12 December 2007

Catatan dari Diskusi Media di Pantau (4)
Hindari Komentar Jargonistik di Daerah Konflik

Media massa bisa memiliki peran untuk menenangkan konflik dan memunculkan kesepahaman di antara pihak-pihak yang berkonflik. Salah satu kuncinya adalah detail pada narasi berita.

Pengampu kursus jurnalisme sastrawi Pantau XIV Andreas Harsono mengatakan, liputan naratif dengan detail yang jeli, sangat bagus diterapkan dalam liputan di daerah konflik.

"Dalam narasi, wartawan tak boleh memberikan kata sifat. Narasi bisa menenangkan dengan jalan mendetailkan deskripsi tentang konflik itu, sehingga lebih dingin," kata Harsono, di kantor Pantau, Rabu (12/12/2007).

Jurnalis kelahiran Jember itu mencontohkan artikel Hiroshima karya John Hersey, wartawan majalah The New Yorker. Artikel itu terbit tahun 1946, dan menjelaskan dengan detail akibat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, pada Perang Dunia Kedua.

Hersey mewawancarai 40 narasumber. Warga sipil semua. Ia lantas memilih enam narasumber untuk merekonstruksi apa yang terjadi saat bom itu meledak. Ia menuliskan bagaimana kulit melepuh. Hawa panas. Api di mana-mana. Sesaat setelah bom itu meledak tanpa suara.

Artikel Hersey mengguncang publik Amerika Serikat. Perdebatan mengenai bom atom mengemuka. Publik mulai mempertanyakan penggunaan bom atom dari aspek kemanusiaan. "Selanjutnya kita tahu, bom atom hanya sekali digunakan hingga saat ini," kata Harsono.

Meliput daerah konflik, wartawan Indonesia sangat disarankan tidak mengutip sumber-sumber yang jargonis. Sumber-sumber jargonis biasanya adalah para pejabat berwenang di daerah tersebut. "Pernyataan-pernyataan (jargon kutipan pejabat) akan membuat semakin tidak jelas," kata Harsono.

Narasi berita lebih baik disusun dari sumber pertama di tempat kejadian. Sumber pertama akan bisa membantu wartawan mendapatkan detail suatu kejadian. Narasumber pun sebaiknya dipilih yang artikulatif, bukan narasumber yang senang melontarkan pernyataan eufemisme (penghalusan). (*)

No comments: