27 December 2007

Trik PKL Jember Menghadapi Stres
Istri Tidur Pakai Celana, Mahmud Pusing Kepala

Penataan pedagang kaki lima membuat Sodik Mahmud bisa pusing kepala. Jika penataan salah urus dan bikin dagangannya merugi, kepalanya bisa cekot-cekot karena istrinya memilih tidur dengan bercelana.


“Kalau sampai setoran uang ke istri nggak cukup, bisa-bisa istri tidur pakai celana, nggak pakai daster. Kalau begini, saya kan tambah susah,” kata Mahmud, saat saya temui di tempatnya berdagang di jalan Untung Suropati, Kamis (27/12/2007).

Orang-orang di sekitarnya tertawa, termasuk istrinya. ‘Istri tidur pakai celana’ adalah humor khas pedagang kaki lima, terkait dengan urusan kehidupan seksual mereka.

Jika istri tidur bercelana, maka itu menandakan dirinya tak mau melayani birahi sang suami. Lain halnya jika sang istri memakai daster yang mudah dicopot. Itu pertanda kerelaan berhubungan seks.

Seorang pedagang bisa terancam tidak dilayani di atas ranjang, jika uang belanja yang diberikan kepada istri tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Syamsul Arifin, pedagang kaki lima lainnya, melemparkan canda pula. Ia mengatakan, pasukan polisi pamong praja yang ditugaskan menjaga penataan PKL berasal dari hampir semua kecamatan di Jember. “Saya bilang, apa nggak sekalian saja dibawakan anjing,” katanya.

Celotehan-celotehan mengundang tawa itu muncul, saat Syamsul dan Mahmud membongkar gerobak bersama ratusan pedagang kaki lima di jalan Untung Suropati. Mahmud dan Syamsul sama-sama pedagang makanan. Hari ini, gerobak yang biasa digunakan berdagang harus mereka bongkar, karena akan ada pengaspalan jalan.

Pengaspalan jalan merupakan bagian dari rencana Pemerintah Kabupaten Jember untuk menata pedagang kaki lima di tiga wilayah pusat kota, yakni jalan Untung Suropati, Samanhudi, dan Diponegoro. Selama dua hari, 28 – 29 Desember, ratusan pedagang tidak akan berjualan sementara waktu.

“Kalau bicara sekarang harus hati-hati, Mas, karena banyak orang sutris. Orang belakang mestinya hati-hati kalau ngomong. Petugas juga hati-hati kalau ngomong. Saya sih bisa sabar. Tapi kan lama-lama bisa marah juga, wong bukan malaikat,” kata Syamsul, tersenyum lebar.

Sutris adalah pelesetan dari kata ‘stres’. Orang belakang yang dimaksud adalah para pemilik toko yang selama bertahun-tahun merugi karena toko mereka ditutupi oleh lapak-lapak pedagang kaki lima.

“Anak saya nangis, Mas. Tidak mau sekolah, karena belum bayar SPP. Kita mintanya orang atas mau membantu kondisi kita.”

“Dulu waktu zaman Pak Harto memang tidak boleh berjualan di atas trotoar. Lalu pedagang tambah banyak. Zaman Pak Samsul (Bupati Samsul Hadi Siswoyo) bebas. Zaman Pak Djalal, dengan visi ‘membangun desa menata kota’, ya seperti ini,” kata Syamsul.

Tubuh Syamsul mulai berkeringat. Ia mencopoti beberapa bagian gerobaknya. Gerobak itu dibuat dengan harga tak murah. “Sampeyan taksir saya habis berapa bikin gerobak ini? Bukannya menghina, uang Rp 1 juta tidak cukup kalau dipakai membuat gerobak ini,” katanya.

Pemkab Jember memang memberikan uang Rp 1 juta kepada setiap PKL yang akan ditata. Jumlahnya mencapai 300 orang lebih. Uang itu dimaksudkan untuk memperbaiki gerobak mereka. Namun sebagian pedagang menolak, karena menganggap dengan menerima Rp 1 juta, berarti mereka setuju untuk dipindah dari lokasi berdagang saat ini.

“Kita ini mau ditata seperti apapun modelnya, asal jangan dipindah dan boleh berjualan pagi hingga malam,” kata Syamsul. Pemkab memang menginginkan agar PKL memakai gerobak dorong yang bisa dibawa pulang setelah berjualan, dan membatasi jam dagang pada pukul tiga sore hingga satu malam.

Syamsul berencana tak lagi berdagang nasi goreng dan bakso. “Saya mau dagang cawet (celana dalam) dan baju. Kalau dagang makanan, harus pindah ke Samanhudi,” katanya.

Tak mudah membongkar gerobak dagangan Syamsul. Dibutuhkan sepuluh orang yang membantu. Tanpa roda, gerobak itu harus diangkat lebih ke tepi jalan, berimpitan dengan trotoar.

Saya heran, mengapa Syamsul dan Sodik masih bisa tertawa-tawa dan bercanda, kalau merasa tertekan dengan program penataan pedagang kaki lima. Syamsul menjawab dengan senyum lebar.

“Kita orang kecil disuruh sabar ya sabar. Kalau marah-marah tidak pada tempatnya nanti disangka gila. Kata ulama, kalau shalat tapi tidak mau sabar, bagaimana. Kalau sabar tapi tidak shalat kan juga bagaimana,” katanya.

Langit mendung. Tubuh Syamsul berkeringat. Saya bermaksud mohon pamit.

“Saya sejak lama sudah ingin bertemu wartawan, bagaimana sih sebenarnya wartawan itu, mungkin bisa membantu. Sekarang sudah ketemu,” kata Syamsul.

Kami pun berjabat tangan. Saya mengucapkan tabik sebelum beranjak. (*)

No comments: