11 December 2007

Catatan dari Diskusi Media Massa di Pantau (2)
Maia Ahmad Lebih Seksi Ketimbang Kenaikan BBM

Jakarta – Mana yang lebih menarik: kisah Maia Ahmad yang masuk rumah dengan cara manjat pagar atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai Januari ini?

Belum ada jajak pendapat untuk mengukurnya, setahu saya. Tapi jika melihat banyaknya obrolan ibu-ibu dan bejibunnya porsi tayangan soal Maia Ahmad di televisi, rasanya cerita si Maia manjat pagar kok lebih menarik bagi publik ketimbang kenaikan harga BBM.

Padahal, kita tahu, kenaikan harga BBM lebih berpengaruh terhadap kehidupan publik dibanding perceraian Dhani dengan Maia.

Inilah ironi media massa di Indonesia. Isu-isu penting bagi publik menjadi tidak menarik, karena dituliskan dengan gaya yang sangat kering, tidak berwarna. Tidak ada empati. Semua disajikan dengan gaya di mana wartawan seolah berjarak dengan persoalan tersebut. Meski kita tahu, kalau harga BBM naik tapi gaji tidak naik, maka boleh jadi si wartawan ngos-ngosan di lapangan.

Ironi ini terjadi, karena media massa serius di Indonesia melupakan salah satu elemen jurnalisme yang dirisalahkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku ’Sembilan Elemen Jurnalisme’. Duet wartawan kesohor itu menekankan agar berita ditulis semenarik mungkin, sehingga bisa menarik perhatian pembaca.

Mengapa tulisan serius media massa di Indonesia jarang ditulis secara menarik? Jawabannya bisa kompleks. Pertama, bisa jadi karena keterbatasan kemampuan si wartawan dalam menulis. Kedua, bisa jadi ini merupakan kebijakan redaksional untuk membuat sebuah gaya tulisan yang kering.

Reportase narasi, jurnalisme sastrawi, jurnalisme naratif, atau sejenisnya, sebenarnya berpeluang untuk menggeser gaya penulisan berita yang kering. Reportase narasi tidak menuntut bicara soal orang besar, pejabat pemerintahan, ketika membicarakan sebuah isu yang bersinggungan dengan publik.

Informasi soal kenaikan harga BBM memang berasal dari pejabat. Tapi saat kita membicarakan dampaknya, maka reportase narasi memberikan kesempatan orang-orang terpinggir untuk bicara. Dalam kosakata poskolonial: memberikan suara kepada yang lain (the others) yang bisu.

Persoalannya, maukah media-media massa utama di Indonesia menggeser kebijakan redaksi mengenai penulisan? Ini yang masih harus ditunggu. Yang jelas, tak mudah membuat reportase narasi, karena si wartawan harus benar-benar mengikuti apa yang dikatakan Sindhunata, eks wartawan Kompas.

Kata Sindhunata dalam pengantar buku kumpulan esai feature-nya, ”Pekerjaan wartawan pertama-tama adalah kerja kaki.”

Artinya: reportase narasi membutuhkan ketekunan dan disiplin verifikasi yang tinggi dengan mengakses semua narasumber. Bukan hanya cover both side, tapi cover all side. Meliput semua sisi, bukan hanya dua sisi yang bertentangan. Mampukah?... Lebih serius lagi, maukah media massa Indonesia? (*)

No comments: