01 June 2007

Kisah Sengketa Tanah TNI dan Rakyat di Jember (2-Habis)
Warga Sudah Relakan 100 Hektare untuk Tentara

Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi sudah memutuskan bahwa warga tetap mendapat jatah tanah Sukorejo seluas 292,025 hektare. Namun, di awal orde baru, militer melakukan aksi penyerobotan tanah sepihak.

Menurut dokumen yang dimiliki Tim Lima Rakyat Sukorejo, Komandan Rayon Militer 0824/11 mengeluarkan nota pengumuman tertanggal 20 Agustus 1971 yang melarang petani melakukan kegiatan di atas tanah Sukorejo. Tanah Sukorejo dinyatakan sebagai daerah tertutup.

Sebelum mengeluarkan pengumuman itu, TNI AD sudah memasang papan pengumuman yang mengklaim tanah itu sebagai milik militer, pada 11 Agustus 1971. Tanah itu dijaga ketat, dan sejak saat itu rezim militer orde baru membungkam kisah tersebut.

Setelah lama menjadi persoalan laten, 15 Oktober 1999, Komisi A DPRD Jember, Kasdam V Brawijaya, Pemkab Jember, dan Badan Pertanahan Nasional Jember duduk bersama perwakilan rakyat Sukorejo. Mereka sepakat membentuk tim terpadu.

Tim terpadu melakukan pengukuran. Hasilnya, TNI AD sudah menggunakan 78 hektare tanah dari seharusnya 62,75 hektare. Sisa tanah lainnya sudah ditempati warga.

Pemkab bersama rakyat juga bergerak menelusuri keabsahan surat Dirjen Agraria dan Transmigrasi yang menyatakan hak rakyat atas 292,025 hektare tanah Sukorejo. Ternyata surat itu absah dan benar, dan ditegaskan dalam surat BPN pusat bertanggal 20 Desember 2000.

Namun, karena sekitar 100 hektare tanah sudah digunakan oleh militer, maka tinggal 192,7360 hektare tanah yang bisa dibagikan untuk warga.

“Warga sudah rela, karena kelebihan tanah yang seharusnya menjadi hak mereka sudah digunakan untuk kepentingan tentara,” kata Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Jember Rico Nurfansyah, Jumat (1/6/2007).

Namun, menurut Nurfansyah, ternyata militer hanya setuju mensertifkasi 92 hektare tanah. “Mereka keberatan 100 hektare disertifikasi dengan alasan itu milik TNI. Padahal itu tanah produktif,” katanya.

Hingga saat ini, warga masih terus memperjuangkan hak mereka. Tragedi Pasuruan akan dijadikan momentum untuk kembali mengingatkan semua pihak, bahwa di Jember juga ada persoalan tanah yang melibatkan militer dengan rakyat. (*)

No comments: