Bendera Setengah Tiang atau Tidak
Hari ini hampir semua kanal televisi besar Indonesia menyiarkan secara live pemakaman mantan Presiden Soeharto. Sejak aku bangun pagi, semuanya serba Soeharto. Semua kanal menampilkan banner tayangan serupa namun tak sama: Selamat Jalan Pak Harto, Akhir Perjalanan Pak Harto, In Memoriam, dan sebagainya.
Tak ada yang luput dari tayangan pemakaman Soeharto, termasuk infotainment yang tega-teganya bikin liputan soal Mayangsari. Gosipnya asyik juga: Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo datang sembunyi-sembunyi. Lalu mereka keluar. Wajah Bambang tegang. Mayangsari menangis. Anak mereka ikut serta.
Pokoknya, soal Soeharto apapun serba dramatis.
Namun yang paling menyenangkan adalah melihat reaksi masyarakat terhadap kematian Soeharto melalui pengibaran bendera setengah tiang.
Kendati pemerintah menyatakan hari berkabung nasional atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto, ternyata tidak semua warga mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berduka. Bahkan wakil rakyat DPRD Jember pun tak semua mengibarkan bendera setengah tiang.
Di sepanjang daerah kampus Universitas Jember, misalnya, tidak semua rumah memancang bendera setengah tiang. Jumlah rumah yang menaati seruan berkabung nasional bisa dihitung jari.
Saat aku pulang ke rumah, satu deret gang di kampungku berjejer-jejer bendera setengah tiang. Sepengetahuanku di gang ini, hanya rumahku, Martin Rachmanto, dan Yakub Mulyono yang tidak memasang bendera setengah tiang. Semuanya wartawan.
Aku tidak tahu kenapa Yakub tidak mengibarkan bendera di depan rumah. Kalau Martin, aku bisa mengira: dia penggemar berat Soekarno.
Aku masuk rumah dan bertanya kepada istriku. “Pak RT tidak ke sini?” Aku tahu ketua RT di kampungku paling tidak betah melihat ada warga tak bisa diajak seragam. Isi kepalanya memang pas dengan orde baru.
Istriku menjawab tidak. “Kalau Pak RT ke sini, aku akan bilang: apa berkabung harus dengan mengibarkan bendera setengah tiang?”
Aku tersenyum. Istriku ini memang semakin progresif saja kian hari. Dia memang ibu rumah tangga biasa. Namun suka baca Tempo dan Kompas.
Bendera setengah tiang. Pertanyaannya: perlu atau tidak. Elite politik Jember sendiri tidak satu sikap soal ini.
Ahmad Halim, seorang anggota Komisi C DPRD Jember, menyatakan dirinya tidak memasang bendera setengah tiang.
“Menurut saya, (pemasangan bendera setengah tiang) itu imbauan. Tidak wajib dilaksanakan. Bukan zamannya lagi melakukan pemaksaan. Lain dengan instansi pemerintah,” kata Halim. Selain itu, ia berpendapat Soeharto masih belum tentu dikategorikan sebagai pahlawan nasional.
Ketua Komisi A DPRD Jember Abdul Ghafur menegaskan, ketidakmauannya mengibarkan bendera setengah tiang adalah sikap politik. “Itu fardu kifayah. Kedua, ini sikap politik bahwa penderitaan dan duka kita jangan hanya disesuaikan momentum, dengan mengibarkan bendera setengah tiang untuk menunjukkan masyarakat berduka,” katanya.
Menurut Ghafur, rakyat sudah lama berkabung dan berduka atas matinya hati nurani. Rakyat sudah berduka atas ketertindasan dan penderitaan sekian lama. “Ini bukannya saya benci Pak Harto. Tidak, saya tidak benci. Ini sikap politik dan sikap politik beda dengan benci,” katanya.
Jufriyadi, anggota Komisi B DPRD Jember, punya pendapat lain. Ia memilih mengibarkan bendera setengah tiang. “Sangat layak bagi kita untuk memberi penghormatan atas mendiang Pak Harto. Mestinya seluruh warga masyarakat menyadari, mengingat begitu besar jasa beliau,” katanya.
Jufriyadi tak mau menyinggung masalah hukum yang membebat Soeharto hingga mengembuskan nafas terakhir. Sebagai muslim, ia berprinsip untuk hanya bicara hal-hal yang baik tentang seseorang yang sudah meninggal.
Aku tumbuh besar di keluarga Masyumi yang diinjak Orde Baru dengan sebutan menyeramkan macam Komando Jihad dan sebagainya. Tumbuh besar dengan didikan agar bersimpati terhadap umat Islam yang diinjak oleh rezim Suharto.
Namun aku bukan orang radikal. Suka atau tidak, aku adalah bagian dari generasi made in Soeharto. Aku belajar di sekolah dengan sistem pendidikan orde baru. Maka, sedikit banyak, doktrinasi orde baru masuk di kepala.
Aku memang beruntung tidak kemudian terjerumus menjadi fan berat Soeharto. Aku bukan fan berat siapa-siapa. Aku dari dulu tidak suka menjadi penggemar seorang pemimpin macam Soekarno atau Soeharto. Pemimpin bukan buat digemari.
Namun, ada juga yang benar-benar memproklamasikan diri jadi fan berat Soeharto. Mereka adalah Roni Aprilianto dan Dwi Ismuji. Dua pemuda ini melakukan aksi demonstrasi mengenang jasa-jasa mantan Presiden Soeharto, di bundaran DPRD Jember, Senin (28/1/2008).
Aksi dua pemuda ini terkesan malu-malu. Mereka memampang poster bergambar Soeharto yang bertuliskan 'Turut Beduka Cita atas Meninggalnya Bapak Soeharto' di dada. Aksi mereka berjalan singkat.
Roni Aprilianto, salah satu pendemo yang mengaku dari Komunitas Anak Bangsa mengatakan, dirinya adalah fans berat Soeharto. “Dulu semasa Pak Harto masih hidup, semua harga kebutuhan pokok murah. Enak. Sekarang Pak Harto tidak jadi presiden, semua naik. Pokoke Pak harto nomor satu,” katanya.
Rencananya mereka akan menggelar tabur bunga. Namun sampai aksi selesai, tidak ada aksi itu. Mereka hanya melambaikan bendera setengah tiang.
Pendapat senada disampaikan demonstran yang lain, Dwi Ismuji. “Saya kagum dengan cara Pak Harto memimpin negara, begitu pesat kemajuannya. Jasa baik Pak Harto dikenang. Jangan hanya sisi buruknya yang tidak seberapa dibanding jasanya,” katanya.
Bagaimana dengan kasus hukum Soeharto? “Itu bisa dilakukan nanti, terutama kepada anak-anaknya,” kata Ismuji.
Soeharto: hitam dan putih. Dia akan selalu menyisakan tanya. Televisi tak mampu menjawabnya. (*)
28 January 2008
Labels: Obrolan Kota
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment