Catatan dari Diskusi Media Massa di Pantau (3)
Tidak Perlu Repot Sembuyikan Fakta Kerusuhan
Jakarta – Salah satu hal menarik yang sempat disinggung dalam kursus Jurnalisme Sastrawi yang digelar Pantau, Senin (10/12/2007), adalah jurnalisme damai. Jurnalisme damai dinilai gagal menjalankan cita-citanya, dan bisa memunculkan bias.
Jurnalisme damai adalah genre yang dibawa Profesor Johan Galtung. Ia menilai, liputan jurnalisme dalam sebuah konflik cenderung dilihat seperti permainan sepakbola: ada pemenang, ada pecundang.
Jurnalisme damai menghindari itu, dan lebih suka mengemas konflik dalam kemasan yang tak menimbulkan kemarahan pihak-pihak yang bertikai. Dengan kata lain, jurnalisme damai bertentangan dengan jurnalisme kompor yang suka memanaskan suasana.
Namun, Andreas Harsono, pengampu kursus jurnalisme sastrawi asal kabupaten Jember, Jawa Timur, punya kritik serius terhadap jurnalisme damai. ”Dengan segala hormat saya kepada Johan Galtung, saya kira (jurnalisme damai) tidak berhasil menekan berbagai macam sengketa etnik di Indonesia,” katanya.
Selama ini, para pengusung jurnalisme damai selalu membanggakan Indonesia sebagai contoh kasus keberhasilan genre tersebut. Namun, Harsono justru berpandangan, jurnalisme damai gagal.
”Kalau jurnalisme damai berhasil, minggu lalu tidak ada apa-apa di Pontianak (di Pontianak sempat terjadi kerusuhan etnik antara China dengan Melayu, Red). Kalau jurnalisme damai berhasil, nggak ada masalah akhir-akhir ini,” kata Harsono.
Harsono tidak sepakat jurnalisme damai disebut sebagai sebuah genre dalam jurnalisme. Jurnalisme damai baru dikatakan genre jika sudah bisa memperkenalkan metode baru untuk memperkuat jurnalisme. ”Saya kira genre ini tidak akan bertahan,” katanya.
Jurnalisme damai dalam praktiknya justru membingungkan publik, karena tidak transparan dalam pemberitaan. Padahal, salah satu aspek penting sebuah berita adalah transparansi.
Harsono lantas menunjuk pemberitaan Harian Kompas terkait konflik Ambon. ”Di Kompas, kalau ada gereja dibakar, diberitakan rumah ibadah dibakar. Besok kalau ada masjid dibakar, (dikatakan) rumah ibadah dibakar. Kita nggak tahu yang terbakar itu masjid atau gereja,” katanya.
”Dengan membuat tidak transparan, yang berkembang adalah rumor. Dan rumor itu jahat, Saudara. Negara kita kacau sampai hari ini, bunuh-bunuhan terus-menerus, nggak pernah habis, karena medianya gagap. Media tidak bisa menyediakan informasi yang akurat, sehingga orang tidak bisa mengambil keputusan dengan baik,” kata Harsono.
Padahal, semakin bermutu dan transparan jurnalisme, maka semakin bagus publik mengambil keputusan. Semakin baik sebuah pengambilan keputusan, maka kondisi publik akan semakin bagus.
Apakah transparansi itu justru tidak memprovokasi pihak yang berkonflik? Harsono menunjuk metode reportase sebagai kunci berita yang baik dan menyejukkan semua pihak.
Harsono menyarankan kepada jurnalis untuk mendatangi narasumber lingkar pertama untuk memberitakan konflik. Jurnalis tidak boleh puas dengan narasumber lingkaran kedua, ketiga, apalagi keempat.
”Kekeliruan kita, kalau memberitakan hal-hal yang sensitif, selalu mencari pejabatnya dulu. Kedua, pengamat. Kita harus open minded. Kalau jadi wartawan kepalanya tertutup, habis sudah,” kata Harsono, yang berjuluk Hoakiao dari Jember ini. (*)
12 December 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment