Di Balik Pendirian TK Gratis untuk Warga Miskin (1)
Tukang Reparasi Elektronik Itu Menjadi Kepala Sekolah
Hari-hari Rizki Tinus tak pernah senyap. Sejak 16 Juli lalu, setiap pagi jalanan kecil di depan rumahnya di bilangan Letjen Suprapto IV riuh rendah dengan celoteh anak-anak kecil. Mereka menjerit, menangis, berteriak semaunya.
Celoteh itu tak ubahnya ritual di pagi hari, dimulai sejak pukul 08.00 hingga 11.30. Anak-anak itu, rata-rata berusia 4 – 6 tahun, main jungkat-jungkit, berseluncur di atas papan sederhana, atau naik kuda-kudaan kayu yang catnya terkelupas di sana-sini.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya anggap ini bagian dari ibadah dan syiar agama,” kata Tinus, tersenyum.
Tinus hanya lelaki biasa berusia 43 tahun. Sehari-hari, ia menafkahi istri dan tiga anaknya dari usaha reparasi barang elektronik dan pembuatan gigi palsu. Namun, sejak tahun ini, ia mendapat jabatan baru: kepala sekolah TK Al Hidayah.
TK ini didirikan atas ide Ketua Majelis Wakil Cabang NU Sumbersari KH Misrawi. Pendiriannya berawal dari keprihatinan terhadap banyaknya warga miskin di lingkungan Sumberdandang kelurahan Kebonsari yang tidak bisa menyekolahkan anaknya ke TK.
Maklumlah, biaya bersekolah di TK mahal sekali. Sekali mendaftar masuk butuh duit ratusan ribu rupiah. Uang sekolah bulanannya pun minimal Rp 20 ribu. “Padahal, anak-anak miskin itu butuh belajar di TK agar bisa belajar membaca dan menulis. Sekarang untuk masuk SD, anak minimal harus mengenal huruf,” kata Tinus.
Maka, di tengah segala keterbatasan, berdirilah TK Al Hidayah. Ada delapan orang bajik yang mau menyandang dananya. Soal gedung? Bukan persoalan. Takmir musola Al-Amin setuju tempat sembahyang itu dijadikan ruang kelas di pagi hari. Warga setempat bernama Kamto setuju garasinya digunakan ruang kelas yang lain. (*)
25 July 2007
Labels: Pendidikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment