19 December 2007

Wawancara dengan Janet Steele, Profesor George Washington University
Visi Editor Indonesia Kurang Luas

Bisa diterangkan tentang apa sebenarnya jurnalisme naratif?
Perbedaan antara jurnalisme naratif dengan biasa adalah struktur berita. Kebanyakan jurnalisme biasa pakai piramida terbalik di mana smua fakta paling penting ditaruh di kalimat pertama, jurnalisme satsrawi atau narasi memakai bentuk cerita dengan bagian awal, pertengahan, dan terakhir. Lebih seperti becerita.
Dan saya kira di Amerika sekarang jurnalisme naratif cukup populer karena persaingan antara media cetak dengan media elektronik. Banyak pembaca koran sudah tidak mendapatkan breaking news dari koran. Mereka sudah tahu dari internet, televisi, radio. Jadi untuk memikat pembaca baru, banyak koran di amerika memakai jurnalisme naratif untuk menulis tentang peristiwa lebih mendalam, untuk orang yang sudha tahu apa yang terjadi.

Kalau di koran tidak semua berita bisa memakai gaya ini, karena pembaca sibuk tidak cukup waktu membaca banyak berita yang panjang. Kadang seseorang hanya ingin tahu apa yang terjadi. Tapi biasanya di kota saya wahsington DC, washington post biasanya memakai satu atau dua berita setiap hari yang memakai gaya ini.

Konteks Indonesia, sudah sangat penting dipakai di media massa harian?
Terserah wartawan Indonesia. Tapi saya kira ada kesempatan. Secara umum belum dilakukan di koran di sini. Sbenatnya saya tidak tahu mengapa. Karena struktur piramida terbalik dipinjam dari budaya barat. Di Indonesia ada budaya bercerita. Tapi mengapa struktur pirmida terbalik sangat populer di sini, ada sesuatu tidak asli.

Mungkin salah satu perbedeaan di indonesia, media cetak masih sangat kuat. Tapi saya kira ini akan berubah di masa depan. indonesia sama dengan negara lain, waktu lebih banyak internetn penetration, lebih banyak orang yang memakai internet, saya kira surat kabar akan menderita. Para pembaca akan hilang. Jadi kalau saya bisa memberi nasehat kepada pemilik surat kabar, mungkin gaya jurnalisme narasi atau sastawri harus dipertimbangkan.

Berapa tahun dari sekarang harian akan tersiksa dengan masuknya internet?
Saya kurang tahu. saya kira ada beberapa hambatan di Indonesia. Kalau seseorang memakai intenet dial up, masih mahal sekali. pulsa telpon. Saya membaca lebih mahal di sini daripada negara lain di asia tenggara, dan belum ada broad band internt di mana-mana. Susah diprediksikan.

Tapi saya kira akan terjadi, karena sudah terjadi di hampir semua negara maju. Dan akan terjadi di sini juga.

Kalau internet bergerak pada kecepatan, apakah relevan media online memakai jurnalisme naratif?
Saya kira sangat relevan, karena secara umum kita sebagai manusia semua suka cerita. Untuk internet, tida harus dipakai persaingan media lain, tapi untuk memikat pembaca untuk menyimpan pembaca, kalau ada berita yang lebih menarik dna mendalam, orang akan suka. Seperti kita lihat dalam kelas ini, semua peristiwa yang kecil saja kalau diceritakan dengan baik, akan menarik perhatian.

Saya mungkin terlalu optimis, tapi saya kira di masa depan, tulisan yang sangat kaya yang snagat menarik diplatform apa saja. Saya kira kalau dipakai di internet mungkin ada beberapa trik kecil yang berbeda.

Misal, Di website, karena seua berita tidak akan diberi di halaman pertama, mungkin perlu ada satu atau dua kalimat sebagai inti berita, agar pembaca tahu dan membuka tulisannya.

Tapi ini kecil saja. Kalau perhatian pembaca bisa dipikat, mereka akan membaca terus-menerus.

Persaingan media online realtime, setiap detik, setiap menit. Sebaiknya pada berita apa sebuah naratif reportase dilakukan?
Mungkin pendapat saya berbeda. Saya belum melihat website mas oryza. Tapi saya kira secara umum kebanyakan news online hanya upload berita biasa di koran. Bentuk berita masih sama dengan koran. Internet belum dipakai istimewa internet.

Di amerika, news website sangat lebih interaktif. Orang bisa mengirim video, bisa mengirim berita sendiri. Saya sering membaca website tempointeraktif, mereka hanya upload berita biasa. Ini berbeda skali dari apa bisa dipakai dan sudah dipakai di amerika, di mana ada berita, ada balasan komentar dari pembaca, ada video, ada feature yang berebda sekali. tidak ada persoalan hambatan ruang di internet. Kalau ada wawancara, semua hasil wawancara bisa dimuat.

Ada berita, ada supporting document yang bisa dimuat. Ini belum dilakukan di sini.


Apa yang harus dilakukan penulis online untuk mengatasi kejenuhan pembaca?
Well, saya kira kalau kualitas tulisan cukup baik, pembaca akan bertahan. Misalnya di wahsington post ada satu feature luar biasa, ada pemain musik violinis sangat terkenal. Sebagai percobaan dia bermain violin di halte subway.

Pertanyaan: apakah penumpang subway akan berhenti dan mendengar musik yang luar biasa oleh pemain musik yang luar biasa, atau akan terus saja. Ada berita yang panjang sekali, ada video sepuluh menit. tulisan itu mendapatkan perhatian daris eluruh dunia, ada komentar, ada respons.

Jadi saya kira persoalan di Indonesia tidak ada cukup broadband, dan internet terlalu mahal. Tapi saya kira ini akan berubah.


Apakah secara umum wartawan Indonesia sudah cukup punya kapasitas untuk menulis narasi?
Saya kira sudah sangat berkapasitas, menurut saya, masalahnya mungkin visi editor yang kurang luas. Saya kira lebih mudah melakukan apa yang selalu dilakukan. Jadi untuk memberi lebih banyak waktu, karena untuk melakukan reprotase mendalam perlu lebih banyak waktu. Sering di Indonesia, seorang wartawan harus menulis dua atau tiga berita setiap hari. Kalau ini ditugaskan, tidak cukup waktu untukm menulis sesuatu yang lebih panjang.

Belakangan ada tren E-Book di internet. Dalam konteks berita online itu satu keunggulan?
Ada persoalan untuk penerbit buku kalau semua bisa diownload dengan gratis. Tapi saya memperhatikan di amerika sekarang banyak artikel yang bisa dibeli dengan harga yang tidak terlalu mahal. Misalnya, kalau saya mau membaca sebuah artikel yang diterbitkan jurnal akademis dan saya tidak berlangganan jurnal itu, saya bisa download dan harus membayar 5 dollar. Ini sering terjadi sekarang.

Tapi saya kira industri ini belum matang, masih ada banyak yang belum direncanakan. saya kira industri belum pasti apa yang akan terjadi. Tapi akan ada banyak kemungkinan termasuk download books. Saya terkejut sekali buku saya bisa dibaca gratis lewat google. Googlebooks, bisa didownload. Sebagai penulis, ini tidak terlalu baik. Tapi ya, saya menulis buku supaya orang membaca. Jadi tidak apa-apa.

Di The Washington Post, hanya ada satu dua artikel naratif. Apakah ini artinya di Amerika narasi tersendat perkembangannya?
Saya kira lebih realis. Kalau saya beli koran, saya tentu tidak mau membaca semua berita pakai gaya (jurnalisme naratif). Kadang-kadang saya cuma ingin tahu apa yang terjadi. Jadi ada variasi, ada banyak macam berita dalam koran amerika. Tapi saya kira ini semakin lama semakin banyak dilakukan di amerika.

Tidak semua koran. Misalnya, adik saya bekerja untuk koran di negara bagian florida yang tidak memakai gaya ini. Tapi koran persaingan memakai gaya itu. Jadi ada pilihan, ada orang yang lebih tradisional yang suka mendapatkan berita dengan cepat. Tapi ada orang lain yang lebih suka membaca tertarik dengan berita yang lebih seperti cerita.

Jurnalisme sebagai indutsri jadi pertimbangan untuk pemakaian genre ini?
Ya, ya, seperti saya sendiri, kadang-kadang saya terlalu sibuk. Tapi kalau ada berita yang cukup menarik, tidak harus dibaca hari itu, bisa dibaca minggu depan, masih menarik. Ini semacam ujian tentang jurnalisme yang sangat brmutu. Kalau masih menarik beberapa hari sesudah diterbitkan, ini tanda bahwa tulisan ini bagus sekali.

Apa yang membuat tokoh-tokoh media massa tidak mau menggunakan jurnalisme narasi?
Kebiasaan saja. Mungkin juga ada ketakutan, bahwa kalau seseorang diberi cukup waktu untuk menulis dengan gaya ini, dia tidak akan terlalu produktif. Ehm, saya kira juga tidak semua wartawan punya kapasitas atau keinginan memakai gaya ini. Pada mahasiswa saya, misalnya, ada sebagian yang sangat suka menulis, dan ada lain yang suka menulis gaya jurnalistik, namun mereka tidak tertarik dengan gaya ini. Tidak harus dipakai semua orang. Tapi kalau di setiap kantor suratkabar atau internet, ada orang yang suka gaya ini, kenapa tidak mencoba?

Saya kira ada persoalan uang dan waktu. Mungkin lebih baik ada penulis luar biasa yang diberi cukup waktu untuk melakukan cukup reporting, mendapatkan bahan reportase, sehingga bahan mendalam lebih bisa.

Faktor pembaca apakah berpengaruh terhadap itu?
Saya kira penting juga. Ada asumsi tentang pembaca, oh orang Indonesia tidak suka membaca. Saya kira ini tidak benar. Saya kira orang Indonesia suka membaca, mereka suka membaca blog, suka membaca novel, mungkin berita koran perlu diubah sedikit. Saya tidak setuju belum ada budaya bacaan di Indonesia. Tapi sering saya dengar ini, saya tidak setuju.

Saran janet untuk redaktur Indonesia?
Kenapa tidak coba sesuatu yang baru. Sudah ada yang mencoba. Di Tempo misalnya ada reportase mendalam dengan memakai suara pertama, dan orang suka. Pembaca suka. Yang aneh bagi saya, di edisi minggu, banyak surat kabar ada tulisan panjang tapi sering talk pieces, esai, atau tulisan intelktual, atau cerita pendek. Tapi mengapa tidak mencoba jurnalisme yang lebih seperti cerita, kaya dngan detail, rerportase, wawancara, karena fakta bisa menarik seperti fiksi, kadang lebih menarik. Saya tidak mengerti. Sebenarnya banyak kesempatan, terutama di edisi minggu.

Bisakah reportase naratif diterapkan pada bidang reportase yang memerlukan kata teknis yang sangat banyak, seperti hukum, pertanian?
Saya kira di semua bidang, hukum dan pertanian, selalu ada aspek manusia. Selalu ada orang yang akan menderita, menang, gagal. Saya kira di jurnalisme naratif sama dengan cerita, ada plot, ada adegan, ada tokoh. Dan saya kira kalau mau menjelaskan sesuatu tentang hukum, pasti ada tokoh yang menarik, ada kejadian menarik, ada adegan yang bisa diciptakan kembali. Saya kira tidak di semua berita, tapi sebagian bisa digambarkan cerita tentang seorang, dan ini pasti akan lebih menarik. Mengapa tidak?

Idealnya untuk online sebuah tulisan naratif berapa kata?
Saya tidak tahu.

Saya selalu membayangkan ada faktor kejenuhan pembaca. Ini ketakutan pada saya ketika saya menulis.
Ada orang yang berpikir semua harus dibaca di layar pertama. Saya tidak setuju. Kalau ada sesuatu yang menarik, saya akan membaca terus.

Di kantor saya, ada broadband, jadi lebih cepat. Di rumah saya memakai dial up. Lebih pelan. Jadi ada pembatasan teknologi. Di Indonesia, kebanyakan orang tidak punya komputer di rumah mereka. Ini salah satu hambatan di Indonesia. Tapi ini akan berubah.

Eksperimen Mark Bowden dalam Black Hawk Down menampilkan audio. Apakah itu umum di amerika?
Saya kira ini baru saja terjadi di amerika. Surat kabar seperti di Philadelphia Inquirer memakai banyak multimedia dalam website mereka. Misal adik saya, dia bekerja di Tampa Tribune, sekarang kebanyakan orang di newsroom mereka menulis untuk tampa bay online. Semua wartawan muda diberi kamera video. Mereka ada ekspektasi bahwa untuk menulis website dulu. kalau ada breakingnwes di website dulu, lalu dimuat di koran.

Semua dipindah sampai media online, karena sirkulasi koran mereka sangat turun. Ini belum terjadi di sini. Kadang saya di Indonesia merasa seperti saya masuk mesin waktu, time machine, saya bisa meramalkan masa depan. Saya kira ini akan terjadi. Saya kira kalau saya bisa membri nasehat pada media cetak, telvisi, saya kira mereka harus menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi, karen masa depan mereka sangat penting.

Model Philly Inquirer dalam Black Hawk Down paling tepat?
Ya, karena internet punya kapsitas luar biasa. Di berita tradisional, saya akan melakukan reporting kemudian menulis berita. Tapi kalau saya menulis untuk internet, saya akan bisa menguatkan dokumen bukti, sangat transparan. Atau link ke artikel lain, mungkin saya bisa menjawab pertanyaan dari pembaca, mungkin ada bisa jawab pertanyaan secara hidup, live chatting.

Di kelas saya, saya beri artikel washinton post tentang rumah sakit yang ditulis dua wartawan sangat berbakat dengan jrunalisme narasi. Mereka menulsi dua bagian di koran biasa. Ini diterbitkan bulan maret tahun ini. Tapi sampai sekarang masih ada akibat di website wahsington post, masih ada follow up berita, masih ada komentar, video dari saksi. Interent luat biasa. Tapi semua akibat ini berasal dari dua berita yang memakai gaya narasi.

Di masa depan mungkin media cetak dan internet tidak akan pisah seperti sekarang. Di masa depan, pasti ada keperluan untuk orang yang menulis dengan baik, bisa menggambarkan dengan baik, bagi koran maupun ienternet.

Sekarang transkrip perdebatan di DPR sudah ada. Bisa memakai link bagi orang yang tertarik membaca yang asli, bisa membuat audito wawancara. Ada banyak yang bisa dilakukan. Tapi saya kira di internet masih ada keperluan tulisan bagus. Ini dasar. Reporting, writing, editing, selalu akan penting di platform apa saja. Saya kira untuk memperbaiki kualitas tulisan ini sangat bagus. (*)

(Wawancara dilakukan Oryza Ardyansyah dan Razak dari hukumonline.com)

No comments: