09 December 2007

Kopi Fiqoh

Namanya Siti Nur Rafiqoh. Ia bekerja untuk Pantau. Kalem. Lembut. Saya tak mengira dia aktivis buruh. Ia sudah sepuluh kali dipecat dari pabrik karena memperjuangkan hak-haknya dan teman-temannya.

Eko, peserta kursus narasi dari Makassar, mendapat cerita soal Fiqoh dari Andreas Harsono, wartawan yang memimpin Pantau. “Semua preman di Tangerang tahu Mbak Fiqoh. Ada orang badannya gede bertato eh ternyata kenal Fiqoh.”

“Terlalu dibesar-besarkan,” sahut Fiqoh.

Tapi Dayu, staf Pantau lainnya, juga punya opini soal Fiqoh. “Biar kalem kayak gini, tapi kalau sudah orasi dan memimpin gerakan buruh, tegas,” katanya.

Fiqoh menganggap itu masih terlalu dibesar-besarkan. Setiap orang akan berbuat seperti dirinya, kalau memang saatnya memperjuangkan sesuatu.

Saya bertemu Rafiqoh di rumah kosnya yang tak jauh dari kantor Pantau. Saya berjalan kaki bersama Dayu. Rumah kosnya kecil saja. Tidak ada kursi. Kami semua duduk di atas lantai. Ada beberapa foto di dinding. Bukan Fiqoh, mungkin temannya.

Di dinding ada tempelan brosur merah muda. Saya tidak membaca jelas, tapi berisi tentang perkuliahan hukum. Fiqoh mengaku tidak kuliah. Menurutnya, itu usaha temannya membuka kelas ekstensi.

Di ruang tamu Fiqoh terdapat lemari berisi buku-buku. Macam-macam: Wars Within karya Janet Steele, Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Buku Harian Sepeda Motor-nya Che Guevara, Gunung Pi-nya Richard Preston, atau Frans Sinatra Kena Selesma karya Gay Talese. Dua buku terakhir adalah kompilasi karya jurnalisme naratif.

Kami berdiskusi soal gerakan buruh. Fiqoh banyak cerita soal gerakan buruh yang beragam kepentingan. Ia menyesalkan gerakan buruh yang hanya mau mengurusi sesuatu yang besar, tapi tidak mau bergerak mengurusi persoalan-persoalan kecil tapi riil yang dihadapi buruh seperti PHK satu dua orang buruh.

Serikat-serikat buruh di Tangerang sebagian besar tidak bergerak untuk memberikan kesadaran pada buruh tentang apa yang diperjuangkan. Anggota-anggota serikat buruh hanyalah massa yang digerakkan sewaktu-waktu. “Kalau ada demo, coba tanya saja, apakah salah satu buruh peserta demo mengerti soal apa yang mereka demo,” kata Fiqoh.

Hubungan serikat buruh dengan buruh akhirnya seperti hubungan partai politik dengan konstituennya. Buruh berakhir hanya sebagai penggembira yang digerakkan oleh elite-elite serikat buruh.

Soal advokasi buruh, buruh yang diadvokasi cenderung tidak diberi pemahaman mengenai cara memperjuangkan hak secara hukum. Model dan cara advokasi tergantung serikat buruh. Buruh yang diadvokasi tinggal terima beres. Akhirnya, dalam penyelesaian persoalan buruh, bisa muncul perselingkuhan antara elite-elite buruh dengan perusahaan

Dengan jengkel, Fiqoh menunjukkan model penyelesaian konflik antara buruh dengan perusahaan. Serikat buruh tidak mau berjuang keras melalui jalur hukum. Jika ada persoalan, maka ujung-ujungnya buruh dikompori agar penyelesaian melalui penjualan aset.

Ini tentu merugikan buruh. Kendati hasil penjualan aset menjadi hak milik buruh, tapi bagi perusahaan itu lebih baik daripada membayar hak-hak normatif buruh yang tak terselesaikan. Kendati menjual aset, perusahaan itu masih bisa hidup dan tetap beroperasi dengan membeli aset baru, tanpa direcoki urusan buruh lagi.

Padahal, seharusnya sebelum menjual aset, secara hukum perusahaan harus dinyatakan pailit dulu. Tapi tanpa menunggu itu, aset dijual untuk memenuhi hak normatif buruh. Kalau sudah begini, elite serikat buruh juga yang untung.

Rafiqoh tak betah. Ia memilih mendirikan Serikat Buruh Bangkit (SBB). Ia ingin melakukan pendidikan langsung kepada buruh, seperti melalui bedah kasus. Ia ingin buruh mengerti situasi yang dihadapi. Persoalan buruh adalah persoalan sistem. Tapi kita tidak bisa ngomong soal sistem, ketika persoalan kecil agen sistem itu (dalam hal ini buruh) saja tak tertangani baik.

Itu pun Fiqoh masih dicurigai. Mengurusi advokasi buruh orang per orangan dianggap hanya akan memundurkan organisasi. Tapi di lain pihak, itu dianggap lahan basah oleh sejumlah serikat buruh. Apalagi Tangerang berisi perusahaan-perusahaan besar dengan pemodal asing.

Padahal, SBB bukan serikat buruh yang makmur. “Kalau ada acara diskusi, sejak siang sampai malam ya tidak makan, karena kita tidak punya uang untuk beli makanan,” kata Fiqoh. Ini berbeda jika diskusi atau bedah kasus dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang punya yayasan donor.

Suatu saat, Fiqoh dan sembilan aktivis SBB melakukan perlawanan terhadap perusahaan. Perlawanan itu sempat membuat mereka menikmati dinginnya sel kepolisian.

Bukannya memberi pembelaan, sejumlah elite buruh malah mengompori sembilan aktivis lain untuk meninggalkan Fiqoh. Benar saja, gerakan itu pun tercerai berai.


Tapi Fiqoh jalan terus. Ia tidak sakit hati. Anggota SBB kini sudah mencapai 800 orang. Ia tetap akan berjuang. Ia memuji gerakan buruh di Jawa Timur yang dikatakannya solid dan punya visi.

Tidak terasa, percakapan kami cukup panjang. Fiqoh berdiri. “Saya mau ke Tangerang dulu. Ada acara dengan buruh. Saya biasanya tiba di rumah kembali jam sepuluh malam. Bawa saja kuncinya, kalau ingin nonton sepakbola. Entar kalau sudah selesai titipin ke tetangga depan itu,” katanya kepada saya. (*)

No comments: