Man of The Year
Sesungguhnya, setiap komedi politik adalah perlawanan terhadap kekuasaan mapan yang manipulatif. Ketidaksopanan selalu dibutuhkan, untuk mengusik sesuatu yang sudah pakem. Ketidaksopanan adalah lalat yang membuat terganggu, dan mengajak orang untuk memikirkan ulang apa yang dianggap normal, apa yang seharusnya.
Tom Dobbs. Dia sang komedian itu. Dia sang pelawak. Dia memahami teori itu. Namun, dia terusik, tak merasa cukup dengan humornya yang menyodok, yang mengili-kili kuping para politisi. Ia merasa saatnya ambil bagian: sang pelawak harus turun gelanggang, seperti seorang begawan yang tak sabar melihat perubahan.
Awalnya adalah sang penonton. Seorang perempuan cantik berbaju biru, di studionya, berpikir bahwa Tom bisa menjadi alternatif dari pilihan-pilihan yang disodorkan dua gajah dalam pemilihan presiden: Partai Demokrat dan Republik.
Tom, entah apa yang ada dalam pikirannya, sepakat. Ia memang harus turun gelanggang, berhadapan dengan para kandidat dari Partai Demokrat dan Republik. Dan, Tom membawa ketidakmapanan dalam kampanyenya: ia naik bus berkeliling satu negara bagian ke negara bagian lainnya, tidak mau mengeluarkan uang untuk kampanye di televisi.
“Hei, saya tidak mau berutang kepada industrialis,” demikian kira-kira Tom beralasan.
Tom punya rumus. Bagaimana bisa seorang kandidat presiden akan memperhatikan rakyat saat terpilih, ketika dalam perjalanan ke Gedung Putih ia harus mengemis kiri-kanan, menerima derma dari para saudagar yang memang berkepentingan dengan kuasa. Para saudagar, tak ubahnya pejudi, yang menaruh botoh di semua jago, dan akan mendapatkan keuntungan dari jago yang menang.
Tom masuk akal. Oleh sebab itu, ia memikat. Ia tidak konvensional. Ia menghidupkan panggung dengan gaya teatrikal. Ia bernyanyi, menggoyang-goyangkan tubuh: “Aku muak dengan Partai Demokrat, aku muak dengan Partai Republik.” Orang pun bersorak. Keputusasaan dan pertanyaan sudah mendapat jawabannya.
Lalu election day, hari pemilihan. Tom, tiada menduga, menang di seluruh negara bagian. Orang terperangah. Demokrat dan Republik dipermalukan. Rakyat tidak percaya kepada partai, dan lebih memilih seorang pelawak.
Tom mulanya ragu. Lalu, ia percaya, sampai datanglah Eleanor Green dengan gaya yang kikuk, menyamar sebagai opsir FBI, bersalaman dengannya, dan diajaknya berdansa.
Eleanor, namanya mengingatkan saya dengan lagu Beatles, menarik Tom kembali ke bumi. “Halo, Anda bukan Presiden. Ada kesalahan teknis mesin pemungut dan penghitung suara yang menggandakan perolehan suara Anda.”
“Jadi, aku tidak terpilih sebagai presiden?”
“Not even closed. Nyaris pun nggak.” Eleanor tahu betul itu, karena dirinyalah yang merancang mesin tersebut.
Kita tahu, Tom mungkin sedih. Kecewa. Namun bukan itu soalnya. Kini, ia harus memilih dalam gamang. Film Man of The Year yang dibintang Robin Williams ini memang sebuah film idealis yang menghadirkan pilihan antara nurani dan godaan kekuasaan. Sebuah pilihan jamak dalam hidup.
Tom, akhirnya percaya pada nurani. Sesuatu yang klise karena terlalu sering diteriakkan tanpa dilakukan. Namun yang klise tak selamanya jelek, dan Tom mengakui: tugas sang pelawak adalah menghibur sang raja, bukan menjadi raja.
Tom mengingatkan kembali bahwa perlawanan sang komedian adalah menghadirkan ketidaksopanan untuk melawan kemapanan. Di sebuah negara demokratik, ketidaksopanan mencegah penyeragaman dan keseragaman. Ia menghindarkan kita dari kultus dan mitos, karena dalam komedi tak ada satu pun yang suci.
Tom memilih mundur, dan tak mengikuti pemilihan ulang. Ia memilih menjadi pelawak. “Tempat saya bersama kalian, di sini,” katanya di hadapan para penonton di studio.
Bodohkah Tom? Naifkah Tom? Hei, Bung, ini film Hollywood. Bukan sinetron politik Indonesia. Tom memang akhirnya tidak diberi anugerah pahlawan nasional karena keberaniannya memilih untuk menampik hasrat kuasa.
Hollywood menyediakan akhir yang lebih gebyar. Lebih gembira. Sang bajik mendapat pahala, sang pendosa masuk penjara. Itu rumusnya. Tom akhirnya menikahi Eleanor, perempuan yang rela menjadi whistle blower, orang dalam perusahaan yang meneriakkan ketidakberesan di perusahaannya sendiri.
Kejujuran membuat nama Tom makin melambung di jagat komedi politik. Dialah tokoh pilihan tahun ini. Tidak perlu SK dari pemerintah Amerika segala. Bos Eleanor yang menutupi kesalahan mesin pun harus berakhir di balik jeruji.
Tapi, saya kira, bukan happy ending yang jadi inti pesan moralnya. Saya kira Tom telah mengingatkan kita: bahwa politisi seperti popok yang harus diganti dengan alasan yang selalu sama setiap waktu. Tom tidak mau menjadi popok itu. Ia ingin menjadi orang yang mengingatkan kapan popok itu harus diganti. (*)
05 February 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment