03 December 2007

(Bukan) Panduan Menjadi Muslim Liberal

Dari judulnya, buku karya Ulil Abshar Abdalla ini berpotensi membetot perhatian sekaligus mengandung harapan. Menurut berita Majalah TEMPO (5 – 11 Desember 2005), tarik ulur terjadi saat buku Menjadi Muslim Liberal ini hendak diterbitkan. Pihak pencetak buku sempat menolak order, karena takut. Beberapa toko buku besar pun enggan menjualnya, dengan alasan takut menuai protes.

Di tengah potensi kontroversi tersebut, publik sebenarnya layak berharap dengan kehadiran buku ini. Pertama, kita berharap menemukan panduan metodologis dan teologis tentang bagaimana menjadi seorang penganut Islam yang liberal. Selama ini, persoalan metodologi selalu dijadikan pelor oleh kelompok-kelompok Islam literal untuk membedil Islam liberal. Kelompok Islam liberal dinilai tidak cukup punya metodologi dan epistemologi untuk menjelaskan mazhab tersebut.

Kritikan ini memang harus diakui oleh kelompok Islam liberal di Indonesia. Sejauh ini, tak ada satupun buku terbitan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bicara jelas soal metodologi. Buku Wajah Liberal Islam di Indonesia yang disunting Luthfi Assyaukanie (2002) hanya memuat kumpulan diskusi milis dan tulisan para pegiatnya yang pernah diterbitkan rutin di Jawa Pos dalam rubrik Kajian Utan Kayu.

Begitu juga buku Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal (2003). Buku ini berisi kumpulan tulisan dan hasil diskusi dalam acara Workshop Shari’a: Comparative Perspectives yang digelar JIL. Dalam buku ini, pembahasan syariat Islam terkait dengan isu politik ketatanegaraan, dan bukannya panduan privat bagaimana menjadi seorang muslim liberal yang ‘kaffah’.

Harapan kedua, dari buku karya Ulil ini, kita bakal menemukan semacam ‘fikih praktis’ untuk menjawab persoalan sosial sehari-hari. Selama ini, kelompok Islam liberal yang direpresentasikan JIL selalu berkutat pada isu-isu yang mengawang-awang, soal syariat Islam, demokratisasi, HAM, dan lain-lain.

Dua harapan ini layak dilambungkan, mengingat Ulil dikenal sebagai koordinator JIL yang getol ‘memprovokasi’ publik dengan gagasan-gagasan progresif dan kontroversial. Artinya, ia cukup punya otoritas untuk ngomong soal bagaimana menjadi seorang muslim liberal.

Namun, setelah membaca buku Ulil ini, harapan tersebut agaknya harus disimpan rapat-rapat. Sebagaimana buku-buku terbitan JIL lainnya, buku Menjadi Muslim Liberal ini hanyalah kompilasi tulisan Ulil yang tersebar di media massa dan situs www.islamlib.com milik JIL. Ini bukan karya utuh tentang ‘taktik dan strategi’ bagaimana menjadi seorang muslim yang berpandangan liberal.

Terdiri atas 44 buah artikel, buku ini menjabarkan butir-butir pemikiran Ulil terhadap berbagai fenomena kekinian dalam urusan beragama dan bermasyarakat. Sejak mula buku ini tak dipretensikan sebagai sebuah karya komprehensif. Setidaknya ini diakui Abd Moqsith Ghazali, kawan Ulil yang bertindak sebagai editor.

Menurut Moqsith, buku ini dihadirkan ke publik sebagai “penjelasan sementara” Ulil Abshar Abdalla atas “kesalahpahaman” pelbagai pihak menyangkut pikiran-pikiran keislaman sang pemikir muslim liberal itu (halaman ix). Namun, kendati tidak menjelaskan metodologi dan praksis secara runtut layaknya sebuah guide book, Ulil membagi bab-bab buku ini dalam kategori tinjauan konseptual, praksis, teladan personal, dan kondisi lapangan.

Bab I membicarakan artikel-artikel yang bicara soal konsep Islam liberal dalam melihat persoalan teologi dan persoalan mendasar tentang agama. Bab II berisi soal bentuk-bentuk penyikapan model Islam liberal terhadap persoalan ibadah ritual dan muamalah. Bab III tentang keteladanan sejumlah tokoh dalam menerjemahkan konsep liberalisme Islam. Bab IV berisi artikel-artikel yang memandang isu-isu sosial politik kontemporer dalam perspektif Islam liberal.

Secara umum, artikel-artikel Ulil dalam buku ini menggunakan lima semangat khas liberalisme Islam sebagai optik untuk menganalisis berbagai persoalan. Pertama, kritisisme terhadap otoritas keagamaan ortodoks. Sebagai orang yang mempercayai otoritas nalar, Ulil senantiasa menganjurkan pembacaan kritis terhadap teks ortodoks. Menurutnya, kaidah-kaidah fikih adalah produk ulama juga, dan karena itu “status epistemologis”-nya adalah relatif. (On Being Muslim, hal 43 – 46).

Oleh sebab itu, lanjut Ulil, “Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak”. (Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, hal 3 – 10).

Semangat kedua, pengakuan terhadap otonomi individu dalam menafsirkan agama secara rasional. Menurut Ulil, umat Islam tak perlu selalu terpaku pada tafsir fikih (hukum) para ulama dalam menyikapi segala sesuatu. Umat Islam belum dewasa, bila masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya dalam menilai segala sesuatu.

“Dalam kehidupan privat dan perorangan, hukum yang berlaku adalah hukum nurani…Kesadaran moral yang harus dikembangkan di lingkungan umat Islam adalah kesadaran moral yang otonom.” (Hukum Fikih atau Hukum Nurani, hal 15 – 20).

Semangat ketiga adalah penghargaan terhadap humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan di atas tafsir agama. Ulil menolak model tafsir yang menindas kemanusiaan. Penindasan dalam hal ini salah satunya jika tafsir tersebut melawan akal sehat (common sense). Jika Islam hendak diseret dalam tafsir ini, maka “Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia” (halaman 10).

Semangat berikutnya adalah pluralisme dan jalan dialogis. Konsep pluralisme inilah yang ditentang dan dinilai tak punya landasan epistemologis yang kokoh. Namun, kendati diserang kiri-kanan, Ulil tetap bersikeras dan malah mengeluarkan ‘fatwa’ soal ucapan selamat natal dari umat Islam (baca: Pendapat Islam Liberal tentang Perayaan Natal, hal 81 – 88).

Terkait dialog antar agama, Ulil memaparkan sekian kelemahan, yakni elitis, tidak militan, tidak dikuasainya jalur-jalur komunikasi dengan umat Islam, tak terbangunnya infrastruktur, masih adanya prasangka pada kelompok moderat, problem ketidakadilan, dan adanya kendala dialog internal (Beberapa Kendala Praktis Dialog Antaragama, hal 33 – 38).

Semangat terakhir adalah pengutamaan nilai-nilai universal agama yang substantif dibandingkan nilai-nilai partikular yang formalis. Menurut Ulil, setiap muslim pantas membangun suatu identitas khusus dengan “kembali” kepada ketentuan-ketentuan dalam Islam sendiri. Namun, identitas kemusliman tidak bisa dibangun secara terisolasi dari identitas-identitas lain yang lebih luas.

Dalam kerangka semangat ini pula, Ulil dengan tegas menolak perdebatan soal jilbab dan jenggot. “Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka bumi, bukan menegakkan jilbab, memelihara jenggot…” (hal 7).

Bagi pembaca yang malas berpikir kritis, seluruh pemikiran Ulil dalam buku ini boleh jadi bakal dianggap sebagai Islam liberal itu sendiri. Kontroversi dan lekatnya Ulil dengan ‘trade mark’ Islam liberal memang gampang membuat publik terjerumus dalam penilaian: Ulil adalah Islam liberal, Islam liberal adalah Ulil.

Namun, sekali lagi, karena ini bukan sebuah buku utuh dan hanya potongan-potongan pemikiran, maka marilah membaca bunga rampai ini dengan semangat tafsir kritis: bahwa ini sekadar interpretasi tentatif Ulil. Untuk bisa menjabarkan lebih jauh soal Islam liberal, agaknya Ulil atau aktivis JIL lainnya harus membuat semacam manifesto yang berisi konsep, metodologi, dan epistemologi aliran tersebut.

Dalam pengantar editor, Moqsith mengatakan bahwa Ulil berjanji menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku utuh. Janji yang layak kita tunggu, sehingga nantinya perdebatan mengenai paham liberalisme Islam bisa beranjak lebih produktif dan argumentatif. (*)

No comments: