06 February 2008

Diskusi mengenai Sampul TEMPO Edisi Khusus Soeharto
Setelah Leonardo Da Tempo Terbit

TEMPO kembali menuai kontroversi. Kali ini yang dijadikan perdebatan adalah sampul edisi khusus Soeharto, Nomor 50/XXXVI/04. Sampul edisi khusus itu memang indah: memelesetkan lukisan Leonardo da Vinci berjudul The Last Supper yang mengadaptasi perjamuan terakhir dalam Injil.

Jika dalam The Last Supper, Yesus dikelilingi 12 muridnya, maka dalam sampul majalah itu, Soeharto dikelilingi enam anaknya. Dibandingkan dengan sampul media massa lain yang juga memajang laporan khusus soal kematian Soeharto, sampul TEMPO adalah yang terbaik.

Namun, sebagian Umat Katolik memprotes sampul tersebut. Selasa (5/2) siang, sejumlah perwakilan organisasi Katolik tingkat nasional, mendatangi kantor Tempo di
Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Mereka menilai, bahwa TEMPO telah melakukan pelecehan agama dengan memelintir Perjamuan terakhir yang sakral.

Mereka menganggap posisi Yesus yang digantikan Soeharto dalam perjamuan itu tidak layak. Ini sama saja menganalogikan Yesus dengan mantan penguasa Orde Baru yang berlumur darah dan korupsi.

TEMPO segera meminta maaf. Menurut Toriq, sama sekali tidak ada niat melecehkan agama dengan ilustrasi tersebut. “Kami membuat gambar itu sebagai interpretasi atas lukisan Da Vinci, bukan mengilustrasikan kejadian di Kitab Suci,” kata Toriq kepada Tempo Interaktif.

Namun tak pelak diskusi di milis mantan aktivis pers mahasiswa Jember soal topik ini lumayan hangat. Berikut korespondensinya:

Oryza Ardyansyah menulis:

Salam...

Saya baru mendengar kalau ada protes soal sampul
Tempo. Tapi memang sampul Tempo saya nilai sangat
ekspresif dan indah. Ini edisi khusus tentang Suharto
dengan sampul mengadaptasi The Last Supper (Perjamuan
Terakhir) karya Leonardo Da Vinci.

Kalau mengadaptasi dari Da Vinci, posisi Soeharto di
tengah tak ubahnya posisi Yesus di antara para
muridnya sebelum mangkat. Bedanya, para murid Soeharto
adalah anak-anaknya dan kroninya.

Kalau ada protes dari umat Nasrani, mungkin karena
yang diadaptasi adalah perjamuan terakhir Yesus.
Posisi Suharto di kursi itu sama dengan posisi Yesus.
Bedanya, gambar kover Tempo tidak crowded. Cawan
diganti dengan gelas-gelas indah.

Saya tentunya tidak berhak membenarkan atau
menyalahkan protes kaum Nasrani terhadap TEMPO. Itu
hak mereka.

Pertanyaan saya, mungkin bisa dijawab Madamme Helena,
apakah lukisan berisi interpretasi atas sesuatu yang
suci dengan sendirinya bisa dianggap suci?

Lukisan itu dibuat Da Vinci sebagai tafsir seni atas
kitab suci, dan bukan kitab suci. Ia hanya
menggambarkan kembali perjamuan terakhir. Khayalan.
Samalah kiranya dengan gambar para sahabat Nabi yang
dimejengkan di poster-poster dan ada di rumah sebagian
umat Islam.

Namun lepas dari itu semua, kover Tempo sangat tepat.
Tanpa bermaksud menyinggung, posisi Soeharto terhadap
anak-anaknya memang tak ubahnya posisi Yesus terhadap
muridnya. Mereka meninggalkan legasi yang tak
ternilai. Bedanya, Yesus meninggalkan legasi moralitas
dan nilai-nilai kemanusiaan. Suharto meninggalkan
legasi persoalan moralitas dan perdebatan kemanusiaan.

Edisi khusus Tempo saya kira juga lebih bagus
ketimbang edisi khusus KOMPAS, JAWA POS, SINDO, SURYA,
yang diterbitkan tepat sehari setelah Suharto
meninggal.

Dalam TEMPO kita seperti diajak untuk melihat Suharto
hitam dan putih, rasional dan klenikal. Saya kira,
saya baru baca soal dukun Suharto secara enak di
Tempo. Ingat laporan ini sudah dirancang selama tujuh
tahun.

Jadi, dalam posisi ini, TEMPO telah berhasil
menyajikan sosok Suharto dengan bagus. Rugilah mereka
yang nggak beli. (hehehehe)

Saya kira begitu


Hadi Winarto menulis

Saya justeru tertarik untuk melihat sisi lain dari
soal cover ini.

Sahabatku, Johanes Donbosko, produser program
expedition, anak Ngada-Flores, yang lulusan sekolah
Seminari, ngeliat persoalan ini rada cuek.

Bung John cerita, suatu ketika ada pastur muda yang
baru pulang dari Roma setelah menuntaskan studi.

Terdorong oleh cara berpikirnya yang kritis, ia
berpendapat, bahwa perjamuan dengan anggur dan roti
merupakan sesuatu yang "incrementally europen" alias
khas Eropa, dan karena itu berarti juga Barat dengan
culture-nya yang unik.

Di Flores, dengan budaya yang berbeda dari Eropa, sang
pastur berpendapat bahwa roti bisa dirubah dengan
jagung dan anggur dengan sejenis minuman dari pohon
lontar yang bisa menjadi tuak. Dengan cara itu misi
pengabaran Injil akan lebih dekat ke masyarakat
setempat.

Kabar tentang "improvisasi" ini menyebar hingga ke
Eropa dan akhirnya sang pastur muda ini terkena
"excommunicate" sehingga dia harus mengakhiri tugas
pelayanan karena dianggap membuat bid'ah terhadap
ajaran resmi Katolik.

Bagaimana jika dikaitkan dengan cover Tempo?

Sambil tersenyum Bung John hanya bilang: Secara
Katolik ini nggak prinsip banget, tapi memang bisa
menimbulkan reaksi. Yakh... moga-moga sebentar aja
dah.

Nah... seorang kawan di TPI kirim sms, menyatakan ikut
sedih dengan kejadian ini.

Ia katakan bahwa ia mengagumi kedewasaan umat Katolik
selama ini, yang terkenal dengan sikap teguh sekaligus
luwes dalam menampilkan imannya di masyarakat.

"Aduh, kenapa ya rekan-rekan Katolik tergoda untuk
demo? Itu memang hak mereka. Tapi jangan-jangan mereka
secara tidak sadar meniru cara orang-orang Islam
radikal yang suka demo itu?"

Kawan TPI ini orang muslim, malahan dari keluarga
muslim yang puritan, tetapi ia mengakui kagum dengan
saudara-saudaranya dari golongan Katolik yang dia
anggap matang, teguh, cerdas, tetapi juga rendah hati.

Saya sendiri tidak terlalu tertarik memberi respon.

Mungkin lebih baik jika sahabat-sahabat saya seperti
Niams Helena dan Bung Felix yang kasih respon.

Itupun kalo mereka berdua merasa perlu memberi respon.

Personally, seperti rekan saya di TPI, saya termasuk
orang yang mengagumi kematangan rekan-rekan Katolik
dalam menampilkan imannya di masyarakat.

Sedangkan tentang Tempo.... ah, pandangan saya telah
banyak sekali berubah.

Salam hangat,

Hadiwin


Helena Dewi Justicia menulis:

Cilukbaaa...

Pertama, tolong dicek kembali yaaa... (soalnya aku sendiri nggak sempet ngecek, hehehe...) kalo gak salah, Leonardo da Vinci itu nggambar Perjamuan Terakhir atas pesanan Gereja Katolik... meski aku juga nggak tau lukisan yang asli itu ada di mana... Yang jelas, lukisan The Last Supper itu (= maksudnya gambarnya, mengingat udah digambar ulang dengan berbagai versi dan genre) punya makna yang sangat dalam buat orang Katolik.

Maknanya simbolis buanget, tapi ya itulah inti kepercayaan kami, yakni Yesus yang menyerahkan diri-Nya bagi penebusan manusia. So, dalam Perayaan Ekaristi (atau 'misa' buat gampangnya.. .), kami selalu mengulang-ulang adegan Perjamuan Terakhir itu. Tujuannya supaya kami sendiri pun meneladani Yesus, menyerahkan diri kami secara utuh dan total bagi keselamatan dunia & semua orang. Pendek kata, maknanya emang dalem buanget dehhh...

Keluargaku juga punya The Last Supper, tapi bukan lukisan reproduksi, melainkan sulaman yang dikerjakan Mamaku sendiri dengan termehek-mehek. .. Lha wong ukurannya 1 meter x 0,5 meter... buset dah, siapa yang gak termehek-mehek bikin sulaman segede itu? Aku njahit kancing lepas aja bisa muntah-muntah? ! (ups, maap...).

So, kalo ada orang Katolik yang merasa terluka, lalu mengkomunikasikan luka itu dalam bentuk demo, protes, somasi atau apapun, ya wajar laaahh... Kita anggap aja pernyataan sikap. Sikap kan bisa macem-macem. Mungkin ada yang tersinggung, ada yang marah, ada yang cuek, ada yang biasa-biasa aja.

Kedua... Kalo sikapku? Mmmmm... aku sih kasian sama Tempo. Soalnya, mereka itu kan gemar mem-'plesetkan' lukisan toh? Mmmm... sebagai seseorang yang juga seneng nggambar, kalo aku ada di posisi Tempo, aku akan sangat berhati-hati dengan karya yang aku 'plesetin'. Bagaimanapun, dalam setiap karya seni (termasuk lukisan), selalu terkandung simbol-simbol, unsur-unsur yang simbolistis, dan kaitan-kaitan antarunsur-antarsim bol yang tidak mudah begitu saja dipahami...

Nah, lukisan-lukisan da Vinci, trus Michael Angelo yang suka di-'plesetin' Tempo itu kan baru 'nendang' kalo mereka lihai mentransformasi simbol-simbol yang ada di dalamnya... Tapi mereka gak ngerti dan gak bisa, lho! Makanya, kegagapan menangkap dan mentransformasi simbol itu (yang jadinya nggak pas), menuai reaksi yang negatif. Aku haqul yakin, kalo mereka jenius, mampu mem-'plesetkan' lukisan, puisi, drama dsbnya deh dengan 'pas', nggak bakal ada yang tersingung.. . Lha kan kaitan-kaitannya bener? So, si Tempo itu, untuk sebuah majalah populer dan komersil sih udah berhasil menjadi sensasional. Tapiiii... sebagai sebuah karya 'seni' yang bernas, maap-maap aja, sangat menyedihkan. .. hehehe... (jangan-jangan lebih pinter aku... uhuy...)

Jadi, Bung Oryza... Anda yakin kalo gambarnya Tempo itu 'tepat'? Hehehe... coba dikaji ulang... hihihi... Apa Soeharto layak menggantikan posisi Yesus di gambar The Last Supper? Hayoooo.... Menurutku, yang tepat untuk menggantikan posisi Yesus di gambar itu ya Munir, Marsinah dan para pejuang HAM lainnya.... Hayoooo... hehehe...

Ketiga, setauku, kami yang Katolik ini nggak pernah menganggap suci benda-benda rohani (patung, salib, rosario, Kitab Suci, dll), apalagi kalo cuma lukisan... Semua benda itu kan bikinan manusia? Jadi, kesemuanya hanya dianggap sarana untuk menjumpai Allah. (Catatan: ada perbedaan dengan Saudara-saudara Muslim, kan... karena Al Qur'an dianggap suci sehingga kalo mau menyentuhnya harus ambil air wudhu dulu...) Nah, dalam Sepuluh Perintah Allah yang kami taati, ada satu pasal yang berbunyi: jangan memuja berhala. Jadi, kalo sampai kami melekatkan cinta mati pada benda-benda mati, hohoho... sama aja memuja berhala dong...

Yang kami hormati adalah 'benda-benda' yang kami percaya suci, seperti relikui para martir/orang kudus. Relikui itu misalnya jenazah yang nggak bisa hancur meski udah dimakamkan lama banget, darah yang tetap cair meski udah berabad-abad dsb. Dan jangan salah, menetapkan seseorang sebagai kudus/suci itu juga butuh puluhan, bahkan ratusan tahun, tentu saja melalui penyelidikan yang intensif dan cermat. (Ssssttt... yang jelas, aku termasuk yang ngabur kalo ketemu relikui... syerem ah...)

Yang paling kami hormati adalah Hosti Kudus, karena kami percaya bahwa melalui Perayaan Ekaristi, hosti itu (yang asalnya dari tepung dan air) telah diubah menjadi tubuh dan darah Yesus sendiri. Eeee... tapi jangan dikira kami punya bakat kanibal ya... Itu kan simbol juga dari penyerahan diri secara utuh dan total bagi kehendak Allah dan bagi kesejahteraan sesama...

Keempat, masa-masa sekarang ini adalah masa-masa yang sulit bagi kami yang Katolik. Banyak sekali gereja kami yang ditutup, sehingga banyak umat yang nggak bisa beribadah. Sebagai informasi saja, sebuah Gereja Katolik hanya bisa didirikan dengan perhitungan yang matang, seperti jumlah umat. Kalo nggak memenuhi kuota, ya nggak bakal didirikan. Masih banyak lagi pertimbangan lain yang njelimet sekali, termasuk AMDAL (hehehe...). ..

Jujur saja, kami sangat prihatin dengan Saudara-saudara Kristen (bukan Katolik), yang dengan begitu mudahnya membangun gereja. Di gang pun jadi! Ya ampun... Pantesan aja umat agama lain jadi gelisah dan nggak nyaman, karena cemas kalo-kalo sedang berlangsung kristenisasi di daerahnya...

So, meskipun--kata temennya Mas Win--orang Katolik itu matang, teguh, cerdas dan rendah hati... (termasuk gue dong, hehehe...), situasi mungkin 'memaksa' kami untuk bereaksi 'lebih'. Soal penutupan paksa gereja-gereja, kami sudah ke Komnas HAM. Nah, pas lagi seru-serunya timing ini, kurasa wajar jika ada orang Katolik yang 'bereaksi lebih' terhadap hal-hal yang 'kurang penting' jika dibandingin dengan kekerasan & penutupan gereja. Terbawa suasana aja, kaleee...

Kelima, ketika kita bicara soal religiusitas, kita nggak boleh lupa kalo setiap orang pasti punya motivasi beragama, juga tahap perkembangan religiusitas, yang beeeeeerbeda- beda. Ada orang yang tulus beragama, ada yang cuma manfaatin agama demi keuntungan pribadi/kelompok. Ada orang yang tahap perkembangan religiusitasnya masih awal, ada yang udah jauh. Contohnya, orang yang tahap perkembangan religiusitasnya masih awal, doanya kira-kira begini: Tuhan, mbok ya aku dicariin pekerjaan yang gajinya gede, sesuai dengan bakat dan kemampuanku, supaya aku bisa kerasan, dapet gaji terus, bisa beli rumah dan mobil, trus mbayarin anakku sekolah di sekolah internasional, lalu.... (dan seterusnya deh...). Lho, Tuhan kok didikte? Kalo orang yang tahap perkembangan religiusitasnya udah lanjut, doanya justru makin sederhana: Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu, apapun itu... karena aku percaya bahwa Engkau selalu merencanakan yang terbaik untukku... Haiyaaa... gak heran kalo orang yang sudah 'matang' religiusitasnya, dia adalah orang yang tenang, damai, dan menyejukkan sekitarnya.. .

So, kalo ada orang Katolik yang marah tapi juga ada yang cuek dengan kasus Tempo, mungkin ya karena mereka beda motivasi beragama & tahap perkembangan religiusitasnya aja... Yang protes itu kan nggak merepresentasikan semua orang Katolik, toh? Mereka kan cuma ormas. Akan beda kalo Konferensi Waligereja Indonesia yang bicara, atau Kardinal, karena mereka-lah suara hierarki Katolik yang link-nya ke Paus. Nah, kalo sampai mereka yang bicara, artinya sudah ada hal-hal krusial yang dogmatis dan teologis yang perlu disikapi.

Keenam, tentang hal-hal yang berkaitan dengan Allah (atau iman), selalu saja ada ruang bagi 'misteri'. Maka, mungkin nggak akan terulas atau terjawab dengan tuntas oleh manusia. Tuhan, gitu loh... apa ya kita bisa menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan-Nya? Misalnya, masa iya sih lukisan gitu doang punya makna dalam... Hmmm... haloooo... kita bicara soal keyakinan, kan? Lha kalo mereka yakin itu bermakna alam? Yo biarin aja toh? Hehehe... itu udah urusan dia sama Tuhannya...

Ketujuh, aku udah pantes apa belom jadi humas Gereja Katolik? Hahaha!!! (cape deeeh...)


salam,
hdj

nb: Gong Xi Fat Choy, ngungsi yuk coy... (banjir, euy..)


Dwidjo Utomo Maksum menulis:

Salam,

Permintaan maaf Tempo kepada umat Katolik saya kira
lebih sebagai effort untuk tidak memperpanjang
polemik. Jika tidak segera diambil langkah taktis
berupa permintaan maaf secara terbuka, soal cover itu
justru akan mendegradasi message yang akan disampaikan
Tempo melalui edisi khusus Soeharto itu. Seperti yang
kerap terjadi di negeri ini, isu tertentu kerap
terlibas begitu saja oleh isu baru yang berada di
dekatnya. Bahkan kadang isu yang embedded jadi lebih
popular.

Mungkin jika Tempo tidak keburu minta maaf, orang
tidak bakal mentelengi secara jernih isi Tempo edisi
Soeharto itu, melainkan sibuk mengikuti aksi protes
serombongan kawan-kawan yang mengaku umat Katolik ke
kantor Tempo. Padahal kita semua tahu tidak semua umat
Katolik sudi meluangkan waktu ikut berduyun-duyun ke
Jalan Proklamasi 72 hanya untuk urusan yang
sesungguhnya cenderung menjadi bagian dari kajian
genre seni kontemporer.

Dengan kondisi seperti itu, tampaknya kawan-kawan
Tempo lebih memilih untuk mengambil posisi meminta
maaf agar public segera bisa kembali tekun membaca,
mereview dan mengingat kembali siapa Soeharto. Kita
tentu belum lupa, betapa selama hampir sebulan penuh
rumah-rumah kita diberondong oleh tayangan detik per
detik tentang Pak Jenderal Besar yang tergolek sakit
di ranjang RSPP.

Dan ketika pada akhirnya Soeharto berpulang, dan
gelontoran tayangan tentang meninggalnya Soeharto
semakin dramatis 24 jam non stop lengkap dengan
puja-puji di sana-sini tanpa menyentuh sekalipun soal
behind the scenes of tragedy 1965, Malari, Petrus,
Lampung, Priok, Kudatuli, DOM, Kedungombo, Nipah,
penculikan aktifis, Trisakti, etc, apa yang
sesungguhnya sedang disuguhkan kepada bangsa yang
rancak gendang ini? Bahkan tiada satupun obituary buat
Jusuf Ronodipuro, lelaki kelahiran 30 September 1919
yang wafat dua jam sebelum Soeharto. Padahal dia
adalah sosok yang mengumandangkan teks proklamasi 17
Agustus 1945 melalui corong RRI hingga terdengar di
seluruh pelosok negeri. Dia pulalah yang menolak
menurunkan bendera Merah Putih dari halaman gedung RRI
meskipun Belanda menodongkan senjata.

Hari Minggu (3/2) kemarin, saya kedatangan seorang
tamu, kawan lama sekaligus sahabat berdiskusi yang
baik, M Anis namanya, mantan jurnalis (alm) Tabloid
Detik. Di sela-sela kesibukannya mengelola portal
presiden di istana, dia menyempatkan untuk menengok
saya dan kawan-kawan di Kediri. Di tengah-tengah
perbincangan sambil ngopi ditemani Mas Hari Tri Wasono
(wartawan SINDO alumnus Imparsial FH Unej yang juga
anggota milis ini), dia berseloroh, “Saat ini setelah
Soeharto meninggal, hanya Majalah dan Koran Tempo yang
masih terus saja mengkritisi Soeharto dan
anak-anaknya. Tapi memang harus ada yang masih seperti
itu.”

Esok harinya, Senin (4/2) sahabat saya yang menjadi
salah satu commander di Biro MNC Jawa Timur di
Surabaya yang mengurusi RCTI, Global TV dan TPI
mengirim sms yang bunyinya, “Mas cover depan Tempo
menggugah umat Kritiani..perjamuan terakhir…”

Tak lama kemudian, seorang kawan saya yang kini
menjadi Romo di Beograd mengirim surat elektronik
kepada saya yang intinya mengatakan, “instsitusi media
tempat anda bekerja sangat kreatif sekali memproduk
karya.”

Sore harinya, sahabat saya seorang katekis di lereng
Gunung Wilis mengirim sms kepada saya, “Menurut saya
cover Tempo sama sekali tidak menyinggung kenapa ada
yang meributkan ya. Saya dan keluarga ini lagi
baca-baca tentang Pak Harto. Sehat-sehat kemawon tho
Dimas.”

Pagi ini, di bawah gerimis hujan Tahun Baru Imlek,
saya hanya bisa melihat tanpa bisa memberi tafsir
apa-apa lagi tentang adanya aksi memprotes cover Tempo
yang konon melukai umat Katolik. Saya hanya teringat
peristiwa 6 tahun silam, betapa ketika ada seorang
Romo muda di negeri ini mencoba mengoreksi kapitalisme
religi di dalam agama yang diimaninya dengan mengirim
surat domba, tidak ada khalayak yang memberinya
simpati terbuka. Bahkan ketika dia harus terpental
dengan mendapat vonis suspensi, tidak seorangpun yang
membelanya. Padahal dia sedang berbicara tentang umat
dimana dia menjadi pelayannya. Saya pun tergerak untuk
menulisnya di Rubrik Agama Majalah TEMPO Edisi.
32/XXXI/07 - 13 Oktober 2002, ketika tidak seorang
jurnalispun sudi mendekatinya.

Kediri, 7 Pebruari 2008
(Di dekat jendela sambil menyibak gerimis hujan Tahun
Baru Imlek 2559)
Wassalam,
Dwidjo U. Maksum


Hadi Winarto menulis:

Friends,

[Surat di bawah ini saya ambil dari milis
KAHMI_Network, yang notabene warganya sebagian besar
adalah anak-anak alumni HMI di Indonesia. Oryza juga
warga milis ini]

....

Sebagai umat Islam, kita pernah merasa sangat
tersinggung dengan adanya karikatur di koran Denmark
yang dianggap sebagai simbol yang melecehkan Nabi
Muhammad SAW, pdhl sbnrnya kita bisa aja cuek bebek,
menganggap itu karikatur orang lain yang gak ada
hubungannya dengan Baginda Rasulullah, krn mmg tak
seorang pun tahu gmna sosok visual beliau, tak ada
visualisasi Rasulullah baik dalam al-Qur'an maupun
hadist, bahkan tidak juga dari generasi tabiin. Tapi
krn ada indikasi koran itu ingin mengasosiasikan
karikatur jelek itu dengan sosok Kanjeng Nabi, umat
Islam tidak terima dan melakukan protes ....

Begitu pula kini, meski visualisasi perjamuan terakhir
hanyalah karya manusia biasa, seorang Leonardo Da
Vinci, bukan bagian dari kitab suci orang Nasrani,
namun lukisan tsb jelas menggambarkan salah satu
peristiwa itu dalam kehidupan Nabiullah Isa
alaihissalam, sosok yang harus kita hormati sebagai
salah satu Ulul Azmi dan diposisikan sebagai tuhan
atau anak tuhan oleh rekan-rekan kita yang Nasrani -
meski berbeda dalam keyakinan, marilah kita hormati
keyakinan mereka dan berempati atas perasaan orang
Nasrani. (shrsnya juga tersinggung dengan sampul itu
karena Nabiullah Isa juga nabi
kita .....)

Tempo mungkin memang tidak sengaja dan juga telah
menyampaikan permohonan maaf yang tulusTempo, marilah
kita ajak umat Nasrani untuk bersama-sama memaafkan
Tempo. Semoga Tempo tetap terus dapat berkhidmat
mencerdaskan dan mendukung kemajuan bangsa

......

Moral ceritanya adalah... banyak orang membaca TEMPO
karena alasan-alasan yang bersifat "personal" tetapi
secara umum karena "trust" kepada majalah itu karena
reputasinya. Hal seperti ini terjadi pada banyak
orang, tanpa memandang suku, agama, atau golongan. In
short, itulah salah satu fakta mengapa Tempo tetap
mendapatkan tempat di hati pembaca yang amat luas.
Tempo telah membuktikan dirinya menjadi contoh media
yang setia kepada kaidah jurnalistik, dan pada saat
yang sama menjadi semacam "simbol" bagi tegaknya
kebebasan pers di Indonesia.

Pilihan Tempo untuk minta maaf ke umat Katolik juga
membuktikan bahwa Tempo sensitif terhadap reaksi
sebagian umat Katolik. Tak diragukan bahwa dengan
minta maaf, banyak hal yang mengitari soal kontroversi
cover Tempo bisa dicairkan, dimengerti, dan pada
akhirnya didudukkan persoalannya dengan baik. Tentang
hal semacam itu, orang Indonesia bukan orang yang
sulit diajak untuk "menyelesaikan sesuatu dengan
damai."

Saya pribadi sebagai orang yang berlangganan majalah
Tempo secara rutin dalam tiga tahun terakhir -- dan
saya tidak ragu sedikitpun menyebut diri saya sebagai
pelanggan yang kritis -- saya membaca Tempo bisa
dikatakan sedikit sekali karena alasan personal, dan
sebagian besar, jika tidak seluruhnya, lebih karena
trust.

Pola hubungan semacam ini membuat saya tidak pernah
"terhegemoni" oleh informasi Tempo, juga media yang
lain, dan pada saat yang sama, saya senantiasa
memperlengkapi diri dengan aneka bacaan tentang
jurnalistik -- sebagian besar didorong oleh alasan
karena saya juga bekerja di pers selama hampir 11
tahun -- sehingga ikut merawat konteks hubungan yang
sehat antara "pembaca yang mengambil posisi kritis"
dengan "media yang diakui memiliki reputasi dan trust"
di masyarakat.

Interaksi semacam inilah yang membuat saya secara
personal berada dalam situasi "reading between the
lines" setiap kali membaca informasi dari media
manapun.

Terkait dengan isu cover Tempo, tulisan Nimas Helen,
Bung Dwidjo, dan Oryza telah dengan baik menjelaskan
sudut pandang masing-masing.

Saya hanya ingin menghadirkan "pembacaan" tambahan
saja, yang sebagian merupakan bagian dari diskusi kami
sesama rekan-rekan mantan wartawan Metro TV. Sekadar
diketahui, komunitas kecil kami ini sangat beragam,
dan memiliki latar belakan sebagai pekerja pers dari
aneka media, sebelum mereka gabung ke metro. Jadi
"tune in" banget jika kami berdiskusi soal-soal
terkait dengan jurnalistik, atau lebih luas lagi
tentang media. Sebagian besar dari kami bisa dikatakan
menggunakan buku "Elements of Journalism"- nya Bill
Kovach dan Tom Rosenthiel sebagai rujukan.

Salah satu isu hangat yang sering diomongin -- oleh
karena sebagian masalah ini dihadapi dalam pekerjaan
sehari-hari -- terkait dengan independensi, lebih
khusus lagi independensi editorial.

Tidak lagi menjadi rahasia bahwa dalam suasanha serba
kapitalistik, media tak bisa mengelak untuk
terpengaruh. Karena itu, demi menjaga independensi
editorial, baik dari, misalnya, tekanan partai politik
atau tekanan komersial, para jurnalis memperjuangakan
indepensi for its own sake. Singkat kata, independensi
untuk independensi. Efeknya, seperti kata Bill Kovach,
menarik diri dari tekanan di luar dapat menyebabkan
putusnya kaitan dengan masyarakat (community) yang
diberitakan.

Dampak lanjutan dari situasi di atas adalah berubahnya
"bunyi berita" (journalism' s tone). Ini terjadi karena
jurnalisme berkembang menjadi lebih subyektif dan suka
menjatuhkan penilaian (more subjective and
judgemental) .

Jadinya, lebih banyak coverage berita difokuskan untuk
menjembatani apa yang ada dalam benak publik dalam
mengatakan sesuatu, tinimbang melaporkannya kepada
publik secara langsung. Pada akhirnya, berita yang
bersifat "stright news" menurun, dan berita-berita
yang bernada penafsiran dan analitis (interpretive and
analytical news) meningkat.

Pada skala yang tertentu, tak sedikit jurnalis yang
"melintasi garis dari skeptis atau ragu menjadi sinis"
(crossing a line from skepticism to cynicism). Malahan
ada yang dengan bersemangat "nihilism" sedemikian rupa
sehingga mendasarkan kerjanya pada "filsafat tidak
mempercayai sesuatu" (the philosophy of believing of
nothing).

"It seems the worst thing a reporter or commentator
can be accused of in certain circles is not inaccuracy
or unfairness but credulousness" kata Phil Trounstein,
editor politik San Jose Mercury News.

Independensi yang mengalami proses isolasi ini juga
menghasilkan "spiral sinisme" (spiral cynicism), dan
terlihat dari perubahan yang amat terasa dari "what"
menjadi "why" dalam pemberitaan publik (khususnya
tokoh publik).

Hasil yang muncul dalam pemberitaan, karena itu, lebih
banyak terfokus ke diri para tokoh publik, daripada ke
persoalan kebijakan publik yang merupakan hasil kerja
para tokoh publik itu, yang berpengaruh langsung
terhadap kehidupan publik. Akibatnya, para jurnalis
membatasi (interiorized) isu yang diberitakan menjadi
sedemikian rupa sehingga membuat para jurnalis tidak
memiliki kaitan lagi dengan publik.

Isolasi independensi editorial ini dengan baik bisa
terlihat dari fakta bahwa surat kabar, majalah, radio,
dan televisi memperbanyak keuntungan finansial dengan
lebih memilih melayani para pembaca, pendengar, dan
penonton yang paling makmur, daripada melayani
pembaca-pendengar, dan penonton yang lebih luas.

Dengan begitu, jika cover Tempo tentang Soeharto dan
keluarganya yang ditampilkan dengan mengadopsi lukisan
The Last Supper itu hendak di-judgement, ukuran
judgment-nya, untuk yang pertama dan paling mendasar,
adalah dengan menggunakan kaidah jurnalisme.

Apakah, misalnya, ada kaitan antara independece to
isolation, dengan situasi aktual dimana pers
sedemikian rupa memanjakan Soeharto dalam pemberitaan,
sedemikian rupa sehingga secara interprtive, cover itu
muncul sebagai pilihan Tempo untuk menampilkan tafsir
(sebab sulit disebut opini) tentang akhir dari
"tragedi Soeharto" atau bukan?

Adakah, misalnya, pilihan membuat cover dengan
mengadopsi atau mungkin lebih tepatnya "memparodikan"
lukisan "The Last Supper" yang terkait dengan
kepercayaan umat Katolik itu sesuatu yang dipilih
untuk memberi efek tertentu pada edisi khusus,
sehingga para pembaca akan memiliki tafsir yang mirip
dengan yang dikehendaki Tempo, meski dengan
mengesampingkan kemungkinan perasaan sebagian umat
Katolik terlukai?

Atau pertanyaan sederhana saja, apa iya malah justeru
terjadi loose contact antara maksud dari cover itu
dengan pemahaman publik atas cover itu?

Pada tiga pertanyaan itu, sesungguhnya terselip elemen
kontroversi dalam cover Tempo.

Di dunia jurnalistik, ada yang disebut penyajian
berita dalam kerangka "memenangkan kontroversi. "

Cover Tempo memiliki elemen kontroversi, tetapi sangat
sulit untuk bisa masuk kategori "memenangkan
kontroversi. "

Saya pribadi berpendapat, berbekal "pembacaan" seperti
di atas, ada dua pertanyaan besar yang bisa
di-judgement secara terbuka saja.

Yaitu: apakah cover semacam itu bisa ditafsirkan akan
efektif menarik publik memiliki pemahaman yang sama
dengan Tempo tentang akhir kehidupan Soeharto, ataukah
sebaliknya, cover itu malah menjadi "titik lemah"
(bukan antiklimaks) dari edisi khusus Tempo yang
mengulas Soeharto dari berbagai sisi dengan
komprehensif itu?

Saya memilih menjawab bahwa tulisan Tempo tentang
Soeharto dalam edisi khusus itu merupakan karya
jurnalistik yang hebat, tetapi cover edisi khusus itu,
tidak untungnya, malahan menjadi titik lemah, justeru
karena sangat mungkin, baik langsung maupun tak
langsung, cover itu merupakan resultan dari situasi
yang equivalen dengan "independence to isolation" yang
lekat dengan daya interpretasi dan sinisme, sehingga
titik akhirnya bisa bermuara kepada BEYOND JOURNALISM.

Nah,

Baru akan muncul masalah besar jika ada sebagian dari
berita-berita Tempo dihasilkan dari posisi equivalen
dengan "independence to isolation".. .

Dengan posisi seperti itu, interpretasi dan sinisme
bisa menjadi unsur yang lebih kuat tinimbang fakta
dalam berita yang disajikan.

Itulah salah satu alasan kenapa saya masih
berlangganan Tempo, karena Tempo memang enak dibaca
dan perlu, termasuk dibaca untuk keperluan
mengembangkan daya baca saya secara jurnalistik.

Jadi ya wajar jika pandangan saya terhadap Tempo telah
banyak sekali berubah, sebagian ya karena pembacaan
secara jurnalistik dengan mengambil "posisi kritis"
itu.

Segitoe sadja

Teruslah Tempo Berkarya dan menyapa pembaca seluas
mungkin, dan saya berdoa moga-moga Tempo tidak tergoda
masuk perangkap beyond journalism.

Biarlah beyond journalism jadi mainan koran-koran
kuning (koran sensasional) atau koran organ partai
saja.

Segitoe sadja

Salam hangat,

Hadiwin

[Pekerja Pers]


Oryza Ardyansyah menulis:

Salam...

Sori, Madamme helena... kayaknya ada salah paham
deh...

yang saya maksudkan posisi Mbah harto di tengah dalam
lukisan Tempo bukanlah Mbah Harto berposisi tak
ubahnya Yesus dalam hal spiritualitas.

Maksud saya, posisi Yesus begitu penting bagi para
muridnya dan umat Nasrani (Muslim pun mengakui
kenabian Yesus). Nah, dalam konteks ini ke-maha
pentingan- ini, Mbah Harto juga begitu. Posisi di
tengah menunjukkan betapa sentralnya dia di mata
anak-anak dan kroninya. Ayat-ayat Suharto disiarkan
dan dikabarkan menjadi laku yang menggurita dan enak
untuk dinikmati mereka.

demikian.

salam hangat
RYZ
blog: www.manifesto- padi.blogspot. com


Helena Dwi Justicia menulis:

Salam juga...

Bung Oryza, kayaknya Anda salah paham juga deh, hihihi...

Justru itu... yakin kalo yang dikauw maksudkan itu tepat? Mmmm... atau kita bicara versi, ya? Maksudku, apa iya Pak Harto itu segitunya? Kayaknya enggak deh... Aku sih sekarang masih baca Tempo untuk tau sudut pandangnya/versinya dia... Kalo menurut aku sih, Pak Harto itu dikadalin abis sama orang-orang di sekitarnya, termasuk anak-anaknya sendiri. Aku bisa kok mencintai Pak Harto, karena ya dia emang begitu itu. Aku akan heran sekali kalo dia menampilkan tingkah yang beda. Malah nggak terintegratif, nggak nyambung.

Nah, makanya menurutku The Last Supper itu gak pas karena kaitan antar unsurnya yang beda. Itu kan gambar utuh, toh... Kita kan nggak bisa cuma ngambil posisi tengah si Yesus dan digantiin Pak Harto. Lha trus makna keseluruhannya gimana? Hehehe, ini jadi ribet karena kita nggak tau penjelasan si desainer grafisnya sih ya...

Yang jelas Bung Oryza, da Vinci itu nggak cuma nggambar, tapi juga sekaligus membuat simbol... So semua hal di lukisan itu sarat makna, termasuk juga langit yang jadi latar belakangnya. Mungkin hal-hal ini yang kelewat dari perhatian Tempo, sehingga upaya yang mereka lakukan untuk bikin gambar ulang itu, mmmm... jadi rada kontraproduktif sih... Apalagi kalo dibandingin ama tulisannya yang begitu komprehensif.

Mmmm... trus kalo ada anggapan bahwa Perjamuan Terakhir itu begitu mencekamnya, karena ada konflik tentang siapa yang akan nerusin dinasti 'Yesus', itu 'bullshit'. Kan itu toh yang digembar-gemborkan buku Da Vinci Code? Bahwa Petrus sebenernya ngancem Maria Magdalena pake pisau? Hahaha... enggak segitunya lageee...

Pas Perjamuan Terakhir itu, murid2 Yesus itu nggak ngerti apa-apa saking dodolnya... Wong mereka cuma bertahan sampai Yesus ditangkep. Setelah Yesus mulai disiksa, semuanya pada ngacir. Boro-boro ada yang nerusin 'dinasti' Yesus... apalagi bikin agama baru, hehehe... Petrus, murid yang kabarnya 'anak emas' Yesus bahkan ngabur jauh-jauh dan balik lagi jadi nelayan... just on ordinary people gitu. Jadi, kalopun The Last Supper itu punya makna dalam, ya karena perkara pecah-pecahin roti & bagi-bagiin anggur itu... simbol penyerahan diri secara total.

Mungkin akan lebih baik kalo Tempo nemuin gambar lain yang kaitan antar unsurnya itu lebih pas. Dwidjo mungkin bisa kasih bocoran kenapa The Last Supper yang dipilih untuk dipelesetin? Jangan-jangan 'termakan' sensasionalitas Da Vinci Code? Hehehe... Trims...


hdj
blog:www.helenadjus ticia.blogspot. com
(yang isinya teteeeeep aja 1 artikel, hehehe...)


Dwidjo Utomo Maksum menulis:

Salam,

Soal cover Tempo, bagi saya kok sudah expired ya.
Tempo secara institusi sudah meminta maaf dan sebagian
orang yang mengaku Nasrani dan memprotes ke Proklamasi
72 juga sudah bisa menerima permintaan maaf itu. Tapi
kalau mau diperdebatkan terus ya gak papa juga, bisa
buat melatih ketajaman apresiasi seni kontemporer.

Nah, buat nambah materi bagi yang masih suka berdebat
tentang itu, ini ada tulisan Sabam Sinaga (Wapempred
Lampung Post) yang dimuat Lampung Post edisi Jumat
(8/2). Sabam Sinaga adalah seorang pemeluk Nasrani.

Pis,
Dwidjo U. Maksum
------------ ----
Leonardo Da 'Tempo'
SEBUAH pesan singkat (SMS) mengusik pikiran saya,
Senin (4-2) sore. Pesan itu dikirim seorang kenalan,
pengurus sebuah parpol. Isi SMS itu cukup panjang,
tapi intinya menyatakan parpol-nya mengecam cover
Tempo yang memakai lukisan "The Last Suffer"
(maksudnya "The Last Supper") untuk menggambarkan
Soeharto dan kroninya. Dia menganggap cover itu
pelecehan terhadap orang Kristen sehingga harus
disikapi.
Besoknya, Selasa (5-2), SMS soal serupa di-forward
teman sekantor ke ponsel saya. SMS itu dikirim seorang
aktivis pemuda dan isinya lebih keras dari SMS
pertama. Aktivis itu menilai cover majalah Tempo edisi
4--10 Februari 2008 menghina dan menyakiti hati umat
kristiani. Gambar perjamuan kudus itu melecehkan
Yesus.
Isi SMS pertama dan kedua mendorong saya melihat cover
Tempo itu. Di sampul itu dilukiskan Pak Harto duduk di
meja panjang dan diapit keenam putra-putrinya. Setelah
melihat itu, saya spontan tertawa.
Saya coba berpikir, mencari dalih atau teori untuk
menyalahkan gambar itu, tapi tidak berhasil. Saya sama
sekali tidak terusik, apalagi dilecehkan. "Apa yang
salah pada gambar ini," tanya saya dalam hati.
Kalaulah gambar itu meniru pose perjamuan kudus Yesus
dan ke-12 murid-Nya (karya Leonardo da Vinci yang
diberi judul "The Last Supper"), apakah itu bisa
dikatakan melecehkan Yesus atau orang Kristen?
Saya kok tidak merasa dilecehkan. Kalau saya tidak
merasa dilecehkan, apa saya bukan orang Kristen?
Saya tanya lagi diri sendiri, apakah karena saya
jarang ke gereja sehingga tidak merasa disakiti jika
Yesus dilecehkan? Apa karena saya tidak rajin ikut
kebaktian sehingga tidak sensitif lagi soal-soal
kekristenan? Apa karena saya wartawan sehingga
menoleransi Tempo? Banyak pertanyaan muncul di benak
saya dan semua saya jawab sendiri. Tapi, saya tidak
juga merasa disakiti oleh Tempo.
Ada tiga hal membuat saya tidak merasa dilecehkan.
Pertama, saya bukan keluarga Leonardo da Vinci. Saya
tahu persis nenek-moyang saya orang Batak dan tidak
pernah menikah atau punya affair dengan pelukis Italia
itu. Jadi, kalau pun lukisan itu diplagiat Tempo, saya
tidak berhak menggugat. Lagi pula saya bukan kolektor
atau pencinta lukisan Da Vinci.
Kedua, menurut saya, kemuliaan Yesus takkan berubah
meski dilecehkan, dihujat atau dipuja-puji manusia.
Misi-Nya sudah final, terserah pada manusia apakah
mengikuti ajaran-Nya itu atau tidak.
Ketiga, lukisan Da Vinci atau gambar cover Tempo itu
adalah hasil imajinasi atau olah pikir. Jadi, nggak
patut dikaitkan dengan iman kristiani.
Saya malah kepengin membingkai cover Tempo itu dan
memajangnya di ruang kerja saya. Mungkin bisa saya
kasih judul "Warisan Pak Harto" karya Leonardo da
Tempo. Kira-kira ada nggak yang merasa dilecehkan?( *)


Helena Dewi Justicia menulis:

Tau gak sih... aku kok jadi khawatir sama kita ya... Apa karena 'bagaimanapun' , kita punya pihak-pihak yang kita rasa perlu untuk dibela, sehingga obrolan sahut-sahutan kita di Milis ini nggak nyambung? He'eh lho, aku kok merasa kita ini nggak nyambung... Apa karena kita makin tua ya? Atau makin hati-hati? Atau makin tegas mengenai garis masing-masing? Atau makin berjaga-jaga supaya gak menyakiti yang lain? Coba deh renungkan... sahut-sahutan kita beda dengan beberapa tahun silam, dan ya emang harus beda supaya keliatan ada dinamika... tapi akan baik kalo kita cukup sadar mengenai prosesnya, kan?

Mmmm... meski banyak yang menghujat Soeharto, dan aku tau juga kalo dia emang dodol, tapi kok aku jadi mikir-mikir. ..

Ini gara-gara cover Tempo juga... mengingatkan pada Yesus... Kalo kurenungkan, Yesus itu kan pemberontak juga ya. Zaman Yesus itu, yang namanya rakyat ya sengsara juga kayak zaman Soeharto. Malahan lebih menyedihkan, lha wong orang kusta aja diasingkan.. . orang yang dianggap berdosa secara sosial (PSK, pemungut pajak dll) gak dapet tempat di rumah ibadah... orang sakit gak diurus... perempuan ditindas... Lha tapi si Yesus itu apa ya ngumpulin tentara, lalu memberontak melawan pemerintah?

Enggak, tuh. Dia kan kerjaannya cuma jalan-jalan keliling kampung, dongengin orang, nyembuhin yang sakit, menghibur yang teraniaya... malah cinta-cintaan ama PSK segala. Buset deh. Orang kayak begitu ternyata malah yang bikin kekuasaan meradang... cuma karena mampu merebut hati rakyat kecil...

Aku trus mengingat-ingat. .. apa ya yang sudah kulakukan untuk rakyatku? Jawabnya bisa kuperoleh dengan cepat: nggak ada! Huah, padahal aku kalo abis nulis sesuatu yang heroik, rasanya udah banggaaaaaa. ... banget... Tapi.... tetep aja Jakarta banjir... sampah numpuk... macet... orang sakit ampe mati... anak kecil gak punya peluang minum susu... Alamakkk...

Kayaknya aku mau bener-bener bertobat deh. Rada bersyukur karena udah mulai praktik pake komposter sehingga mengurangi sampah. Menghijaukan lingkungan. Bentar lagi aku mau nyari dana biar bisa ngasih subsidi tetangga-tetanggaku untuk beli komposter. Mungkin trus bikin koperasi, merintis akses buat baksos pengobatan rutin bagi mereka yang nggak pernah bisa menyisihkan uang buat obat.

Wah, banyak yang harus dilakukan ternyata.


hdj

nb: Eh Dwidjo, tulisan Sabam Sinaga itu nggak ngefek buat kita, karena kurasa kita sudah melampaui itu deh... Atau Anda sendiri yang masih merasa bersalah? Hehehe... Ayolah Bung, kurasa kita nggak sebegitunya kok. Aku aja cengengesan. Tuhan nggak perlu dibela, kata Gus Dur. Aku ho'oh aja, malah membayangkan Tuhan itu kayak Gus Dur... (tentu saja dengan versi yang jauh lebih sempurna...) Buatku, yang harus dilakukan itu ya membela kemanusiaan, memperjuangkan agar semua orang mendapatkan kembali harkat dan martabatnya yang mulia... bukannya digebukin, ditindas, dianiaya, dinistakan.. .


Dwidjo Utomo Maksum menulis:

Salam,

Ini ada tambahan materi buat yang masih suka
mendiskusikan perjamuan cover Tempo, tulisan Goenawan
Mohammad. Semoga berkenan dan bermanfaat.

Wassalam,
Dwidjo U. Maksum

Goenawan Mohamad wrote:
KULITMUKA TEMPO

Tentu tidak ada maksud majalah TEMPO untuk melukai
hati orang
Kristen, tetapi tidak berarti tidak ada yang salah
dalam gambar itu.
Menurut hemat saya, menggunakan tema "Perjamuan
Terakhir" dalam
karya Leonardo da Vinci jadi dasar tema kepergian
Suharto
sama sekali tidak tepat. Tema dan suasana "Perjamuan
Terakhir"
dalam lukisan itu adalah kesedihan, keprihatinan
dan kerelaan di antara mereka yang tak punya apa-apa.
Sedang justru itu yang tak ada di hari terakhir Suharto. Suharto
tidak mati disalib.
Juga saya ragu apakah kematiannya akan melahirkan keyakinan
baru. Dan yang jelas, yang dibagi-bagikannya (dan dinikmati
anak-anaknya) bukanlah potongan roti dan beberapa reguk anggur, melainkan
kekayaan yang berlimpah-limpah, yang didapat karena kekuasaan
politik.

Saya senang bahwa ada protes tapi tak ada kekerasan. Saya senang bahwa dengan tulus pimpinan TEMPO minta maaf, dan Sekjen KWI memberikan maafnya. Itu tanda kita masih bersedia menjaga peradaban.


Felix St. Lamuri menulis


Aloo...

Kayaknya kok rada saru...eh seru ngomongkan soal cover
majalah. Padahal aku sempat baca edisi tsb sblm ke
luar kota en menurutku nggak ada sesuatu yg mengganggu
mataku. Bisa jadi aku udah 'tumpul' atau tua (versi
Helena) atau emang gak tau apa2. Bagaimanapun juga
Last Supper merupakan fakta yang kerap mengilhami
ribuan episode kehidupan manusia. Jadi kalau ada yg
merasa terganggu soal itu artinya memang
penghayatannya udah luar biasa, mungkin saking luar
biasanya kerap kejebak dalam perpektif sempit (kalau
dulu Dwidjo n SGH kerap pake jargon 'mental block').
Kalau kebablasan konsepnya mencuat jadi
fundamentalisme. Semua di luar konsep Kristiani
dianggap tidak ada yang beneh... Mungkin itu yang
melatarbelakangi protes berlebihan dari satu kelompok
masyarakat.

Sepakat dgn Helena, kalau nggak jelas jatuhnya pasti
kontraproduktif.

Rgds,
SFL

No comments: