Selasa, 11/12/2007 00:42 WIB
Dari Kursus Jurnalisme Sastrawi
Gara-gara Narasumber, Indonesia Dianggap Bebal
Jakarta – Saat ini media massa di Indonesia harus berhati-hati mengambil kutipan dari pejabat sebagai narasumber. Selain itu, narasumber pengamat juga harus diwaspadai karena pernyataannya justru bisa menimbulkan bias dalam pemberitaan.
Hal ini dikemukakan jurnalis Andreas Harsono, saat mengampu Kursus Jurnalisme Sastrawi XIV hari pertama di kantor Pantau, Senin (10/12/2007). Ia menyoroti kebiasaan media massa Indonesia yang selalu menyajikan pernyataan pejabat dan pengamat.
"Banyak sumber kita yang sering ngomong sektarian, fasis, sehingga terkesan panas. Orang luar melihat Indonesia bebal," kata Harsono.
Banyak pejabat yang saat diwawancarai memilih melontarkan pernyataan yang tidak kongret dan abstrak. Padahal, semakin kongret sebuah pernyataan maka semakin jelas bagi masyarakat dan ini akan membantu masyarakat untuk bisa mengambil keputusan yang bermutu bagi diri mereka.
Bagaimana untuk menghindari keabstrakan narasumber pejabat? "Kita harus down to earth. Jauhi pejabat. Kalau boleh saya usul, kita tidak mengutip pejabat tapi orang yang di bawah, yang lebih riil," kata Harsono.
Selain narasumber pejabat, narasumber lain yang patut diwaspadai adalah narasumber yang dilabeli sebagai pengamat. Beberapa kerusuhan etnis yang terjadi di tanah air juga disulut komentar dari pihak yang disebut sebagai pengamat.
Menurut Harsono, konsep pengamat atau observer adalah warisan perang dingin. Saat itu, para wartawan Barat tidak bisa mengakses informasi di negeri komunis, karena tidak diberi kesempatan mengunjungi negara-negara Blok Timur.
Media massa Barat kemudian bersiasat menggunakan pastur-pastur Jesuit yang melakukan gerakan penginjilan di negara-negara tersebut. Pastur-pastur ini boleh dibilang pandai. "Jadilah mereka disebut sebagai observer, pengamat," kata Harsono.
Parahnya, di Indonesia, media massa tanpa mengetahui konteks tersebut langsung main adaptasi. Maka bertebaranlah pengamat ekonomi, pengamat politik, pengamat sosial budaya, dan lain-lain.
Padahal, media massa seharusnya baru bisa memunculkan narasumber ahli saat liputan media tersebut bersinggungan dengan riset yang pernah dikerjakan sang narasumber. Ini disebut sumber kedua. "Tapi sumber kedua ini tak boleh diletakkan di tempat yang penting," kata Harsono.
Media massa seharusnya menembus lingkar pertama dari objek reportase. Jika lingkar narasumber pertama tidak bisa diakses, barulah masuk ke lingkar narasumber kedua dan seterusnya.
"Jadi kalau mau meliput pembakaran gereja, ya jangan tanya kepada kepolisian. Langsung datangi gereja itu, tanya korbannya," kata Harsono.(*)
11 December 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment