Satu Dekade “Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi”
Sebungkah Emas Jurnalisme Investigatif Pribumi
Sejak terbit 10 tahun silam, buku Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi karya Bondan Winarno disebut sebagai model reportase investigatif. Reputasi buku ini dihancurkan lembaga peradilan Indonesia tanpa dukungan dari sesama jurnalis.
Saya pertama kali menyapa Bondan Winarno melalui e-mail yang saya peroleh dari seorang kawan di Jakarta. Hari-hari ini, publik lebih mengenal Bondan sebagai pendekar kuliner yang kerap nongol di layar beling dengan mantra ‘mak nyus’. Ia bisa membuat orang menerbitkan air liur ingin mencoba penganan yang didefinisikannya ‘nendang banget’.
Namun, bagi sebagian publik dan jurnalis Indonesia, nama Bondan justru menjulang saat menerbitkan buku tentang skandal Busang pada tahun 1997 itu.
Ini buku yang bercerita tentang skandal tambang emas Busang yang sempat membuat malu pemerintah Indonesia di tahun-tahun terakhir menjelang runtuhnya rezim Soeharto. Sebuah buku yang ditulis berdasarkan reportase panjang yang melelahkan, yang menyingkap topeng para aktor skandal tersebut.
Melalui surat elektronik, saya meminta tolong mantan pemimpin redaksi Suara Pembaruan itu untuk mengirimkan fotokopi buku yang berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi itu.
Tidak saya sangka, Bondan membalas surat elektronik saya begitu lekas. Ia berjanji segera mengirimkan satu eksemplar bukunya. “Sebagai rasa solidaritas sesama jurnalis,” katanya.
Buku itu saya terima dengan hati berbunga-bunga. Di halaman sampul bagian dalam terdapat tanda tangan Bondan dengan tulisan “Untuk Oryza”. Dan saya mulai membuka halaman pertama…bab pertama… Sebuah petikan dari karya Mark Twain…
A mine is a hole in the ground owned by a liar. Sebuah tambang tak ubahnya sebuah lubang dalam tanah yang dipunyai seorang penipu. Kisah sang penipu. Itulah inti kisah Bondan.
I
Aktor pertama yang mengawali ‘kisah Busang’ ini adalah John Felderhof, seorang geolog kelahiran Belanda. Ia meyakinkan David Walsh, seorang promotor saham Kanada, untuk bisa ke Kalimantan melihat potensi emas di sana. Setelah 12 hari keluar masuk hutan, Felderhof menyarankan Walsh mengakuisisi sebuah properti di Busang, Kalimantan Timur, yang sudah dieksplorasi pada 1987 – 1989 oleh Montague Gold NL.
Walsh segera melayangkan surat kepada investor dari Bre-X untuk menjelaskan potensi Busang. Disebutkan dalam surat itu, tim geolog Australia yang sebelumnya melakukan eskplorasi sudah menemukan cadangan sebesar satu juta ons emas.
Walsh lantas membuat kesepakatan dengan Montague pada Juli 1993. Ia diberi waktu enam pekan untuk menghimpun dana. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah meniup terompet Bre-X. Ia mendapat persetujuan menaikkan nilai saham Bre-X di Alberta Stock Exchange menjadi 40 sen. Lalu dengan bermodal kliping koran, ia menjajakan saham Bre-X. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengumpulkan C$ 200 ribu.
Sementara Walsh beraksi di bursa saham, Felderhof mulai mengebor di Busang sejak September 1993. Dengan berani, ia melapor kepada Walsh, bahwa sudah menemukan cebakan yang memiliki cadangan emas 1,5 – 2 juta ton. Laporan ini membuat Walsh semakin bersemangat dan berhasil meraup C$ 1 juta dengan melakukan free trading saham Bre-X dari posisi Bresea – perusahaan induk Bre-X.
Sekondan Felderhof dalam urusan menggali Busang adalah Michael de Guzman, seorang geolog Filipina. Penemuan awal de Guzman di Busang digunakan Felderhof untuk meyakinkan Walsh. Bersama de Guzman yang punya beberapa anak buah, sensasi Busang diletupkan oleh Felderhof.
Satu per satu temuan dipublikasikan yang semuanya menunjuk ke satu kabar: cebakan Busang yang memenuhi syarat untuk menjadi tambang emas kelas dunia telah ditemukan. Temuan tersebut membuat saham Bre-X laku keras. Walsh dengan piawai memainkan peran sebagai stock promotor. April 1996, saham Bre-X menembus C$ 192,50. Sebuah lonjakan fantastis, mengingat pada 1989 – 1992, harga saham Bre-X berkisar pada angka rata-rata 27 sen saja.
Kisah Bre-X di Busang membuat Barrick Gold Corporation tergiur dan ingin menguasai mayoritas saham Bre-X. Namun, Walsh yang tersinggung dengan arogansi Barrick Chairman Peter Munk, mengabaikan tawaran dari raksasa tambang Kanada itu.
Gagal menguasai Bre-X melalui ‘jalur baik-baik’, Peter Munk memilih ‘main atas’: merangkul birokrat Indonesia. Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi Hartarto dirangkul, akses ke Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana ditembus. Sebuah surat dari Brian Mulroney, mantan perdana menteri Kanada yang memiliki 500 ribu saham di Berrick, disampaikan kepada Sudjana. Tak cukup itu, Barrick juga menggandeng Siti Hardijanti Rukmana untuk bekerjasama.
Semua lobi itu membuat posisi Bre-X kena tonjok. Surat Izin Penelitian Pendahuluan (SIPP) Bre-X dicabut oleh Kuntoro Mangkusubroto, Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Pencabutan ini atas permintaan Sudjana melalui staf ahlinya, Adnan Ganto. Semula Kuntoro diminta menangguhkan kontrak karya Bre-X di Busang II dan III. Namun, ia menolak karena berlawanan dengan hukum.
Belakangan, Kuntoro didepak dari posisi Dirjen Pertambangan Umum oleh Sudjana. Dr. Zuhal, Direktur Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi yang kerap bersuara keras terhadap sang bos, juga ikut dilengserkan.
Masalah semakin ruwet, karena muncul Sigit Harjojudanto yang muncul menggandeng Felderhof melalui PT. Panutan Duta. Kompensasinya, PT Panutan Duta mendapat AS $ 1 juta setiap bulan selama 40 bulan untuk jasa konsultasi teknis dan administratif. Panutan Duta juga berhak memperoleh masing-masing 10 persen saham di Busang II dan III.
Namun Bre-X keliru jika menganggap Barrick menyerah begitu saja. Barrick justru memainkan kartu truf-nya yang lain: mantan presiden AS George Bush. Surat dari Bush untuk Presiden Soeharto memohon agar Barrick diikutsertakan dalam proyek Busang. Petunjuk Soeharto pun jelas: Barrick Gold harus diikutsertakan dalam pengelolaan Busang.
Untuk menyelesaikan konflik antara Bre-X dengan Barrick, Sudjana lantas mengumpulkan keduanya, 14 November 1996. Tanpa banyak cingcong, ia memutuskan Barrick mengambil 75 persen saham Busang dan Bre-X mempertahankan 25 persen saham. Pemerintah RI minta bagian 10 persen. Barrick merasa di atas angin, namun kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan.
Di tengah situasi ruwet itu, Mohamad ‘Bob’ Hasan masuk gelanggang proyek Busang melalui PT. Askatindo yang diakuisisinya. Ia menggandeng Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc. untuk menyingkirkan Barrick dalam menggarap Busang. Peter Munk pun menyerah.
Masuknya Freeport dalam konsorsium Busang dimanfaatkan Bre-X untuk mendongkrak citra. Kubu Bre-X langsung melaporkan bahwa dengan keahlian Freeport, tambang Busang bisa menghasilkan 150-200 ribu ton operasi per hari, sehingga bisa menghasilkan 6 juta ons emas per tahun.
Namun Freeport tak seoptimis itu. Skeptisisme profesional Jim Bob Moffet, CEO Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc., memandang perlunya due diligence untuk memverifikasi dan mengonfirmasi angka cadangan emas yang diklaim Bre-X.
Tim due diligence Freeport hanya menemukan emas dalam jumlah tak signifikan dalam inti bor yang diambil dari Busang dan telah diteliti di New Orleans. Pada inti bor tim due dilligence hanya ditemukan sedikit emas vulkanis, sementara pada inti bor Bre-X yang ditemukan bukan emas vulkanis.
Walsh terkejut. Felderhof terpana. Kubu Bre-X menyatakan Freeport mungkin tidak mengebor pada lubang yang tepat. Freeport pun meminta Bre-X menunjukkan persisnya lokasi emas bisa ditemukan. Maka Bre-X mengirimkan de Guzman sebagai manajer eksplorasi PT Bre-X Corp. ke Kalimantan, dan di sinilah puncak kehebohan Busang.
Hari itu, Rabu, 19 Maret 1997, Michael Antonio Tuason de Guzman berangkat untuk memenuhi panggilan Freeport. Namun, tak ada yang menyana, ia terjatuh dari helikopter Alouette III yang membawanya dari bandara Temindung Samarinda ke basecamp tambang emas Busang di desa persiapan Mekarbaru.
Letkol Edi Tursono yang menerbangkan helikopter itu bersama juru mesin Andrean tidak tahu bagaimana de Guzman bisa jatuh. Yang jelas, saat helikopter di atas ketinggian 800 kaki, pintu kanan telah terbuka dan bangku belakang telah kosong.
Empat hari setelah aksiden itu, jenasah de Guzman ditemukan tertelungkup di dekat rawa pada petak 85 areal HPH milik PT. Sumalindo Group oleh tim SAR. Jenasahnya ditemukan Martinus, seorang karyawan Bre-X, dan sulit dikenali karena sebagian mata dan sebagian pipinya telah hilang membusuk. Menurut dokter yang melakukan otopsi, identifikasi semata-mata didasarkan pada pakaian yang dikenakan dan gambaran umum ciri-ciri tubuh si mati seperti dinyatakan oleh orang-orang yang mengenal de Guzman.
Penemuan jenasah de Guzman memicu Bondan Winarno untuk mulai menulis buku tentang Bre-X. Penemuan jenasah di tengah ‘hutan brokoli’ Kalimantan yang dikenal sangat rapat dalam waktu tak sampai sepekan memiliki probabilitas yang sangat jarang.
“Kondisi tubuh yang dideskripsikan dalam berita itu juga tidak cocok dengan kondisi tubuh seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 feet. Dari sepotong info ini, saya membuat satu kesimpulan berdasar professional skepticism bahwa semua cerita ini adalah palsu. Karena itu saya sangat berminat melakukan investigasi,” kata Bondan dalam sebuah surat elektronik kepada saya.
Bondan mengatakan, investigasi itu adalah keisengan di tengah sepinya bisnis perusahaan tempat di mana ia menjadi presiden direktur. “Seingat saya, total waktu investigasi sekitar 4 minggu. Naskah sudah selesai saya tulis 8 minggu setelah mulai investigasi, dan dicetak dalam waktu 2 minggu,” jelasnya.
Selain membongkar bertumpuk dokumen dan referensi lain, Bondan juga berburu narasumber di Jakarta, Samarinda, Balikpapan, Busang, Manila, Toronto, Calgary. Ia harus dua kali ke Busang, sekali ke Manila, dan sekali ke Toronto dan Calgary di Canada. Total jenderal, ia menghubungi kurang lebih 30 narasumber.
Kehandalan Bondan sebagai jurnalis investigatif tampak saat menggali informasi eksklusif di Manila seputar kematian de Guzman. Memang harus diakui, daya pikat utama buku ini adalah upaya Bondan menguak misteri kematian de Guzman.
Bondan curiga dengan kematian de Guzman setelah meneliti betul profil pria kelahiran berdasarkan informasi yang diterimanya dari sejumlah sumber. Ia menolak teori bahwa de Guzman mati dibunuh. Ditemukannya sejumlah surat tinggalan de Guzman merupakan bukti yang sangat melemahkan skenario pembunuhan, dan mengarah pada kematian akibat bunuh diri.
“Bagaimana mungkin seorang yang dibunuh bisa menulis surat-surat berisi pesan-pesan yang begitu rinci,” tulis Bondan di halaman 131.
De Guzman memang meninggalkan surat mencurigakan untuk Bernhard Laode, financial controller Bre-X, dan John Felderhof, yang mengesankan bahwa kematiannya direncanakan alias bunuh diri. Melalui Laode, ia titip pesan kepada sang istri Teresa agar jenasahnya dikremasi di Manila.
Kepada Felderhof, de Guzman malah meninggalkan pesan ‘bunuh diri’ yang sangat terang, karena tak tahan dengan penyakit hepatitis B yang dideritanya. “Sorry I have to leave. I cannot think of myself a carrier of hepatitis “B”. I cannot jeopardise your lifes,” tulis de Guzman.
Pengakuan de Guzman mengalami hepatitis B dibenarkan dua istrinya, Susani Mawengkang dan Lilis. Namun, tidak berhasil ditemukan catatan medis yang menunjukkan adanya hepatitis – B maupun penyakit liver akut sebagaimana yang pernah dikeluhkan de Guzman. Hasil uji jantung de Guzman juga menunjukkan kondisinya sehat-sehat saja.
Maka, Bondan pun mencoret skenario bunuh diri dari kemungkinan penyebab kematian de Guzman. Ia menyodorkan hipotesis lain: kematian de Guzman adalah palsu.
Di mata Bondan, pria Filipina berusia 41 tahun itu tidak memiliki profil seseorang yang berkeinginan melakukan bunuh diri. Ia justru menyebut de Guzman sebagai penikmat kehidupan. Ia menikahi sejumlah perempuan, di antaranya warga Indonesia dan dikenal royal dalam urusan harta.
Menurut Bondan, de Guzman tengah berada di puncak dunia. Adik Michael de Guzman, Jojo de Guzman, juga menyangsikan sang abang bunuh diri. “Dia tak punya alasan untuk bunuh diri. Dia punya keluarga yang menyenangkan dengan enam orang anak yang manis,” katanya.
Rudy Vega, salah satu sobat de Guzman yang mengikuti pesta minum-minum semalam sebelum kematian sang Filipino, juga mengatakan serupa. Pesta itu lebih meriah daripada pesta ulang tahun de Guzman sebelum-sebelumnya. “He behaved like he was on top of the world,” katanya.
Kecurigaan Bondan menguat, setelah menemukan fakta bahwa jenasah yang diklaim sebagai jenasah de Guzman tidak memiliki gigi palsu sebagaimana dimiliki de Guzman semasa hidup.
Dalam pelacakannya, Bondan mendatangi kantor National Bureau of Investigation (NBI) di Manila. Direktur NBI Santiago Ybanes Toledo menyatakan, pihaknya tengah menanti catatan gigi de Guzman dari pihak keluarga. Mengapa pihak keluarga tak juga menyerahkan dental records de Guzman? Bondan semakin curiga.
Di bagian otopsi, seorang sumber membenarkan kecurigaan Bondan mengenai kematian de Guzman. Menurut sumber itu, seorang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki tak mungkin ditemukan dalam posisi tertelungkup dan dengan tanda-tanda trauma seperti yang ditemukan pada mayat de Guzman. Tanda-tanda trauma pada jenasah de Guzman lebih mirip tanda trauma pada orang yang jatuh dari pohon kelapa.
Di pekuburan La Funeria Paz, tempat de Guzman dimakamkan, Bondan menemukan petunjuk yang lain. Tak ada bunga di atas makam. Tak ada pula sisa-sisa lilin, yang bahkan masih terlihat di makam-makam lainnya di sekitar makam de Guzman. Petugas makam mengatakan, selama hampir tiga pekan setelah dimakamkan, tidak ada satu pun anggota keluarga de Guzman yang berziarah.
Ini suatu hal yang aneh. Seperti di Indonesia, di Filipina ada tradisi anggota keluarga terdekat mengunjungi makam kerabat yang meninggal sesering mungkin pada minggu-minggu pertama setelah dimakamkan. Tidak adanya bunga dan bekas lilin di atas makam de Guzman menunjukkan bahwa keluarga sang geolog tak pernah menjenguk.
Bondan memiliki sumber-sumber yang cukup kuat dalam menyelidiki kematian de Guzman. Dari salah satu sumber, ia berhasil menemukan alamat dan nomor telpon de Guzman Enterprise di Manila. Bondan beruntung mendapat keterangan sumber ini, mengingat buku telpon tak bisa diandalkan.
“Dalam investigasi saya, tak seorang pun tokoh-tokoh kunci yang terlibat kasus Busang ini yang tercantum namanya dalam buku petunjuk telpon. David Walsh dan Steve McAnulty di Calgary, Rolando Francisco di Toronto, Cesar Puspos dan Jerome Alo di Manila semuanya tak terdaftar,” tulis Bondan. (halaman 147).
Dari kecenderungan bungkamnya keluarga de Guzman di Manila saat ditemuinya, kecurigaan Bondan semakin tebal bahwa ada sesuatu di balik kematian de Guzman. “Kalau memang keluarga de Guzman tidak menyembunyikan apa-apa, kenapa mereka tidak mau bekerjasama dengan NBI?”
Bondan akhirnya memang belum berhasil membuktikan secara kongret bahwa de Guzman masih hidup. Namun, ia meninggalkan plot open ended yang mengukuhkan keyakinan bahwa de Guzman kemungkinan ada di Cayman Island, Brasil, atau tempat terasing di salah satu sudut dunia, tengah menikmati hidup.
‘Kematian’ de Guzman seolah menjadi klimaks suspense skandal Busang. Satu per satu kebohongan Bre-X terkuak. Besarnya cadangan emas di Busang disebut hanya isapan jempol.
Diduga kuat, de Guzman menjadi otak ‘peracunan’ inti bor yang digunakan untuk menemukan potensi emas di Busang. Caranya, menaburkan sejumlah emas di atas inti bor sehingga memunculkan kesan pengeboran menembus tanah dengan kandungan emas yang besar saat diperiksa di laboratorium.
Peter Waldman dan Jay Solomon dari Harian The Wall Street Journal menulis, ‘peracunan’ ini dilakukan oleh sejumlah geolog Filipina, di sebuah gudang di Loa Duri, di samping sebuah sungai dekat Samarinda. Puncaknya, Desember 2006, ‘peracunan’ dilakukan siang dan malam di bawah pengawasan dua anak buah de Guzman, yakni Jerry Alo dan Rudy Vega.
Namun, hasil investigasi Bondan menunjukkan bahwa berita The Wall Street Journal spekulatif. Berdasarkan penelusuran di Loa Duri, tak diperoleh keterangan mengenai ‘peracunan’ apapun terhadap inti bor.
Cara dan tempat ‘peracunan; inti bor masih menjadi gelap. Yang terang benderang adalah, nilai saham Bre-X anjlok hingga titik nadir. Tanggal 6 Mei 1997, pada suatu titik transaksi di Toronto Stock Exchange, harga saham Be-X hanya 6 sen. Dalam selang beberapa hari, nama Bre-X dicoret dari daftar di bursa saham Toronto, Alberta, dan Vancouver. Bre-X lantas secara sukarela mengundurkan diri dari NASDAQ di New York.
Bondan berhasil mencatat semua keributan Bre-X itu dalam bukunya. Juli 1997, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi dicetak dan mulai diedarkan. Tabloid Kontan menyebut Bondan telah memenangkan perlombaan penulisan tentang Busang.
Bukunya bisa disandingkan dengan The Bre-X Fraud karya duet reporter The Mail and Globe Douglas Goold dan Andrew Willis, Bre-X: Gold Today, Gone Tomorrow karya James Whyte dan Vivian Danielson, Bre-X: The Inside Story karya Diane Francis, atau Fools Gold: The Making of a Global Market Fraud karya Brian Hutchinson.
Para penulis bule itu tidak berhasil memastikan kematian de Guzman. Francis malah melemparkan apologi bahwa dengan polisi, militer, dan pemerintah yang korup, misteri de Guzman (dibunuhkah dia?) sulit dikuak. Buku-buku penulis asing itu akhirnya hanya berputar-putar opada intrik politik dan bisnis yang mewarnai skandal ini.
Dari dalam negeri, majalah Tempo dalam rubrik Investigasi menulis kembali skandal tersebut dengan judul Busang, Kroni Soeharto, dan Skandal Abad Ini (Tempo, 7 Desember 1998). Namun, tulisan tersebut hanya rangkuman bahan dari beberapa buku, riset media internasional via internet, dan hanya mengonfirmasikan perkembangan terakhir Busang kepada pihak yang relevan.
Berbeda dengan Bondan, Tempo malah tidak menyinggung sama sekali kemungkinan de Guzman memalsukan kematiannya. Dalam tulisan berjudul Tragedi di Akhir Pesta, teras berita Tempo masih berkutat pada dua kemungkinan: bunuh diri atau dibunuh.
II
Sepuluh tahun berlalu. Banyak hal yang terjadi sejak skandal Busang terbongkar dan buku investigasi Bondan diterbitkan.
David Walsh meninggal Kamis, 4 Juni 1998, di sebuah rumah sakit di Bahama dalam usia 52 tahun. Empat hari sebelumnya ia terkena stroke. Menurut juru bicara Doctors Hospital di Nassau, Walsh meninggal pukul 12.15, ditemani anggota keluarganya di samping ranjangnya.
George Damianos, seorang agen real estate berkebangsaan Bahama menduga, tekanan skandal Bre-X turut memberikan sumbangan terhadap kondisi Walsh yang kritis. “Setiap orang ingin mencincangnya,” katanya.
Sementara itu, Bre – X dinyatakan bangkrut tahun 2002, kendati ada sejumlah perusahaan subsidernya seperti Bro-X berlanjut hingga tahun 2003. Ini puncak dari berbagai gugatan hukum dari para investornya yang marah karena kehilangan miliaran dollar.
Tiga organisasi publik Kanada yang mengalami kerugian besar-besaran adalah The Ontario Municipal Employees Retirement Board ($45 juta), the Quebec Public Sector Pension fund ($70 juta), dan the Ontario Teachers Pension Plan ($100 juta). Mereka yang merasa dirugikan lantas mengajukan class action terhadap Bre-X.
Felderhof menjadi orang terakhir dari Tiga Besar Bre-X yang diketahui masih hidup. Ia sempat dikabarkan berada di berbagai tempat yang aman dari jangkauan hukum, seperti Kepulauan Cayman yang tak memiliki perjanjian esktradisi dengan Kanada. Di sana, ia menyimpan aset-asetnya.
Yang mengejutkan, Calgary Herald melaporkan, Felderhof sempat berada di Bali dan menikmati hidup di sana. Padahal, praktis, ia menghadapi gelombang tuntutan hukum akibat skandal Busang seorang diri. Ia mewakili dirinya langsung dalam menghadapi proses hukum terpisah di Ontario. Ia tak lagi punya kuasa hukum, karena menunggak fee sang kuasa hukum hingga $1 juta. Sementara aset Felderhof di Kepulauan Cayman tampaknya telah dibekukan pengadilan sejak tahun 1997.
Komisi Keamanan Ontario (Ontario Securities Commission/OSC) telah menyeretnya ke meja hijau. Komisi ini menyatakan Felderhof telah merilis berita menyesatkan sebagai isu dalam investasi publik.
Persidangan Felderhof sudah berjalan selama enam tahun, sejak tahun 2001. Diharapkan, Hakim Superior Court Peter Hryn sudah bisa membacakan putusan Juli 2007. Jika tuduhan itu terbukti, Felderhof bakal terkena sanksi mulai dari denda sekitar $1 juta hingga penjara selama dua tahun, ditambah sanksi atas insider trading yang dilakukannya.
Kematian de Guzman masih misteri. Namun, Bondan bersikukuh pada tesisnya soal kematian palsu. Saat saya berandai-andai soal kelanjutan kisah Busang, ia memilih untuk mencari de Guzman sebagai sekuel.
“Kalau saya benar-benar menganggur dan tidak punya urusan lain, saya akan mencari Michael de Guzman. Saya punya beberapa lead menuju ke sana. Michael telah menyengsarakan begitu banyak orang (khususnya pensiunan) di Kanada karena memakai semua tabungan mereka untuk membeli saham Bre-X.”
Boleh jadi Bondan benar. Genie de Guzman, istri kedua Michael, menyatakan pernah dua kali menerima uang dari sang suami sejak dinyatakan hilang. Menurut koran Calgary Herald, pada tahun 2005 Genie mengaku kepada jurnalis John McBeth, bahwa Michael de Guzman menelpon ke rumah enam pekan setelah dilaporkan tewas. Sang geologis sempat bicara dengan salah satu pembantu di rumah.
"Mike bilang, saat itu senja baru saja turun di tempat di mana dia baru saja bangun,” kata Genie. Ia diminta mengecek rekening banknya, dan di sana memang terdapat transfer AS $ 200 ribu.
Genie mengaku menerima sebuah faksimili dari Brasil, tambahan deposito $ 25 ribu di tahun 2005. Menurut laporan Calgary Herald, uang dikirimkan saat Hari Kasih Sayang yang bertepatan dengan hari ulang tahun de Guzman.
Direktur Jenderal Geologi dan Mineral saat itu Simon Sembiring juga meragukan kematian de Guzman. De Guzman bisa saja memalsukan kematiannya agar kebohongannya tak terbongkar.
Sayangnya, kendati sudah memiliki petunjuk tentang de Guzman, Bondan ternyata tidak berniat untuk membuat sekuel investigatif tentang skandal Busang. “Tidak. Tidak ada gunanya,” katanya kepada saya.
Bondan tampaknya sudah patah arang, setelah bukunya tentang Bre-X menghadapi beberapa kali upaya sensor dan breidel dari orang-orang yang punya kekuasaan di negeri ini.
Saat diterbitkan pertama kali, peredaran buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi langsung dihambat oleh seorang yang berpengaruh di masa orde baru melalui tangan hukum. Sang pejabat bahkan berani mengganti biaya operasional Bondan untuk menerbitkan buku itu, asal Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi tidak diedarkan.
Dalam suplemen yang diselipkan di bukunya yang dikirimkan kepada saya, Bondan mengaku kecewa berat karena sebuah karya coba dimatikan begitu saja dengan uang. Ia merasa jerih payahnya tidak dihargai sama sekali.
Dengan rasa penuh frustasi, Bondan pernah berniat menghancurkan 5.000 eksemplar buku yang tersisa. Namun runtuhnya rezim orde baru membuat optimismenya bangkit. Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi kembali diedarkan dalam situasi yang lebih bebas. Juni 1998, buku itu beredar di pasaran.
Namun, di tengah era kebebasan itu, Bondan justru diserang lewat lembaga peradilan. Ia dituntut Rp 2 triliun oleh mantan Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana yang menuduhnya mencemarkan nama baiknya. Selain itu, Bondan juga dituntut memasang iklan permintaan maaf di 10 media cetak di Jakarta dan dua koran di Bali.
Beberapa ‘dosa’ Bondan di mata Sudjana, antara lain konklusi yang ditulis dalam buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi mengenai “kesalahan” pada proyek kerjasama antara Bre-X dengan mitra domestik PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Sudjana menggunakan apa yang tertulis di halaman 186-187, tepatnya dalam bab 8 ‘Ida Bagus Sudjana’, untuk menghantam Bondan. Dalam bab itu, ditulis mengenai inkonsistensi Sudjana dalam menangani Busang dan soal permintaan setoran dana Rp 50 miliar ke rekening Pak Menteri.
Dalam bukunya, Bondan menulis:
Inkonsistensi adalah ciri yang agak menonjol dari Sudjana. Pada Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, 11 Desember 1996, ia mengatakan bahwa BUMN harus ikut dalam konsorsium menggarap Busang. Pada 17 Februari 1997 ia mengamini Mohamad Hasan yang mengatakan bahwa BUMN tidak boleh ikut sebelum tahap eksploitasi karena resiko yang terlalu besar. Pada akhir Februari 1997 ia menyatakan bahwa putranya, Dharma Yoga Sudjana, tidak diizinkan ikut serta menikmati kueh Busang. Tetapi, itu dikatakannya setelah jelas-jelas Barrick - di mana putranya semula ikut terlibat – terdepak keluar dari pertarungan untuk memperebutkan rezeki Busang. Sikap inkonsisten itu pula yang tampak ketika ia dihebohkan meminta dana dari PT Tambang Batu Bara Bukit Asam senilai Rp 50 miliar untuk disetor ke rekening pribadinya pada 1994. Menurut Sudjana, dana itu diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan Departemen Pertambangan dan Energi.
Sebagaimana ditulis Tempo, Sudjana berang karena kepribadiannya tak luput dari sorotan. Sudjana dikatakan kurang pintar berbahasa Inggris dan daya ingatnya pendek. Gaya bicaranya kurang mengesankan dan sikapnya kurang manusiawi. Sudjana menyatakan Bondan tak pernah menghubunginya untuk mengonfirmasi bahan tulisannya.
Bondan bersikukuh, tak ada yang salah dengan bukunya. Soal uang Rp 50 miliar yang masuk rekening Sudjana, ia mengatakan kepada TEMPO, “Saya hanya bilang soal dana itu dihebohkan. Saya tak bilang ia korupsi.”
Soal performa Sudjana yang tidak mengesankan itu, sebenarnya Bondan mengutip Brian Hutchinson di Canadian Business. Hal ini ditulis di halaman 100.
…Misalnya tentang Sudjana, ia (Hutchinson, penulis) menulis: The tall, stiff Sudjana has no grasp of the technicalities of mining. He is completely incompetent, he leaves everything to his advisers.
Tidak kompetennya Sudjana jelas bukan fiksi. Pada halaman 188, kunjungan Pak Menteri ke Kanada yang disebut Bondan meninggalkan impresi yang mendalam bagi pers.
Kabarnya, pers di sana mengatakan bahwa bicaranya (Sudjana, penulis) tak mengesankan. Waktu itu Sudjana didampingi Kuntoto dan Kuntoro-lah yang akhirnya lebih banyak bicara. .
Sementara soal ketidakmahiran Pak Menteri berbicara dalam bahasa Inggris, itu didasarkan pada fakta yang ditemukan Bondan, sebagaimana tertulis di halaman 102. Di situ diceritakan tentang pertemuan Sudjana dengan Bre-X dan Barrick, tanggal 14 November 1996. Bondan menuliskan begini:
Pertemuan itu berjalan singkat. Sudjana membacakan pernyataan tertulis dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah… Tak ada penjelasan lebih lanjut. Sudjana berdiri dan kemudian meninggalkan ruang rapat.
Kendati merasa yakin sudah menyajikan fakta, tuntutan Rp 2 triliun membuat Bondan pusing juga. Kepada Tempo, ia mengaku stres. “Angka nolnya saja ada dua belas,” ujar pria yang saat itu tengah menjadi konsultan Bank Dunia di Jakarta.
Mengenang kasus itu, kepada saya Bondan mengatakan, Sudjana berani menuntut karena dirinya tidak berkaitan dengan media mainstream. “Padahal, di pengadilan saya buktikan betapa media mainstream (termasuk KOMPAS dan TEMPO) memakai bahasa caci-maki yang cukup keras di media mereka. Buku saya memakai bahasa yang lebih santun,” jelasnya.
Keheranan Bondan dituangkan dalam sebuah artikel di Kompas terbitan 19 November 2001 berjudul "The Audacity of the Desperate". Tanpa menyinggung nama Sudjana, ia menegaskan bahwa nama Pak Menteri sudah rusak pada 1997, sementara buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi baru beredar tahun 1998. “Lho, elok, kan? Kok saya yang dituduh mencemarkan nama baiknya,” tulis Bondan.
Dengan dituntut Rp 2 triliun, Bondan merasa dosanya 160 kali lebih besar daripada dosa Osama Bin Laden. Osama yang dituduh berada di balik kehancuran dua menara kembar World Trade Center hanya dituntut US $ 1,25 juta, atau setara dengan Rp 12 miliar.
Dalam pertarungan hukum perdata dan pidana, Bondan terjengkang. Di pengadilan pidana ia dinyatakan bersalah, dengan dalih hukum: untuk menghina seseorang tak diperlukan adanya niat.
Bondan diharuskan membayar ongkos perkara Rp 1000, dan menjalani hukuman percobaan beberapa bulan. Dalam perkara perdata, Bondan dinyatakan kalah dan harus membuat iklan pernyataan maf sebesar satu halaman di 16 koran nasional.
Kekalahan ini menyakitkan bagi Bondan. Ia melihat motif Sudjana bersiasat untuk mencuci nama melalui lembaga pengadilan.
“Yang penting, agaknya, adalah adanya keputusan pengadilan yang menyatakan saya bersalah dan menjadi terpidana. Dengan demikian orang yang memerkarakan saya itu bisa mengadakan konferensi pers dan menyatakan bahwa ia menang,” tulis Bondan di KOMPAS.
Namun tidak ada yang lebih membuat Bondan remuk redam, kecuali tuduhan bahwa dirinya menulis buku itu karena dibayar oleh Kuntoro Mangkusubroto yang kemudian menjadi Mentamben.
“Saya sakit hati. Banyak pejabat yang menduga wartawan itu kere dan tidak punya duwit, karena itu tidak mungkin seorang wartawan membiayai sendiri investigasi sekaliber itu. Tuduhan ini sangat meyakitkan.,” kata Bondan kepada saya.
Entah bagaimana tuduhan itu bisa muncul. Boleh jadi, kesan itu muncul dari nuansa tulisan Bondan yang cenderung bersahabat dengan Kuntoro. Bagi pihak yang jengkel terhadap Bondan, Post Scriptum di halaman 230 bisa dijadikan alasan untuk menuduhnya bias saat menulis tentang Kuntoro.
Bondan menulis:
Dengan gembira saya menambahkan catatan ini. Dr. Kuntoro Mangkusubroto dalam waktu singkat telah “direhabilitasi”. Pada bulan Juni 1997 Presiden Soeharto telah mengangkat Kuntoro sebagai Wakil Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).
Bondan kecewa dikalahkan di pengadilan. Namun, yang tak kalah mengecewakan adalah tiadanya dukungan dari media massa di Indonesia. Ia merasa sendirian dalam persidangan melawan Sudjana. Ironis. Padahal, Bondan menjadi salah satu orang terdepan dalam gerakan Pers Melawan Premanisme yang memprotes kekerasan yang dilakukan anak buah Tomy Winata terhadap wartawan TEMPO.
Waktu itu dukungan justru dari kawan-kawan Bondan di Bank Dunia yang berniat urunan untuk membiayai ongkos perkara. Namun ia menolak bantuan itu, karena khawatir dituduh macam-macam lagi.
Rasa trauma dan kecewa yang akhirnya membekuk niat Bondan untuk membuat sekuel bukunya. “Karya saya tidak diakui oleh lembaga pers Indonesia. Buat apa?” katanya.
Jangankan membuat sekuel. Buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi yang sudah kelar diterjemahkan ke bahasa Inggris dan sudah disunting Wendy Thomas (Kanada) pun urung diterbitkan. “Saya tidak bersedia menghadapi lembaga peradilan yang korup di Indonesia. Untuk masalah buku ini saya sudah hilang banyak uang,” kata Bondan.
III
Satu dasawarsa sejak Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi terbit, Indonesia berada di era kebebasan. Media massa tumbuh subur. Tak ada lagi breidel. Tak ada lagi sensor dan pembungkaman terhadap pers. Perang terhadap korupsi dan kejahatan negara mengemuka.
Seharusnya, dalam iklim seperti ini, jurnalisme investigatif sebagaimana yang didemonstrasikan Bondan menjadi pilihan yang tak terelakkan. Indonesia membutuhkan produk media yang mengedepankan verifikasi dan pemantauan terhadap laku kekuasaan. Ini semua ada pada jurnalisme investigatif.
Sayangnya, satu dasawarsa setelah Bondan menelanjangi Bre-X dan skandal Busang, publik jarang disuguhi laporan jurnalistik yang menyelidik. “Terus terang hanya TEMPO yang saya anggap punya kemampuan melakukan investigasi, dan menggarapnya secara apik pula,” kata Bondan.
TEMPO sejak pertama kali terbit tahun 1998 menyediakan rubrik khusus Investigasi. Salah satu edisinya, 7 Desember 1998, memuat kisah tentang Skandal Busang. Dalam rubrik itu, TEMPO memuat delapan artikel yang ditulis Hermien Y. Kleden dan Farid Gaban.
Namun, untuk membandingkannya dengan karya Bondan, rasanya terlampau jauh. TEMPO tidak melakukan reportase keliling dunia layaknya Bondan. Rubrik Investigasi tentang Busang hanya berisi cuplikan buku penulis bule dan riset data di internet. Saya tidak tahu, kenapa buku Bondan tidak ikut dijadikan referensi. TEMPO hanya menyebut buku Diane Francis (Bre-X: The Inside Story) atau The Bre-X Fraud karya Douglas Goold dan Andrew Willis.
Cuplik-mencuplik alias studi literatur yang diklaim sebagai karya investigatif inilah yang sempat dikritik Agus Sopian dari PANTAU. Dalam salah satu tulisannya yang menyoroti investigasi TEMPO terhadap pemerkosaan Mei 1998 yang dipenuhi studi literatur, Sopian menulis begini:
Saya tidak tahu, apakah studi literatur itu merupakan apologi Tempo atas kekurangmampuannya untuk juga mengungkapkan siapa korban, pelaku, dan lebih penting lagi otak di balik tragedi kemanusiaan yang memantik kemarahan masyarakat internasional itu.
Namun, TEMPO terus memperbaiki diri. Kini, harus diakui, mereka telah meninggalkan media massa lain di Indonesia. Ini tentu saja tidak bisa dibuat patokan bagi kemajuan jurnalisme investigatif di Indonesia. Pasalnya, menurut Bondan, “Yang lain masih belum menunjukkan gigi mereka. Kalau kita mandeg ketika yang lain maju, secara realitas sebetulnya kita mundur.”
Bondan benar. Sepuluh tahun terakhir taring reportase investigasi kita masih belum terasah. Di rak-rak toko buku, hari-hari ini publik digempur buku-buku hasil reportase investigasi para jurnalis Amerika Serikat.
Sebut saja Blood Money karya T. Christian Miller, Devil’s Game karya Robert Dreyfus, House of Bush, House of Saud karya Craig Unger. Semuanya menggali tentang kejahatan pemerintah Bush dalam perang melawan teror di Timur Tengah. Ada lagi Blind Eye karya James B. Stewart yang menelisik tentang seorang dokter yang dituduh membunuh para pasiennya.
Sementara, hanya sedikit jurnalis investigatif Indonesia yang membukukan karyanya. Selain Bondan dengan investigasi skandal Busang, baru ada George Junus Aditjondro dengan investigasinya mengenai harta kekayaan tokoh-tokoh rezim orde baru. Terbaru, Aditjondro merilis buku Korupsi Kepresidenan (2006) yang merupakan kumpulan artikel reportasenya yang menyelidik.
Ironisnya, sama seperti Bondan, Aditjondro juga sempat kena gugat gara-gara bukunya yang berjudul Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari. Probosutedjo menuntut Aditjondro membayar Rp 500 miliar, karena merasa difitnah.
Adik kandung mantan Presiden Soeharto itu keberatan dengan tudingan Aditjondro dalam buku tersebut, yang menyebut dirinya membakar hutan. “Kata-kata pribumi yang saya gunakan disebutnya hanya untuk mencari popularitas. Wah, mitra bisnis saya bisa ketakutan. Usaha saya bisa berantakan,” kata Probosutedjo kepada TEMPO.
Saya tidak tahu, apakah ancaman gugatan hukum membuat jurnalisme investigatif di Indonesia melempem. Yang terang, melakoni reportase serius layaknya detektif tidaklah gampang.
Perjalanan Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi menyajikan potret lengkap sebuah model jurnalisme investigatif, termasuk tantangan yang dihadapinya. Sebagaimana awal sebuah reportase investigatif, buku ini dipicu oleh rasa ingin tahu sang penulis. Tanpa melihat mayat de Guzman dan hanya melakukan deduksi terhadap berita koran, Bondan sudah berani membuat tesis bahwa aksi bunuh diri sang Filipino itu palsu.
Bondan tak hanya berhenti pada rasa ingin tahu (curious). Ia juga memiliki kenekatan untuk meninggalkan pekerjaannya yang mapan dalam jangka waktu panjang, hanya untuk melakukan reportase.
Di lapangan, Bondan menunjukkan karakter wartawan investigatif yang gigih. Tidak semua narasumber bersedia memberi keterangan resmi kepadanya. Apalagi, ia bekerja sebagai jurnalis investigatif independen saat itu.
Modalnya adalah sopan santun dan kerendahan hati dalam melakukan investigasi, sehingga banyak pihak yang bersedia bicara. Bahkan, dalam pengantar bukunya, Bondan mengaku bertemu dengan sejumlah “Deep Throats” di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi dan Bre-X.
“Deep Throats” adalah sebutan duet jurnalis Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein untuk narasumber penting yang confidential, tak mau disebut identitasnya. Istilah “Deep Throat” pertama kali muncul saat duet Woodstein membongkar skandal Watergate yang membuat Presiden AS Richard M. Nixon lengser.
“Terus terang, munculnya artikel saya di The Asian Wall Street Journal tentang kasus ini membuat banyak pintu terbuka. Mereka menduga saya ahli tambang, karena tulisan itu memang cukup komprehensif,” tambah Bondan.
Di media bergengsi itu, tulisan Bondan berjudul All That Glitters: The Indonesian Gold Crush terbit tanggal 24 Januari 1997. Artikel ini ditulis untuk meluruskan pemikiran Amien Rais soal penambangan emas yang melibatkan modal asing. Bondan sendiri dalam pengantarnya di buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi menyatakan, artikel itu merupakan hasil ‘meguru’ dari sejumlah ahli pertambangan.
Investigasi yang dilakukan Bondan jelas makan ongkos yang tak sedikit. Itu memang salah satu risiko yang dihadapi seorang jurnalis investigatif. Dalam wawancaranya dengan wartawan PANTAU Agus Sopian, dibutuhkan uang sekitar AS $ 7.500 untuk membiayai seluruh proyek bukunya.
Namun risiko terbesar tentu saja libel (tuntutan atas pencemaran nama baik atau fitnah). Ini yang dialami Bondan saat berhadapan dengan Sudjana. Ia akhirnya dikalahkan di pengadilan.
Sudah banyak saran kepada jurnalis kita untuk memperhatikan disiplin verifikasi, jika tak ingin kejeblok. Setiap fakta yang diperoleh harus selalu dicek ulang dengan banyak sumber, dengan banyak versi. Persoalannya, tak banyak jurnalis yang memahami disiplin verifikasi, selain memang sebagian malas untuk selalu mengecek ulang.
Kedua, dengan kondisi peradilan yang korup saat ini, disiplin verifikasi tak selamanya menyelamatkan. Bondan sudah membuktikannya.
Andreas Harsono, jurnalis investigatif yang tergabung dalam Investigative Reporters and Editors (IRE), menyarankan agar seorang wartawan melakukan konsultasi hukum dengan ahli hukum perdata secara benar sebelum laporannya naik cetak atau disiarkan.
“Prinsip cover both side seringkali sangat membantu untuk menghindar dari jeratan tuntutan pencemaran nama baik. Dalam kasus Bondan, ia memang beberapa kali mencoba mewawacarai Sudjana, namun kurang berhasil hingga naik cetak,” kata Harsono, dalam salah satu tulisannya.
Tak pelak, seorang jurnalis investigatif memang memikul beban lebih berat. “Bukan saja karena pekerjaan ini penuh risiko, tetapi juga menuntut kecerdasan di atas rata-rata,” kata Bondan.
IV
Buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi saat ini sudah tak lagi dijual di pasaran. Salah satu kawan yang ‘iri’ dengan keberuntungan saya memperoleh buku itu langsung dari sang penulis, langsung pinjam untuk mengkopi satu eksemplar. “Ini buku babon jurnalisme investigatif. Yang lain lewat,” katanya.
Kekaguman teman saya itu sebenarnya beralasan. Seorang jurnalis investigator macam Andreas Harsono pun suka dengan karya Bondan. Bahkan, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi sempat dimasukkan dalam silabus kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau yang dipimpin Harsono—sebuah yayasan yang bergerak di bidang jurnalisme.
Saat saya menyatakan kekaguman terhadap bukunya itu, Bondan justru menjawab dengan nada canda dalam suratnya.
“Saya tidak menganggap buku saya itu monumental. Mungkin saja yang baik/kompeten di antara yang belum ada. Ukurannya terlalu nisbi. Pembandingnya tidak ada. Plis deh, jangan bikin saya besar kepala.”
Setiap wartawan di Indonesia bisa menulis karya investigatif seperti itu. Kuncinya, Bung? “Dedikasi, dedikasi, dedikasi.” (*)
Sumber
Bondan Winarno, surat elektronik dengan penulis, 2007
Bondan Winarno, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit, Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta, 1997.
Andreas Harsono, Investigative Reporting, www.pantau.or.id, 1999
Agus Sopian, Pada Mulanya Greene, Majalah Pantau,
03 December 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
sungguh inspiratif..! sebungkah emas dibalik keceriaan dan tajam lidah Bondan dalam mengecap rasa. Banyak terimakasih jika berkenan memberitahu alamat surat elektronik Bondan, supaya saya bisa korespondensi langsung dengan beliau..syukur2 juga bisa mendapat buku. Terimakasih yaa
Salam,
Lilik Dwi Mardjianto
pewarta Kantor Berita Antara
Perum LKBN ANTARA
Wisma Antara lt 19-20, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat 10110
021-3524474/76 (tlp)
021-3865577
lilikdwi@antara.net.id
lilikdwi@yahoo.com
Bung saya mohon bantuan alamt kontak Bondan Winarno. atau bung bisa bantu saya untuk mendaptkan buku/cpy Bre-X hasil karya Bondan Winarno.
Trimakasih
Fakhruddin Halim
Pangkalpinang-Bangka Belitung
Sangat complex dan transparan. Keingin tahuan saya jadi menggebu-gebu untuk membacanya. Terima kasih postingnya sangat bermaanfaat. Kalau boleh saya minta e-mail pak bondan atau copy dari bukunya saja.
Sincerely,
Iga Nadya
Jalan Embun pagi 110C tangkerang-labuai, pekanbaru, Riau.
08566780474
igakpunya@gmail.com
Kepada penulis klu bisa saran ke pak bondan untuk terbitkan bukunya sebagai bahan pencerahan bagi generasi muda,
Klu boleh juga alamat e mail pak bondan
Boleh dong bang share kontak Pak Bondan..
Post a Comment