi.

Kata istri saya, Said memilih memanjat pohon mangga untuk menghindari air dan di sana semalaman. Kedinginan. Alasannya sederhana: ia tidak mau meninggalkan mobil yang dititipkan di bengkelnya. Kebetulan Said adalah pemilik bengkel las mobil.

Sebagai jurnalis, Saya pernah meliput banjir bandang di Panti kabupaten Jember, banjir lumpur di kecamatan Silo Jember, dan bencana lain. Tapi saya baru sekali ini mengalami sendiri apa yang disebut banjir bandang.

Saya ikut melarikan diri menghindari air yang pasang dengan cepat Jumat malam itu. Saya menginap di satu rumah di Bukit Salju bersama pengungsi lainnya. Sempat mencari ayah mertua saya yang tak ketahuan di mana. Saya sempat cemas, karena ada kabar ayah mertua saya sempat memilih tinggal di rumah dan menyaksikan luapan air.

Saya bisa merasakan ketertekanan dan ketakutan korban. Saya mulanya membayangkan bakal terjadi hujan tangis saat mereka melihat rumah yang hancur, Sabtu pagi.

Saya keliru. Sebagian dari mereka memang meneteskan air mata. Tapi sebagian lagi bisa tersenyum. Mereka saling bertegur sapa dengan tetangga, bercanda saat membersihkan lumpur dan puing-puing rumah yang roboh. Supri dan istrinya pun hanya diam mencari sisa-sisa barang yang bisa diselamatkan.

Ada seorang perempuan tua tetangga Supri. Justru dialah yang menangis. “Dua kali ya Allah, dua kali,” ratapnya. Banjir yang sama memang pernah terjadi 4 Februari 2002. Namun, banjir tahun ini jauh lebih dahsyat kekuatannya.

Istri saya diwawancarai Kantor Berita Radio 68 H Jakarta via ponsel. Ia mengatakan, “Hari pertama nggak ada bantuan sama sekali. Baru hari kedua. Itu pun nasi dari para dermawan saja.”

Istri saya membandingkan dengan penanganan banjir yang sama tahun 2002. Saat itu hari pertama pasca bencana, dapur umum sudah dibangun di daerah Ardirejo. Warga tak kesulitan memperoleh makanan.

Kali ini, pada hari pertama pasca bencana, warga harus mencari makan sendiri, sementara kompor rusak dan mereka masih harus membersihkan lumpur dari rumah masing-masing.

Kepada saya, Wakil Bupati Situbondo Suroso mengakui keterbatasan pihaknya untuk segera menurunkan bantuan. Rumah dinas Suroso sendiri diterjang banjir. Ia dan keluarganya Jumat malam lalu harus dievakuasi dengan perahu karet.

Selasa pagi. Saya mengatakan kepada istri saya, “Untuk pertama kalinya, ini hari yang cerah.”

“Iya, hari yang cerah untuk jiwa yang kusut masai,” jawabnya. (*)

No comments: