Bondan Winarno, Presenter Mak Nyus Itu?
Ungkap Skandal Busang, Kapok Hadapi Peradilan Indonesia
Bondan Winarno saat ini lebih dikenal oleh publik sebagai pakar kuliner yang sering tampil di layar televisi. Namun, 10 tahun silam, namanya pernah bersinar setelah menulis buku investigatif tentang skandal tambang Busang di Kalimantan Timur.
Skandal itu berawal saat perusahaan tambang asal Kanada, Bre-X, mengumumkan bahwa ada deposit emas terbesar di dunia di Busang, Kalimantan Timur. Belakangan diketahui bahwa itu semua akal-akalan. Namun, skandal ini sudah terlanjur membuat pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto campur tangan dan jatuh malu.
Dalam rangka memperingati 10 tahun terbongkarnya skandal Busang dan terbitnya buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, beritajatim.com mewawancarai Bondan melalui surat elektronik.
Bondan dengan rendah hati mengatakan, bahwa investigasi tersebut dijalankan saat bisnis di perusahaannya sepi. Saat itu, tahun 1997, ia bekerja sebagai presiden direktur di sebuah perusahaan. "Boleh dikata: sebuah keisengan mumpung tidak sibuk," katanya.
Naluri investigatifnya muncul, saat membaca berita tentang seorang geolog Filipina Michael de Guzman yang menambang emas di Busang, terjun bunuh diri dari helikopter. Mayat de Guzman ditemukan dalam waktu hanya tiga hari. Padahal, ia jatuh ke belantara Kalimantan yang rapat dengan pepohonan. Mustahil ditemukan dalam waktu singkat.
"Kondisi tubuh yang dideskripsikan dalam berita itu juga tidak cocok dengan kondisi tubuh seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 feet," kata Bondan. Dari situlah muncul skeptisisme profesional sebagai jurnalis bahwa kematian de Guzman adalah palsu.
Dalam waktu sekitar beberapa bulan, buku hasil reportase investigatif Bondan akhirnya terbit tahun 1997. Namun, gara-gara buku itu, ia dituntut Rp 2 triliun oleh mantan Menteri Pertambangan I.B Sudjana (sekarang sudah meninggal). Deliknya pencemaran nama baik.
"Saya kalah dalam dua pengadilan – pidana dan perdata – dan diputus untuk memuat iklan pernyataan maaf sebesar 1 halaman di 16 koran nasional," kata Bondan.
Namun, yang membuat terpukul adalah adanya tuduhan bahwa dirinya dibayar untuk menulis buku tersebut. Sebuah fitnah yang keterlaluan. Bondan juga merasa ditinggalkan oleh korps jurnalis di Indonesia dalam menghadapi gugatan tersebut.
"Ketika saya disidang untuk buku ini, saya tidak dapat dukungan dari media di Indonesia. Padahal, ketika Tempo bermasalah dengan Tomy Winata, saya jadi ketua untuk gerakan Pers Melawan Premanisme. Karya saya tidak diakui lembaga pers Indonesia," katanya.
Sepuluh tahun berlalu. Bondan kini lebih dikenal dan asyik sebagai presenter kuliner ketimbang reporter investigatif. Kendati buku investigatifnya dianggap sebagai karya contoh jurnalisme investigatif pribumi, ia merasa bukunya tak monumental.
Saat ditanya kapan akan meninggalkan dunia kuliner dan kembali terjun sebagai reporter investigatif, Bondan menjawab panjang lebar.
"Saya selalu tertantang untuk menjadi the best. Sekarang saya anggap telah mencapai the best dalam tulisan kuliner (dan show kuliner). Pada saatnya – cepat atau lambat – saya juga akan undur diri dari dunia kuliner," kata Bondan.
Setelah undur diri? "Entah apa yang akan saya kerjakan nanti. Saya toh sudah pensiun dan hanya mencari kegiatan demi kehidupan kedua yang berbeda dengan masa sebelumnya," jelas Bondan. (bj2)
19 August 2007
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment