11 December 2007

Catatan dari Diskusi Media Massa di Pantau (1)
Dilema Redaksi, Kepemilikan Media, Citizen Journalism

Jakarta – Sehari terlibat dalam kursus jurnalisme sastrawi di Pantau (saya lebih suka menyebutnya diskusi media massa yang bermutu), Senin (10/12/2007), perspektif saya soal dilema ruang redaksi media massa di Indonesia semakin kuat.

Saya pernah bekerja di media massa harian, dan saat ini saya bekerja di media online. Saya pikir, secara umum, ruang redaksi lebih banyak dikepung dan dibetot oleh kepentingan kapital daripada ditarik oleh kepentingan publik.

Dalam kepungan seperti itu, konsep firewall (tembok api) yang memisahkan ruang redaksi dengan kepentingan modal menjadi kabur. Dalam konsep tembok api, kepentingan pemodal (pengiklan, pemilik media) tidak boleh mempengaruhi kebijakan redaksi.

”Chief editorial yang baik harus pasang badan terhadap siapa saja yang mau menerobos ruang redaksi. Chief editorial yang baik tidak membatasi wartawannya. Pemilik media yang baik tidak membatasi ruang redaksinya,” demikian kira-kira Andreas Harsono, jurnalis dan pengampu kursus ini.

Persoalannya, di Indonesia, 95 persen media massa dimiliki oleh orang-orang yang juga mengelola kepentingan bisnis lainnya. Di satu tangan, mereka memegang korporasi media, di tangan lain, mereka memegang korporasi bisnis gila-gilaan. Faktanya, dua kepentingan ini tak jarang bersinggungan, dan menjadi bom waktu bagi media massa Indonesia.

Bagaimana media massa bisa independen terhadap dirinya sendiri, jika sang bos yang memiliki modal ternyata punya bisnis yang menjadi sorotan publik? Sulit. Ini juga mempersulit posisi wartawan untuk bisa melayani publik dengan informasi yang tidak bias.

Ada metode kerja verifikasi. Wartawan diharapkan membangun kebenaran sepotong demi sepotong, dengan sabar. Harsono mengistilahkan seperti stalagmit.

Namun, tentunya wartawan yang baik sekalipun akan frustasi, saat hasil kerjanya dengan metode yang benar dipatahkan oleh kepentingan modal di ruang redaksi. Ia tetap saja akan frustasi, karena mengetahui media tempatnya bekerja mencetak berita yang sudah disunting oleh kepentingan di luar kepentingan publik. Publik menjadi korban.

Maka, elemen kesepuluh dari jurnalisme yang dituliskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel untuk melengkapi Sembilan Elemen Jurnalisme yang legendaris itu, tak pelak lagi, memang menjadi terobosan bagi dilema media massa Indonesia.

Elemen kesepuluh itu adalah publik. Publik ikut bertanggungjawab terhadap jurnalisme. Maka, kehadiran para jurnalis ’amatir’ melalui blog dan website-website pribadi sangat dinanti.

Para jurnalis ini, yang berasal dari berbagai macam kelompok, etnis, agama, dan latar belakang politik, akan bisa melengkapi – atau bahkan menjadi wacana tanding – bagi apa yang disajikan di media massa mainstream.

Intenet menjadi dewa penolong munculnya jurnalisme kewargaan ini. Siapapun dengan mudah mengakses blog. Gratis. Cepat. Siapapun bisa memberitakan dirinya sendiri di dunia maya: mulai dari seniman jalanan hingga artis gedongan.

Para citizen journalist ini punya komunitas sendiri. Mereka lumayan solid. Di Indonesia, tempo hari ada konferensi blogger. Para jurnalis ini bisa lebih bebas daripada wartawan arus utama, karena mereka independen terhadap pemodal manapun.

Situs www.beritajatim.com, yang Anda akses ini, juga telah memberikan ruang bagi publik untuk melaporkan sendiri peristiwa atau isu-isu yang diabaikan arus utama media massa hari ini. (*)

No comments: