Bendera Setengah Tiang
Bagaimana nasionalisme dimaknai di Jember, melalui upacara bendera setengah tiang sebagai rasa solidaritas terhadap korban bencana lumpur Sidoarjo.
Wajah Hadiono tampak merengut. Ini hari Jumat, 17 Agustus, masih pukul 09.30. Penanggalan berwarna merah. Bersama dua kawannya, ia masih harus berjaga di gedung DPRD Jember yang lengang. Jika keadaan aman-aman saja, seharusnya ia bisa tidur-tiduran di musola atau sofa. Tapi hari itu, ia tahu tak bisa tidur dengan enak.
Di luar gedung, di luar pagar, sedikitnya seratus orang berkumpul. Hadiono tak tahu mau mereka. Ia juga tak tahu nama-nama mereka. Tak tahu dari kelompok mana mereka. Yang ia tahu, kawannya sesama petugas polisi pamong praja, Solikhin, sudah menemui orang-orang itu lebih dulu. Orang-orang itu, seperti kelompok-kelompok pengunjukrasa terdahulu, memaksa untuk masuk ke halaman gedung.
Hadiono keluar dari gedung dewan tanpa mengenakan seragam tugas abu-abu. Ia tidak tinggi, sekitar 160 centimeter. Tapi tubuhnya dalam balutan kaus biru terlihat liat. Kekar. Ia mendekati Solikhin yang tengah susah-payah bicara dengan orang-orang itu dari balik pagar yang tergembok.
Solikhin memakai seragam dinas abu-abu. Alih-alih seram, wajahnya justru lebih terlihat jenaka. Dengan tubuh yang gemuk, Solikhin memang suka bergurau. Namun hari itu, ia tak ingin bergurau. Orang-orang itu minta agar rantai gembok di pagar dibuka.
“Maaf, Mas, kalau mau ke sini harus sepengetahuan sekwan (sekretaris DPRD). Sini kalau nggak ada teken-nya bagaimana? Kan ya nggak boleh,” kata Solikhin.
Lawan bicara Solikhin adalah Achmad Daenuri, seorang aktivis lingkungan hidup. Ia salah satu orang yang menentang keras pembukaan tambang emas di Jember pada tahun 2000.
“Kemarin kami sudah bilang ke Gus Mamak. Kata Gus Mamak, setelah upacara tujuh belasan kami bisa melakukan upacara di sini,” tukas Daenuri. Gus Mamak yang dimaksud Daenuri adalah Madini Farouq, ketua DPRD Jember.
Kepada saya melalui pesan pendek, Farouq membenarkan telah menerima surat dari para aktivis yang ingin menggelar upacara bendera di halaman gedung DPRD Jember. “Sudah saya disposisi ke sekwan untuk ditindaklanjuti sesuai aturan. Sebab tanggungjawab penggunaan gedung adalah wewenang sekwan,” katanya.
Sekretaris Dewan Bambang Hariono saat saya konfirmasi tertawa. “No comment,” katanya.
Seorang bertubuh tinggi berkacamata mendekati Solikhin. Ia dikenal sebagai Ahmad Taufik, seorang aktivis kebudayaan dan mantan ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jember. “Sampeyan tenang saja,” katanya.
“Iya, saya sudah tenang.”
“Nomer HP sampeyan berapa? Nanti biar Mamak nge-bel,” kata Taufik.
“Saya nggak punya HP,” sahut Solikhin. Taufik diam.
Seorang pria separuh baya bertubuh kecil mendekati gerbang yang tergembok itu. “Sudah, tidak usah di dalam. Tidak apa, di sini saja enak.”
Nada suara orang itu berat dan memunculkan hormat dari Daenuri dan Taufik. Ia melanjutkan, “Jangan dibuat menderita. Teman-teman ini menderita kalau dipaksa.”
Si pria kecil itu, Nur Hasan, seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. Ia aktivis sosial, dan penggagas Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) yang banyak bergerak di bidang pendidikan dan buruh anak.
Solikhin merasa lega mendengar ucapan Nur Hasan. Ketegangan di wajahnya mulai kendur. Namun tak urung, Daenuri menggerutu juga. “Ini lucu. Polisinya datang, sekwannya nggak datang.”
Tak jauh dari mereka sekitar 15 anggota polisi memang tengah berjaga. Tapi rasanya tidak tepat jika disebut berjaga, karena toh mereka saling ngobrol dan tertawa-tawa. Perdebatan di depan gerbang DPRD Jember dibiarkan lewat begitu saja.
Hadiono tidak bicara. Ia hanya menatap ratusan orang yang sebagian besar tengah duduk-duduk di bawah rindang pohon. Dari Solikhin ia tahu jika orang-orang itu, entah dari mana mereka, hendak melakukan upacara bendera di halaman gedung parlemen.
Hari itu, Jumat, 17 Agustus. Hari Kemerdekaan. Tidak ada yang ganjil dengan keinginan sejumlah orang untuk melakukan upacara bendera di mana pun tempatnya. Namun, orang-orang ini tidak sebagaimana layaknya orang yang hendak mengikuti upacara bendera.
Kelompok itu dipenuhi wajah-wajah belia, wajah mahasiswa. Mereka berpakaian hitam. Sebagian berjilbab. Tak jauh dari tempat mereka duduk bersantai, ada 28 anak berpakaian seragam pramuka dengan rompi dari kertas cokelat. Mereka membawa tetabuhan dari kaleng-kaleng biskuit dan botol galon air mineral yang dihantam bertalu-talu.
Daenuri menyebut mereka kelompok drum band Revolusi. Entah mengapa diberi nama demikian. Padahal para personilnya masih duduk di bangku madrasah tsanawiyah Sunan Kalijaga, dan tentu tak banyak tahu soal revolusi.
Daenuri dan Taufik tak lagi memaksa untuk masuk ke halaman. Namun, keinginan mereka tak surut. “Kemerdekaan saat ini masih belum diterima semua lapisan masyarakat. Contohnya, para korban lumpur Lapindo,” kata Daenuri kepada saya.
“Mana keberpihakan dewan kepada korban lumpur Lapindo. Bencana sudah berjalan setahun lebih. Tidak ada satu pun DPRD dan bupati di Jawa Timur yang melakukan pembelaan. Jadi momentum 17 Agustus ini pas untuk mempertanyakan, benarkah kita sudah merdeka?”
Daenuri mengatakan, seharusnya upacara bendera sudah dimulai pukul 09.30. Mereka masih menanti dua ulama ternama Jember, KH Wasil Sarbini dan KH Musahri. Kedua kiai itu tengah melakukan takziyah di kecamatan Bangsalsari, yang jauh dari pusat kota Jember.
Tidak ada persiapan khusus untuk upacara bendera yang disebutnya upacara kerakyatan itu. Tahun lalu, Daenuri bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bencana Jember juga menggelar upacara bendera di wilayah Kaliputih, kecamatan Panti, Jember. Kaliputih merupakan titik terparah terjadinya bencana longsor dan banjir bandang Januari 2006.
Setelah berbincang sebentar dengan saya, Daenuri kemudian bergabung dengan dua kawannya, Sri Sulistyani dan Memet. Mereka mencoba mengerek bendera ke sebuah tiang dari bambu setinggi lima meter, layaknya pengibar bendera pusaka di istana negara.
Namun penampilan mereka jauh dari penampilan pasukan pengibar bendera. Daenuri memakai kopiah hitam dan jaket lusuh hitam. Memet memakai blangkon. Ia juga berpakaian hitam, sama seperti Sulistyani yang memilih tidak mengikat rambutnya yang panjang sebahu.
Daenuri memimpin gladi resik penaikan bendera merah putih di atas tiang bambu itu. Bendera sudah dinaikkan.
“Hormat…graak.” Ketiganya mendongak.
“Belok kanan maju jalan,” seruan Daenuri disambut gelak tawa. Ia keliru menyebut kata ‘balik kanan’ menjadi ‘belok kanan’. Tapi ia tak hirau.
Gladi resik beres. Beberapa teknisi sudah mulai mengutak-atik sound system kecil yang disambungkan ke sebuah mikrofon.
Daenuri mendekati Hadiono dan Solikhin. “Ayo wis bukakno. Aku sesuk ketua dewan sampeyan satpol PP maneh.”
Solikhin mengamini. Tapi ia buru-buru meralat. “Mbeh, kok amin,” katanya, dengan logat Madura Jember yang kental.
“Yo wis, sampeyan komandan satpol PP,” ralat Daenuri.
Hadiono menukas. “Sesuai protap tidak boleh. Protap produk tetap. Ini Hari Kemerdekaan,” katanya dengan logat Madura Jember yang tak kalah kental.
Hadiono lalu menggerutu dengan bahasa Madura ke telinga saya. “Mon de iye e’ beghi ka Pol PP. Mon bede pesseh kakan dibbik.”
Maksudnya: “Kalau sudah begini diberikan ke polisi pamong praja. Tapi giliran ada uang dimakan sendiri.” Tak jelas, apakah Hadiono mengarahkan gerutuannya ke anggota dewan.
Massa kembali menunggu. Taufik meminta kepada Daenuri untuk segera memulai upacara bendera. “Kita harus mempertimbangkan psikologi anak-anak mahasiswa,” katanya. Massa mahasiswa memang tampak sudah tak sabar.
Mendadak suara meriam terdengar beberapa kali. Pukul 10.00. Itu pertanda detik-detik proklamasi di alun-alun yang dipimpin Bupati Jember Muhammad Zainal Abidin Djalal.
“Seharusnya kita tadi bawa mercon,” sahut salah satu mahasiswa, tertawa.
Upacara bendera dimulai dengan permainan ala musik militer kelompok drum band Revolusi. Sang mayoret bernama Sholeh dengan bersemangat memutar-mutar tongkat komando. Ia lempar ke atas dan….hap….lepas dari tangan. Tepuk tangan dan gelak tawa terdengar dari peserta upacara lainnya.
Permainan musik berhenti. Saatnya menyiapkan barisan. Seorang mahasiswa berambut gondrong ditunjuk sebagai komandan pasukan. Di jarinya rokok menyala masih satu batang penuh. Tanggung untuk dibuang. Cepat-cepat ia letakkan rokok itu ke tanah, dan mulai berteriak, ”Siaaaap….grak.”
Rokok itu dipungutnya lagi dari tanah. Dengan pelan, ia hisap, sembari cengengesan.
Daenuri dan kawan-kawannya lantas bersiap mengibarkan bendera merah putih. Gladi resik sudah dilakukan. Tidak akan gagal walau tanpa latihan. Indonesia Raya dengan suara fals di sana-sini dinyanyikan oleh peserta upacara dengan bersemangat. Bendera itu dikerek hingga ke puncak, dan tepat di akhir lagu, kembali diturunkan menjadi setengah tiang.
Nur Hasan yang ditunjuk sebagai inspektur upacara dengan gaya santai membacakan dua teks proklamasi. “Yang pertama teks proklamasi kemerdekaan dan kedua, teks proklamasi kerakyatan,” katanya.
Teks proklamasi kemerdekaan, siapapun sudah tahu. Teks proklamasi kerakyatan baru kali ini terdengar. Teks itu ditulis tangan di atas selembar kertas folio. Diawali dengan bacaan pujian kepada Tuhan.
“Bismillahil wahidil jabbaril qohhar. Kami rakyat jelata dengan ini menyatakan kemerdekaan dan kebangkitannya. Kami rakyat jelata dengan ini menyatakan kematian hati nurani pemimpin-pemimpin bangsa.”
“Kami rakyat jelata dengan ini menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan dan keadilan telah dirampas oleh kedholiman, keserakahan, kemunafikan dam pengkhianatan kepada ibu pertiwi. Dan oleh karenanya perjuangan kemakmuran dan keadilan harus diraih dengan tekad bersama, dengan cara yang revolusioner dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
“Jember, 17 Agustus 2007. Atas nama rakyat jelata.”
Tangan Nur Hasan bergetar keras, saat membacakan teks proklamasi kerakyatan ini. Suaranya juga bergetar. Ada nada emosi.
Saat Nur Hasan memberikan amanat inspektur upacara, saya mendekati Ali yang berperan sebagai ajudan upacara yang berdiri di belakang Nur Hasan. “Li, pinjam dulu,” bisik saya.
Ali lantas menyerahkan map berisi teks proklamasi kerakyatan itu. Saya segera menyalinnya sembari duduk di atas trotoar tak jauh dari Nur Hasan berdiri. Sejumlah kawan jurnalis lebih memilih menjepret teks itu dengan kamera dari jarak dekat daripada repot-repot menyalin.
Saya merasa sebal saat tangan Dewi, seorang reporter radio El Shinta, berkali-kali menutupi kertas itu, sehingga tak terbaca. Namun, kemudian, ia berbisik, “Sori, Mas. Tadi saya tutup-tutupi, soalnya ada intel yang ikut memfoto.”
Saya hanya melongo. Saya baru sadar. Di zaman seperti sekarang, saya sebenarnya tidak terlampau percaya intel-intel masih suka mengintai untuk main represi dan menindas aksi upacara bendera seperti ini. Saya pikir mereka hanya mengumpulkan data biasa. Tapi, tanpa banyak bicara saya kembalikan map itu ke Ali.
Tapi boleh jadi juga Dewi ada benarnya. Bagi sebagian pihak, upacara bendera kerakyatan yang dilakukan Aliansi Masyarakat Peduli Bencana Jember mungkin bertentangan dengan apa yang didefinisikan sebagai semangat nasionalisme. Apalagi, upacara bendera itu masih diakhiri dengan acara salat jenasah.
Di hadapan sebuah keranda bertuliskan ‘Pemerintah Elite Politik’ dan ‘Pemerintah dan Wakil Rakyat’, para aktivis menjalankan salat yang biasa dilakukan untuk mendoakan orang yang baru meninggal dunia dalam tradisi agama Islam.
Nur Hasan mengatakan, “Yang mati adalah hati nurani pemerintah dan elite politik saat ini.” Lalu keranda itu dibakar. Delapan butir resolusi untuk korban Lapindo dibacakan: intinya, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan kepada para korban.
Entah mendengar dari mana, tak lama setelah para aktivis Aliansi mengakhiri prosesi upacara bendera, datanglah belasan anggota Pemuda Pancasila berseragam oranye loreng seperti tentara.
“Masa upacara bendera setengah tiang? Ini hari Kemerdekaan. Mau dicabik-cabik bangsa ini. Ini benar-benar disintegrasi bangsa. Ingat jasa pahlawan yang merebut kemerdekaan,” sergah Ketua Pemuda Pancasila Abdul Arif Ismail.
Petugas kepolisian sempat bersiaga dengan datangnya pasukan oranye itu. Mereka tak ingin terjadi bentrokan. Untunglah, Pemuda Pancasila hanya berhasil menemui beberapa aktivis tengah membereskan peralatan. Abdul Arif Ismail hanya membantu seorang aktivis mencopot bendera merah putih dari tiang bambu.
Nur Hasan hanya tersenyum-senyum melihat kedatangan para aktivis Pemuda Pancasila itu. Sembari menyeruput air mineral dari sedotan, ia tidak berkomentar banyak. Ahmad Taufik tertawa senang melihat kedatangan organisasi massa yang sempat kuat di masa orde baru ini. “Terima kasih, karena opininya malah semakin kuat,” katanya.
Post scriptum
Saya sudah hendak pulang, saat mendengar para anggota Pemuda Pancasila berada di alun-alun melakukan ‘razia pembaca Pancasila’. Yang saya dengar, anggota Pemuda Pancasila akan menanyakan ke orang-orang di jalanan apakah hapal teks Pancasila.
Saya langsung meluncur ke alun-alun kota Jember. Benar saja, di sana Abdul Arif Ismail mendatangi seorang abang becak bersama sejumlah anggotanya. Abang becak tua bernama Buamin itu sempat ternganga, saat diminta menyebutkan sila-sila Pancasila. Ternyata dia hapal, meski terbata-bata.
Ismail dengan berseri-seri menyalami Buamin. Ia langsung memberikan lima kilogram beras, satu lembar bendera merah putih, dan satu plakat bergambar Garuda Pancasila. “Ini, Pak. Tolong dipasang di rumah. Pancasila ideologi kita, harus kita pertahankan terus,” katanya.
Nebrianus Kambuaya, mahasiswa asal Papua yang tengah magang kerja di Jember, sempat kelimpungan ditanya soal Pancasila. Ia sempat memegang jidatnya dalam-dalam, karena lupa bunyi teks sila keempat. “Aduh sori,” katanya, sebelum akhirnya bisa menyebut dengan cepat.
Kambuaya akhirnya mendapat hadiah bendera dan plakat bergambar Garuda Pancasila. Ia tidak menerima beras. Pesan Ismail singkat saja: “Tolong bendera merah putih dikibarkan. Jangan terprovokasi.”
Di tengah negeri yang belum sepenuhnya adil makmur, bagaimana kita bisa tidak terprovokasi? Lamat-lamat saya ingat kemudian isi teks proklamasi kerakyatan yang dibacakan Nur Hasan. Selamat Hari Kemerdekaan. (*)
18 August 2007
Labels: Nasionalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment