Bercerita soal Bonek
Setiba di rumah kos Siti Nur Rafiqoh, salah satu staf Pantau, Saya sempat minta izin Fiqoh untuk bisa menyaksikan siaran langsung sepakbola antara Persebaya Surabaya dengan PSM Makassar di Anteve. “Wah, bonek nih,” kata Dayu.
Saya cerita banyak soal Bonek kepada Dayu. Bonek adalah sebutan untuk pendukung Persebaya yang selalu dicap negatif, karena dianggap suka bikin ribut. Dia mendengarkan cermat.
“Aku ingin menulis narasi panjang soal Bonek. Para pakar sosial itu keliru semua menganalisis Bonek. Bonek dibilang ciri ketertindasan sosial, frustasi sosial. Mereka hanya melihat aspek masyarakat lapisan bawah. Padahal Bonek beragam, ada guru, PNS, bahkan yang mati di Jogjakarta adalah satpam. Mereka bukan perusuh. Tapi mereka nekat, karena berani meninggalkan pekerjaan untuk mendukung Persebaya.”
“Bonek memang nama pendukung Persebaya. Tapi perilaku bonek (bondo nekat, modal nekat) ada pada semua suporter Indonesia. The Jak, suporter Persija, juga suka nggandol truk dan kopaja. Bonek mending, kalau naik angkot bayar. Kalau nggak bayar, bisa dipukuli sama sopir angkot. Sama-sama orang Surabaya.”
“Persepsi tentang Bonek dimunculkan oleh media massa. Media massa dalam konsep oposisi biner membutuhkan the bad guy, the good guy. Bonek is the bad guy. Aremania adalah the good guy. Padahal sepanjang musim kompetisi sekarang, Bonek tidak pernah rusuh. Padahal The Jak dan Aremania sempat rusuh.”
Dayu bertanya dengan nada penasaran. “Kenapa sih kalau kalah rusuh?”
“Nggak juga. Kata siapa. Waktu Persebaya kalah 0 – 3 dari Persiba dan draw 1 – 1 dengan Persis Solo di kandang sndiri tempo hari, tidak ada kerusuhan di Surabaya. Dulu kalah 0 -3 dari Putra Samarinda tahun 1994, juga tidak ada masalah. Menurutku, Aremania dianggap tidak pernah rusuh itu karena belum teruji kalah di kandang. Tapi saat kalah di kandang? Lihat saja tempo hari waktu kalah di Malang 0 – 1 dari Persipura. Lempar-lempar, tapi nggak ditayangin televisi. Waktu draw dengan Persekabpas Pasuruan, juga begitu. Pemain Persekabpas masalah ada yang kena pukul. Tapi nggak ditayangin televisi. Coba saja bonek yang begitu, wuuuuh…”
Dayu setuju, media massa ikut membentuk persepsi yang salah soal Bonek. Saya katakan, nama Bonek dibuat oleh media massa. Saya lupa kapan nama itu muncul. Namun yang jelas, saat perserikatan, spanduk-spanduk masih bertulisan Arek dan bukan Bonek.
“Bagus juga tuh ditulis narasi. Apalagi Mas pernah menjadi bagian dari Bonek,” kata Dayu.
Saya memang akan mengerjakan narasi tentang bonek, secepatnya, setelah narasi keluarga Rofik selesai.
Tekad saya semakin kuat saat melihat siaran langsung pertandingan Persebaya versus PSM di Anteve. Skor akhir memang 2 – 2. Tapi Persebaya bermain luar biasa. Bonek luar biasa. Sepanjang pertandingan nyaris tidak ada lemparan dari tribun ke lapangan. Sudah berubahkah Bonek?
Bonek tidak pernah ingin menjadi yang terbaik Tapi Bonek berusaha menjadi lebih baik. Itu sudah cukup. Tanpa gelar suporter terbaik dari media massa, publik tahu Bonek adalah legenda suporter Indonesia. (*)
09 December 2007
Labels: Pengalaman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment