Istriku Diwawancarai KBR 68 H
Senin malam (11/2), Eko Widianto menelponku. Dia mantan rekan sekerja di Beritajatim.com. Sekarang, dia bekerja untuk Kantor Berita Radio 68 H dan Detiksurabaya.com.
Eko mengatakan, kantornya ingin mewawancarai korban banjir bandang Situbondo. “Kamu kan salah satu korban, jeh,” katanya.
Eko benar. Saya dan keluarga adalah salah satu korban banjir. Rumah mertua saya di Capore, kelurahan Ardirejo kecamatan Panji hanya berjarak 50 meter dari sungai Sampeyan Baru yang mengamuk Jumat malam lalu. Untunglah, rumah mertua saya tidak hancur. Tapi saya, mertua, istri, dan anak saya sempat mengungsi.
Saya setuju, dan menyodorkan Heni Agustini, istri saya untuk diwawancarai. Istri saya korban sebenar-benarnya. Tahun 2002, ia juga sempat menjadi pengungsi karena banjir bandang serupa yang menghantam Situbondo.
Pukul 06.45, Selasa (12/2), ponsel saya berdering. Istri saya diwawancarai oleh dua orang, yakni Sutami dan Didi. Istri saya sempat grogi. Tapi saya katakan untuk tenang saja, dan bicara apa adanya. “Ini 68 H. Siapa tahu pejabat Jakarta sana tahu bagaimana penanganan bencana di sini,” kata saya.
Berikut petikan wawancara KBR 68 H dengan istri saya.
KBR 68 H: Kita sekarang bersama sakah satu korban banjir di Situbondo sana. Selamat pagi, Mbak Heni.
Heni: O ya, selamat pagi.
KBR 68 H: Mbak Heni, rumah anda masih terendam banjir atau bagaimana situasinya saat ini?
Heni: Situasi sekarang banjir sudah surut. Cuma satu malam saja.
KBR 68 H: Waktu banjir melanda seperti apa, Mbak Heni?
Heni: Kalau saya lihat dari batas rumah saya, di tembok itu sekitar satu meter setengah.
KBR 68 H: Tinggi ya?
Heni: Ya, tinggi.
KBR 68 H: Kondisi rumahnya bagaimana, Bu?
Heni: Kalau kondisi rumah, alhamdulillah, rumah saya nggak rusak. Cuman kalau bagian dalam lumpur itu sangat tebal. Sekitar 20 centi-an begitu.
KBR 68 H: Akses ke rumah ibu bagaimana?
Heni: Akses masuk rumah alhamdulillah tidak lumpuh. Soalnya kami ngungsinya kan di daerah perumahan Bukit Salju, perumahan yang diperuntukkan korban banjir tahun 2002. Itu kan naik ke gunung gitu. Paginya kami turun ke bawah ke rumah kami, lohat rumah kami. Jadi aksesnya mudaha saja begitu. Cuman banyak lumpur di jalan. Lumpur sama kayu yang berserakan dari rumah-rumah yang ambruk, gitu, Mbak.
KBR 68 H: Jadi kalau yang paling berat membersihkan rumah dan sampah-sampah?
Heni: Ya, itu yang sangat berat sekali, karena lumpurnya sangat tebal.
KBR 68 H: Di kompleks Mbak Heni banyak rumah yang rusak?
Heni: Ya banyak, soalnya rumah saya sekitar 50 meter dari sungai, dari jembatan yang dulu pernah ambruk tahun 2002 dulu.
KBR 68 H: Jadi kebayang arusnya?
Heni: Ya kebayang. Soalnya, malamnya waktu masih sekitar jam delapan sampai jam sembilan, saya masih sempat lihat sungai. Arusnya sangat deras sekali. Muter, kayak sungai yang biasa digunakan arung jeram gitu. Sangat deras sekali.
KBR 68 H: Ada bantuan untuk korban banjir?
Heni: Bantuan, kalau bantuan itu hari pertama nggak ada bantuan sama sekali. Baru hari kedua, itu pun nasi hanya dari para dermawan saja. Hanya dari satu dua orang saja. Kayaknya nggak seperti tahun 2002 gitu, Mas, Mbak.
KBR 68 H: Sekarang butuhnya apa lagi, Mbak Heni?
Heni: Sekarang air bersih, karena PDAM di sini mati. Orang-orang di lingkungan saya hanya ngandalkan sungai untuk membersihkan baju-baju, peralatan dapur, peralatan semua yang terkena lumpur dan hanya mengandalkan satu sumur.
KBR 68 H: Itu yang untuk minum ya?
Heni: Kalau minum aja itu susahnya. Kalau minum orang itu bingung. Orang ya terpaksa harus bel;I atau pun minta relawan yang kirim air itu. Itu pun sangat terbatas sekali.
KBR 68 H: Kalau listrik sudah nyala, Bu?
Heni: Kalau listrik alhamdulillah hari pertama sudah hidup. Untuk yang alirannya tidak terputus itu sudah hidup.
KBR 68 H: Bu Heni, mudah-mudahan ada bantuan air.
Heni: Ya, semoga saja.
KBR 68 H: Selamat pagi, Bu Heni.
Heni: Ya, selamat pagi. (*)
12 February 2008
Labels: Wawancara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment