09 December 2007

Sehari Menjelang Kursus
Kantor Pantau? Masa Sih…

Jatinegara. Kantuk sudah sepenuhnya hilang. Saya tidak tahu ini pagi pukul berapa. Ponsel saya matikan, belum saya hidupkan. Baterainya perlu di-charge.

Saya bertanya kepada teman seperjalanan yang duduk di sebelah saya. “Masih jauh?”

“Sudah dekat,” jawabnya.

Saya naik kereta api Sembrani kelas eksekutif di gerbong tiga sejak dari stasiun Pasar Turi, Surabaya. Ibu itu naik dari stasiun Tawang, Semarang. Ia bekerja sebagai perawat di rumah sakit Elisabeth, dan hendak mengikuti pelatihan empat hari di Gatot Subroto. Kami sama-sama hendak turun di stasiun Gambir.

Saya jelaskan, saya hendak mengikuti pelatihan jurnalistik di Kebayoran Lama. Ia mengangguk.

Gambir memang tak jauh. Saya pernah ke Jakarta, terutama untuk nonton sepakbola di Senayan. Saya biasanya naik kereta api kelas ekonomi, turun di Senen. Tujuan jelas: Senayan. Saya pendukung berat Persebaya Surabaya hingga kini. Orang-orang memanggil kami Bonek. Saya tak pernah keberatan disebut Bonek. Bondo Nekat.

Modal nekat. Aspek kenekatan bisa dilihat dari berbagai perspektif: saya dulu naik kereta api bayar karcis, masuk stadion bayar tiket, tidak pernah memalak orang. Tapi saya tetap Bonek, karena demi nonton Persebaya saya nekat bolos kuliah, menabung seadanya.

Sejak bekerja sebagai jurnalis, saya sudah tak pernah nonton Persebaya di Senayan. Pekerjaan saya yang bertempur dengan deadline tidak memungkinkan saya meluangkan waktu berpetualang ke Jakarta.

Jadi, ini hari kembalinya saya ke Jakarta untuk pertama kali. Kali ini saya tidak hendak nonton sepakbola. Saya hendak mengikuti kursus jurnalism sastrawi yang digelar Pantau, dengan instruktur Andreas Harsono dan Janet Steele. Kursus ini sudah lama saya idamkan. Tapi besarnya biaya kursus yang mencapai Rp 4 juta, membuat saya harus memendam keinginan.

Saya baru bisa mengikuti kursus ini setelah suatu hari Andreas Harsono menelpon. Saya lupa tanggalnya. Seingat saya, sekitar sebulan sebelum kursus. Saat itu pagi, saya hendak berangkat ke lapang untuk reportase. Dengan nada suara yang halus, Andreas memperkenalkan diri.

Ia tak berlama-lama, dan menawarkan beasiswa untuk kursus jurnalisme sastrawi angkatan keempat belas, 10 – 21 Desember 2007. Pengampunya dia sendiri dan Janet Steele, seorang profesor George Washington University yang menulis buku tentang majalah TEMPO.

Menurut Andreas, beasiswa diberikan untuk satu orang saja. “Saya sebetulnya sering dimarahi teman-teman karena suka memberikan beasiswa. Tapi Linda Christanty mengatakan kepada saya, anak ini berbakat dan perlu diberi kesempatan,” katanya.

Ia percaya dengan Linda. Linda Christanty adalah editor situs Pantau. Situs Pantau beralamat www.pantau.or.id. Situs ini ada menggantikan keberadaan majalah Pantau yang sudah mati sekitar dua tahun silam. Majalah Pantau adalah majalah yang menyajikan tulisan-tulisan panjang yang enam dibaca. Semasa akhir saya jadi mahasiswa dan awal-awal menjadi wartawan, Pantau adalah legenda di kalangan pers kampus.

Saya berkenalan dengan Linda, ketika tulisan panjang saya mengenai resensi buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi karya Bondan Winarno dimuat di Pantau. Panjangnya 5.000 kata lebih. Tapi oleh Linda diedit menjadi sekitar 4.500 kata. Saya mendapat uang sekitar Rp 1,8 juta saat itu. Per kata dalam artikel saya dihargai Rp 400. Ini harga tulisan tertinggi yang pernah saya terima.

Saya sebenarnya tidak berniat mengirimkan tulisan itu di Pantau. Malah mulanya saya berniat mengirimkan untuk KOMPAS, dengan tema peringatan 10 tahun terbit dan dibreidelnya buku Bondan Winarno itu.

Setelah saya baca buku Bre-X, saya wawancarai pengarangnya via email. Saya tertarik dengan artikel dari Andreas Harsono soal meresensi buku yang baik dan benar. Saya coba terapkan. Saya ubek-ubek internet untuk menarik narasi dalam buku Bondan dengan kondisi terakhir para aktor skandal emas Busang itu. Saya juga ceritakan bagaimana perjuangan Bondan menghadapi gugatan IB Sudjana di pengadilan.

Tak dinyana, tulisan saya mencapai 5.000 kata atau 15 halaman dengan spasi tunggal. Tak mungkin saya kirim ke Kompas. Saya juga tak ingin mengeditnya lagi. Saya merasa tulisan ini adalah anak kandung intelektual saya. Lalu saya ingat Pantau, dan saya coba-coba kirim ke sana.

Hasilnya? Saya sebenarnya tak berharap banyak untuk dimuat. Menembus Kompas saja susah. Apalagi menembus Pantau yang punya standar jurnalisme tinggi, walau saya tahu Pantau bisa juga tertarik dengan penulis yang tak bernama seprti saya.

Lalu, suatu pagi, sekitar pukul 05.30, saya dibangunkan oleh sebuah nomor asing yang menerjang masuk ponsel Pantech saya. Dari mana nih? Saya angkat, dan “Halo, Oryza. Saya Linda Christanty dari Pantau. Tulisan kamu soal Bre-X mau saya muat nih. Tapi saya edit ya. Tidak apa-apa kan?”

Linda Christanty. Pantau. Saya mungkin mimpi. Selanjutnya, saya tidak ingat lagi Linda ngomong apa. Ini mimpi. Tapi tetap saja saya jawab: “Terserah, Mbak. Nggak apa-apa, kalau memang harus diedit.”

Telpon ditutup. Saya mau teriak, dan… yaaah… Seharian hati saya bergembira hari itu.

Tulisan kedua saya soal radio Prosalina juga diedit Linda, setelah sebelumnya sempat berada di tangan Andreas Harsono. Tulisan itu dimuat juga. Hasilnya alhamdulillah. Istri saya gembira betul.

Istri saya juga ikut bergembira, saat Andreas menelpon saya dengan tawaran beasiswa kursus itu. “Tapi kami hanya menanggung ongkos kursus. Biaya hidup, akomodasi, dan transportasi di Jakarta Anda tanggung sendiri,”lanjut Andreas.

Tidak masalah. Saya dan istri saya sepakat memecah tabungan. Hitung punya hitung, kami butuh Rp 2 juta. Untung, tabungan cukup, maka berangkatlah saya ke Jakarta.

Dan, inilah saya. Turun dari Sembrani di stasiun Gambir. Saya membantu ibu perawat tadi membawakan salah satu barangnya. Ia menanti jemputan. Saya mohon diri, dan langsung keluar stasiun. Mulanya hendak naik bus. Tapi, akhirnya saya memilih naik ojek.

Pria berkumis itu berbahasa dialek Jawa Timur. Belakangan saya tahu ia calo. Ia tawarkan Rp 50 ribu. Saya tolak. Saya tidak tahu seberapa jauh Pantau dari Gambir. Saya juga bego, kenapa tidak tanya ke Dayu (anak Pantau yang selalu berkomunikasi dengan saya sebelum berangkat), soal ongkos ojek.

Saya tawar Rp 20 ribu. Ia langsung minta Rp 25 ribu. Saya merasa Rp 25 ribu kemahalan. Tapi okelah, maka berangkatlah saya membonceng sepeda motor yang dikemudikan Nur Rohman, tukang ojek kelahiran Lamongan yang besar di Jakarta.

Saya dan dia sempat bingung mencari tahu pom bensin Cidodol yang dekat dengan tempat kos dan Pantau. “Saya sudah jarang narik ojek ke daerah sini, Mas,” kata Rohman.

“Wah, sampeyan saja yang besar di Jakarta tidak hapal. Apalagi saya.”

“Nggak semua orang Jakarta hapal Jakarta, Mas. Kalau nggak tukang ojek, nggak mungkin hapal (jalan-jalan di Jakarta),” ia membantah.

Tapi sampai juga. Rumah kos saya tepat di depan pom bensin Cidodol itu. Saya beri Rohman Rp 30 ribu. “Nanti kalau saya ingin jalan-jalan, sampeyan saya hubungi. Tanggal 22 Desember saya pulang ke Surabaya,” kata saya. Saya minta nomor ponselnya.

“Iya, Mas.”

Saya mendadak teringat Nagabonar. Si tua keras kepala itu jalan-jalan ke Jakarta, dan bersahabat dengan seorang penarik bajaj. Ia datangi patung Sudirman, patung Proklamasi. Kasih hormat. Saya ketawa-tawa lihat film Nagabonar Jadi Dua.

Saya bertemu Dayu. Mulanya saya kira, ia lebih tua dari saya atau mungkin sepantaran saya. Ternyata, ia lebih muda. Berjilbab, berkacamata, agak gemuk. Suka tertawa dan humoris.

Dayu, saya kira adalah gadis Bali. Tapi dia bilang dari Sunda. Dayu akronim dari Diah Ayu. Tapi dia sempat kuliah di Universitas Lampung dan jadi aktivis pers kampus di Teknokra.

Ia minta maaf kepada saya. “Waduh, jadinya Mas Oryza yang nunggu.” Saya memang menunggu dia setelah sampai di depan pom bensin Cidodol. Tapi saya katakan, tak masalah.

Dayu mengantarkan saya ke kamar kos. Kamar kosnya tidak terlampau besar, tapi sudah cukup bagi saya. Ada kipas angin, kamar mandi sendiri. Dipan dua. “Mas nanti sekamar dengan anak Pontianak, wartawan Tribun Borneo,” kata Dayu. Anak itu belum datang. Mungkin nanti malam.

“Mau lihat Kantor Pantau?”

Saya menyambut antusias. Capek saya hilang.

Kami berjalan sekitar 100 meteran. “Ini kantor Pantau,” kata Dayu, menunjuk sebuah bangunan bertingkat empat lantai mirip ruko.

Saya tidak percaya Pantau berkantor di sana. Dalam bayangan saya awal, Pantau akan berkantor di gedung seperti Graha Pena, mungkin lebih kecil, tapi yang jelas tidak seperti bangunan di hadapan saya sekarang.

Bangunan itu cenderung tak terawat. Rumput liar di sana-sini. Cat terkelupas. Satu-satunya penanda Pantau hidup di sana adalah papan nama bertuliskan Pantau di tingkat empat. Ada papan nama pula bertuliskan Strategy.

“Hanya orang-orang terpilih yang bisa datang ke Pantau dengan tepat tanpa nyasar,” kata Dayu, tertawa. Selama ini sebagian besar tamu Pantau selalu nyasar. Mungkin tidak mengira markas yayasan jurnalisme dengan nama mentereng tidak sebegitu menonjol.

Ternyata, bukan hanya saya yang kecele. Dua peserta kursus narasi (kursus narasi berjalan selama enam bulan dengan peserta umum, bukan hanya wartawan, sejak awal November hingga Maret 2008) asal Makassar, Eko dan Akbar, juga begitu.

Keduanya sempat bertengkar tidak percaya. Waktu berkunjung ke kantor Pantau, mereka melewati lantai satu. Biasa saja. Melewati lantai dua, ada ruang luas. Wah, ini ruang rapat. Lantai empat, masuk ke ruang Pantau…kagetlah mereka.

“Aku email teman-teman, ternyata (markas) Pantau sama luasnya dengan studio televisi di kampus,” kata Eko.

Lucunya, Akbar saat pulang ke Makassar justru cerita bahwa markas Pantau mentereng. Mewah. Tidak tahu dia kalau si Eko sudah email kawan-kawannya lebih dulu. Saat dikonfirmasi kebenaran cerita si Eko, gelagapanlah dia. “Iya sih besar…tapi dalam pikiranku,” katanya.

Eko adalah alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Makassar. Sempat bekerja di Harian Fajar milik Jawa Pos. Saya mulanya heran, ada orang Makassar bernama Eko. “Ibu saya keturunan Jawa Timur,” kata Eko yang lahir di Paloppo ini.

Saya bertemu Eko di rumah Siti Nur Rafiqoh, salah satu staf Pantau. Rumahnya tak jauh dari markas Pantau. Saya ke sana bareng Dayu.

Fiqoh tipe perempuan Jawa yang kalem. Tutur katanya halus. Telaten. Keibuan. Saya taksir usianya 32 – 35 tahun. “Dia ini yang ngurusi kelas narasi, Mas. Aku ngurusi kelas jurnalisme sastrawi. Dia lebih telaten,” kata Dayu.

Tapi jangan salah. Menurut Dayu, Fiqoh bisa galak juga. Dia aktivis buruh di Tangerang. Ahad pagi, saat kami ke rumahnya, dia bersiap hendak ke Tangerang, melakukan aktivitas advokasi buruh. Kami ngobrol banyak, ditemani kopi dan teh.

Eko datang belakangan. Dia hanya kebagian teh. “Padahal, ini enak sekali loh, Ko. Kopinya. Mas Oryza, Eko ini suka sekali kopi,” kata Fiqoh. Tapi karena ia hanya bisa memanaskan air satu kali, maka terpaksalah Eko menerima jatah air teh yang sudah dijerang panas-panas.

Agak siang, datang Rina, yang mengurusi keuangan Pantau. Dia lebih banyak menjadi pendengar.

Kami semua tertawa-tawa mendengar betapa kecelenya saya dan Eko. Kami diberitahu bahwa ruangan di Pantau berstatus pinjam alias kontrak. “Dulu nih gedung punyanya Strategy. Inget nggak sama Citra Adi Pariwara?” kata Dayu.

Citra Adi Pariwara adalah penghargaan untuk iklan-iklan terbaik di Indonesia. Saya tidak tahu nasibnya kini. Saya memang bukan pemerhati dunia advertising.

Dengan kondisi Pantau seperti itu, maka tudingan kalau Pantau terkait Central Intelligence of America (CIA) tidak masuk akal juga. Isu keterkaitan Pantau dengan CIA pertama kali saya baca di milis Komunitas Pantau. Katanya, ada wartawan Metro Realitas dari Metro TV yang mengangkat soal itu.

Saya tidak pernah menonton Metro Realitas yang terkait soal Pantau. Dayu pun berkata, “Yang mana sih? Tapi kita sih ketawa-ketawa aja. Mungkin karena kita pernah beberapa kali mengadakan acara bareng Kedutaan Besar Amerika Serikat. Tapi akhir-akhir ini sudah jarang kok.”

Lalu kami bicara soal Andreas Harsono. Eko mengatakan, tidak menyangka Andreas adalah sosok yang jauh dari formalitas. Bahkan untuk kelas narasi saja, ia tidak menyangka akan berlangsung sangat santai.

Mulanya, Eko saat hendak pertama kali hadir di kelas narasi berdebat dengan kawannya soal baju: pakaian kaos yang kasual atau hem berkerah dan lengan panjang. Sang kawan menyarankan hem berkerah dengan lengan panjang. Akhirnya, berangkatlah dia dengan baju begitu.

Tapi, alamak, di sana ternyata santai sekali. Andreas pun sempat datang dengan pakai celana yang sudah dicoret-coret oleh anaknya, si Norman. Kalau diskusi ketawa-ketiwi melulu. Cerita sana-sini, dan selalu menyangkut-nyangkut Indopahit.

“Aku bilang Mas Andreas kayak Pram. Mas Andreas benci Indopahit, Pram benci Jawaisme,” kata Eko.

Pram adalah Pramoedya Ananta Toer, penulis sastra legendaris Indonesia yang bertahun-tahun ditahan di Pulau Buru. Buku-buku Pram sempat dilarang terbit oleh Rezim Orde Baru, karena dia pernah terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Sementara Indopahit adalah frasa akronim dari Indonesia Mojopahit. Andreas memperkenalkan Indopahit dalam blog-nya, andreasharsono.blogspot.com. Menurutnya, Indonesia tak lebih dari perwujudan Mojopahit. Semua dikuasai sentralistis oleh Jawa.

Saya katakan, saya menerka Andreas sebagai sosok yang kalem dari tutur katanya di telpon. “Kalem, kata-katanya tertata rapi, santun,” kata saya.

Eko sempat kaget juga soal tongkrongan Andreas. Nih orang kok penampilannya tidak menunjukkan kalau tulisannya hebat. “Ko, tulisan sama (penampilan) orang itu lain,” kata Andreas, ditirukan Eko.

Eko sempat salah tingkat saat bertemu Andreas. “Iyalah, aku baca tulisannya, wah nih orang hebat. Lalu aku ketemu dia. Kalau aku ketemu Goenawan Mohammad pun ya begitu. Aku suka banget baca esai-esai Caping, Catatan Pinggir,” katanya.

Eko tidak salah. Karya seseorang yang sangat mempengaruhi kita, akan memunculkan persepsi soal sosok orang tersebut. Saya pun juga akan mati gaya kalau ketemu Goenawan Mohammad. Saya belajar banyak dari esai-esai dia sejak kuliah.

Suatu hari Eko pernah diajak semobil menjemput Norman oleh Andreas. Sepanjang perjalanan, Andreas merepet dengan bahasa Jawa. “Aku sempat bingung juga, dia pakai kata telek pithik. Di Jawa itu artinya tahi ayam, tapi di Makassar telek itu vagina. Aku pikir, wah, jorok juga nih orang,” katanya, tertawa.

“Wah, aku lupa kalau kamu nggak ngerti bahasa Jawa,” Andreas meminta maaf kepada Eko saat itu.

Kami sempat heran dengan keberanian Andreas menampilkan konflik keluarganya (konflik dengan mantan istri dan Norman) dalam blog. Secara umum, kami berpendapat, itu bisa memunculkan persepsi yang keliru dan sepotong-sepotong soal Andreas.

Urusan keluarga, terutama masalah pertikaian, saya pikir mempunyai akar sejarah yang panjang. Menampilkannya dalam blog hanya satu aspek, bisa dimaknai keliru oleh orang lain yang tak tahu asal-usul konflik keluarga Andreas.

“Aku bisa saja bilang, Mas Andreas orang yang gagal dalam keluarga,” kata Eko.

Saya katakan, saya sungkan juga membaca tulisan blog Andreas soal konflik keluarga. Saya pikir, setiap orang punya kelemahan dan urusan privat. Andai pun Andreas memutuskan untuk menulis konflik keluarganya di blog, saya tak ingin ikut campur dengan cara menulis comment di sana. (*)

No comments: