Blind Eye
Oleh: Oryza Ardyansyah Di bawah Sumpah Hipokrates, para dokter berjanji mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Namun, dunia kedokteran mempunyai sisi gelapnya sendiri yang memunculkan perdebatan tiada habis: malpraktik.
Dalam definisi kedokteran, malpraktik adalah tindakan yang diambil seorang dokter dengan mengabaikan standar prosedur serta bertentangan dengan etika dan hukum. Ini sebuah definisi yang jelas. Namun, realitasnya, menentukan sebuah tindakan adalah malpraktik tak segampang membunyikan definisi itu.
Ayudya Sesi, seorang warga Jember, setelah menjalani sebuah operasi, mendadak mengalami kelumpuhan total. Tim dokter menolak apa yang dialami sang ibu diakibatkan malpraktik.
Namun, dokter tidak bisa menjelaskan rinci apa penyebab kelumpuhan itu secara medis. Dokter menyebutnya sebagai ‘kejadian yang tak diharapkan’.
Persoalannya: bagaimanakah cara seorang pasien bisa tahu bahwa yang dialaminya adalah 'kejadian yang tak diharapkan' atau malpraktik? Tak ada yang bisa menjawab.
Penentuan itu ada di tangan dokter sendiri, karena ada rasionalisasi bahwa dibutuhkan keahlian dan pemahaman medis untuk menentukannya. Orang awam tak punya otoritas untuk menentukan.
Rasionalisasi itu boleh jadi benar. Namun ada kelemahan di dalamnya: bagaimana kita yakin bahwa seorang dokter akan disalahkan melakukan malpraktik oleh orang yang bekerja di rumah sakit dengan profesi serupa dengannya. Siapakah yang akan menjamin dokter yang menjadi whistleblower (peniup peluit) itu.
Kita boleh belajar dari serangkaian aksi malpraktik yang ditulis oleh jurnalis pemenang Pulitzer James B. Stewart dalam buku berjudul Blind Eye (Dastan Books, Mei 2007).
Buku ini memaparkan bagaimana seorang dokter bernama Michael Swango didakwa menyuntikkan racun ke sejumlah pasien yang berujung ke kematian.
Hasil reportase Stewart menunjukkan, butuh waktu lama dan berliku sebelum menyeret Swango ke penjara. Saat ada pasien di RS Ohio State University (OSU) mengalami kelumpuhan mendadak dan menuduh Swango menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya, pihak RS menolak investigasi dari luar. Mereka memilih melakukan investigasi sendiri.
Bisa ditebak, tim investigasi yang terdiri atas para dokter lebih mempercayai pengakuan Swango daripada pasien dan seorang perawat. Kelumpuhan itu lantas didiagnosis sebagai bentuk epilepsi parah yang memang bisa terjadi. Sementara cerita pasien dan perawat yang menyaksikan Swango menyuntikkan sesuatu diabaikan karena tidak dapat dipercaya.
Dengan jeli, Stewart mengkritik praktik peer review di dunia kedokteran. Peer review adalah evaluasi terhadap seorang dokter praktik oleh dokter lain. Dasar pikirannya adalah hanya dokter yang bisa mengevaluasi kualitas perawatan pasien. Alasan ini digunakan para dokter Ohio State untuk menolak menghubungi polisi guna menginvestigasi Swango.
Dengan mencantumkan sebuah studi di tahun 1988, Stewart menulis, bahwa sistem peer review memiliki kelemahan. Bagaimana seorang dokter bisa menilai sesama dokter?
"Seorang dokter dalam posisi ini pasti selalu berhadapan dengan godaan untuk memberi pembebasan dari dakwaan dan menutupi kesalahan seorang rekan sejawat," tulisnya.
Itulah yang terjadi pada Swango. Ketika semua bukti mengarah kepada dia, rekannya sesama dokter masih enggan mengakui itu kepada investigator dari kepolisian. Bahkan, setelah keluar dari OSU, Swango masih bisa melamar kerja ke rumah sakit lain sebagai residen.
Kembali ke kisah Ayudya yang mendadak lumpuh setelah menjalani operasi cesar. Kita berharap bahwa ia benar-benar mengalami 'kejadian yang tak diharapkan', dan bukannya diakibatkan kelalaian prosedur tim medis.
Namun sudah saatnya seorang pasien awam mendapat kepastian hukum, bahwa dirinya tidak menjadi korban inkompetensi seorang dokter. Jangan sampai dokter bisa 'memainkan peran Tuhan' (playing god) di hadapan pasien karena otoritas keilmuan dan profesinya.
Itu bisa dimulai dengan membuat pengakuan jujur tentang berapa jumlah dokter kita yang tidak kompeten. Dalam buku Blind Eye disebutkan, 5 dari 100 dokter di Amerika Serikat sangat tidak kompeten, suka minum, pikun atau lemah.
Pada tahun 1986 dinyatakan bahwa 3-5 persen dari 425 ribu dokter praktik nasional AS memiliki 'sedikit banyak kelemahan karena beraneka ragam sebab'.
Kita menanti pengakuan jujur seperti itu di Indonesia, agar sumpah Hipokrates tetap terjaga. Agar kita tak terbutakan. ( *)
12 July 2007
Labels: Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment