Masa Depan Jurnalisme Naratif di Indonesia (2)
Redaktur Koran Takut Terapkan Liputan Panjang
Peluang media massa harian di Indonesia mulai menerapkan reportase naratif sangat terbuka. Namun, sebagian redaktur masih bersikap konservatif dan takut memberi tugas liputan panjang kepada wartawan.
Janet Steele, profesor George Washington University yang ditemui beritajatim.com selama kursus jurnalisme sastrawi yang digelar Yayasan Pantau (10 " 21 Desember), menjelaskan adanya visi redaktur di Indonesia yang kurang luas.
"Sering di Indonesia, wartawan harus menulis dua atau tiga berita setiap hari. Kalau ini ditugaskan (menulis berita dalam jumlah banyak), tidak cukup waktu untuk menulis sesuatu yang lebih panjang," kata Steele.
Menurut Steele, ada ketakutan kalau seorang reporter diberi cukup waktu untuk menulis dengan gaya naratif, maka reporter itu tidak akan terlalu produktif. Padahal, tidak semua wartawan memiliki kapasitas dan keinginan menggunakan gaya naratif.
"Tidak harus dipakai semua orang. Tapi kalau di setiap kantor suratkabar atau internet, ada orang yang suka gaya ini, kenapa tidak mencoba?" kata Steele.
Faktor lain yang membuat jurnalisme naratif tidak begitu populer di Indonesia adalah masalah biaya liputan. Liputan mendalam dan lama memakan biaya cukup besar. Apalagi jika reporter bersangkutan melakukan immerse reporting, yakni reportase dengan mengikuti dan meliput aktivitas sumber secara mendalam.
"Mungkin lebih baik ada penulis luar biasa yang diberi cukup waktu untuk melakukan cukup reporting, mendapatkan bahan reportase," kata Steele. (*)
24 December 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment