Remy Sylado: Menulis Bisa Jadi Sandaran Hidup
Bisakah profesi penulis menjadi sandaran hidup di Indonesia? Sastrawan pop Remy Sylado meyakini bisa.
Hal ini dikemukakan Sylado, dalam sebuah diskusi di sebuah villa, di Bogor, Sabtu (15/12/2007). Diskusi ini diikuti 26 orang awak Yayasan Pantau, peserta kursus narasi, dan peserta kursus jurnalisme sastrawi, dengan dipandu jurnalis asal Jember Andreas Harsono.
"Insya Allah, bisa. Saya hidup dari menulis. Saya kira, semua bisa. Cuma banyak juga penulis yang sok puritan, antara tak mau dan tak mampu," kata Sylado. Apalagi, saat ini masyarakat Indonesia mulai memilih untuk membaca.
Sylado sudah mulai menulis sejak muda. Salah satu karyanya bahkan dibukukan saat usianya baru 17 tahun. "Gramedia ingin menerbitkan lagi. Tapi saya tidak mau. Malu, usia segitu bagaimana tulisannya," katanya.
Sylado pernah menghebohkan saat membuat tulisan bersambung berjudul Orexas (Organisasi Sex Bebas) yang dimuat di majalah Aktuil tahun 1970-an. Tulisan ini menyoroti kelakuan anak muda Bandung yang ugal-ugalan dan liar.
Menurut Sylado, seorang penulis, terutama fiksi, haruslah kreatif. Kreativitas tersebut tidak perlu menanti ilham. Semuanya tergantung pada memori kreatif. Setiap kali Sylado melihat sesuatu, akan disimpan dalam ingatan, yang bisa dimunculkan sewaktu-waktu.
Menulis juga perlu kecerdasan dan kesabaran melakukan riset. Dalam menulis buku tentang Pangeran Diponegoro, Sylado melakukan riset ke Belanda. Ia juga pernah mengunjungi Prancis untuk membuat buku Boulevard de Clichy.
Apa tips bagi penulis muda untuk memilih penerbit? Sylado mengusulkan, agar penulis muda mencoba memilih penerbitan besar dulu. Jika memang tidak berhasil, maka bisa memilih penerbitan kecil. (*)
15 December 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment