28 December 2006

Injil Berbahasa Madura di Jember
Meneruskan Cita-Cita Esser

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe Kabupaten Jember, masih setia dengan injil berbahasa Madura. Namun, jika tak dirawat baik, akan ditinggalkan generasi muda suku Madura sendiri.

Mulanya adalah Esser, di tahun 1880. Ia seorang evangelis, penginjil, yang datang di daerah perkebunan di Sumberpakem. Ia mendirikan sekolah dan klinik kesehatan. Orang-orang pribumi yang sebagian besar bersuku Madura banyak yang datang, dan belajar dari sang guru.

Dari sinilah kemudian Esser memperkenalkan kekristenan. Sebuah upaya yang sulit, tentu. Para buruh kebun itu adalah orang-orang buta huruf yang hanya memahami bahasa ibu mereka.

Maka, mulailah Esser menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Madura yang bertuliskan huruf Jawa kuno. "Yang diterjemahkan pertama kali adalah Injil Markus," kata Sapto Wardoyo, pendeta Gereja Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem.

Iman Santoso Puro, pendeta yang juga Ketua GKJW Majelis Daerah Besuki Barat mengatakan, setiap kali Kekristenan masuk ke dalam suatu komunitas, maka tak akan segan mengadopsi bidaya setempat. "Sepanjang adopsi itu tak bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan itu sendiri," katanya.

Hingga Esser pergi tujuh tahun kemudian, pengalihbahasaan Injil ke dalam bahasa Madura terus dilakukan. Namun, penerjemahan itu masih sebatas pada cuplikan cerita-cerita Alkitab yang berjumlah 104 cerita. "Jadi bukan Alkitab secara keseluruhan," kata Iman.

Selepas dari penjajahan Belanda, penerjemahan dalam bahasa Madura pun mengalami perkembangan. Menurut Sapto, para umat nasrani Madura lantas berkumpul dan sepakat menerjemahkan injil yang ada ke dalam bahasa mereka.

Keinginan jemaat Madura ini direspons kantor pusat GKJW di Malang. Proses penerjemahan dimulai 20 tahun silam dengan dibantu sejumlah pakar bahasa Maduram, termasuk salah satunya seorang Madura yang beragama Katolik.

Tak mudah menerjemahkan alkitab dalam bahasa Madura. Bahasa hasil terjemahan itu haruslah sederhana dan mudah dipahami, mengingat kualitas sumber daya manusia jamaah bersuku Madura masih minim.

Bahasa yang terlampau melip hanya akan membuat injil tersebut tak begitu disukai. Walhasil, injil itu pun diterjemahkan dengan bahasa yang sederhana sekali. "Bahkan, ada kata-kata yang rasanya kasar. Tapi itu harus dipakai supaya jelas," kata Sapto.

Setelah draft penerjemahan itu final, GKJW menyodorkannya kepada Lembaga Alkitab Indonesia, sebuah lembaga yang memiliki otoritas mencetak kitab suci. LAI setuju mencetaknya, namun minimal 3.000 eksemplar. Sedikitnya jumlah jemaat bersuku Madura di Jember, tak sampai 100 kepala keluarga, persyaratan dari LAI sulit dipenuhi.

Pengurus GKJW pun tak punya cukup dana untuk merealisasikan Injil berbahasa Madura itu sendiri. Untunglah, pertolongan datang dari sekelompok penginjil di Jerman yang tergabung dalam VEM. VEM sanggup membantu pencetakan Injil itu 5.000 eksemplar.

Maka cita-cita Esser pun tak jadi padam. Sebuah injil berbahasa Madura akhirnya beredar di GKJW Sumberpakem dan beberapa GKJW yang memiliki jamaah bersuku Madura.

"Injil ini memang hanya ada di daerah Besuki barat, khususnya Jember. Kalau di Madura sana malah tidak ada, meski di sana ada juga umat nasrani," kata Sapto. Dalam bahasa Madura, injil itu disebut Al Ketab.

Dalam bahasa Madura, firman itu memang terasa asing. Dengar saja Yesaya 14 yang berkisah tentang orang-orang Israel: "Abeli deri tanah buangan...Pangeran bakal belasa ka Isra'il ommuda bengsa jeriya e pele'a poleh e padaddiya kaagunganna."

Kendati terdengar asing, Sapto menilai, Injil berbahasa Madura itu sangat membantu pemahaman para jamaahnya. "Kata orang Jawa, mereka jadi lebih ngeh, lebih mengerti. Soalnya, kadang orang Madura merasa tidak nyaman kalau menggunakan bahasa lain," katanya.

Di GKJW Sumberpakem sendiri memiliki jemaat beretnis Madura di sejumlah titik: 32 KK di Sumberpakem, 31 KK di Paleran, 12 KK di Kalisat, 3 KK di Slateng.
Soal keimanan, jamaah bersuku Madura itu tak perlu diragukan lagi. Menurut Sapto, para jamaah itu sangat fanatik dan berani mengakui identitas agama mereka di depan umum.

Ada cerita soal fanatisme ini saat pendataan dan pendaftaran pemilih. Kala itu, petugas pencacah menuliskan keterangan agama protestan di kolom agama. Namun mereka malah menolak. Mereka tidak mau disebut beragama Kristen protestan, tapi beragama GKJW.

Fanatisme ini bukannya tak punya akar sejarah. Para umat nasrani Sumberpakem boleh dibilang yang membabat alas daerah tersebut. Bersama dengan berjalannya waktu, jumlah mereka bertambah di setiap generasi, dan tak semua memeluk agama Kristen. Sebagian besar generasi baru itu memilih memeluk agama Islam, karena faktor perkawinan atau memang tertarik secara spiritual.

Kendati jumlah umat Nasrani yang sudah memasuki generasi keempat itu sangat sedikit, namun hari-hari ini mereka hidup damai di antara umat Muslim. "Toleransi antara umat beragama di sini sangat bagus. Bahkan, umat muslim di sini menyebut gereja GKJW sebagai gereja adat, karena mbah-mbah mereka dulu juga beragama Kristen," kata Sapto.

Kedamaian ini tampak saat hari raya masing-masing agama tiba. Menurut Sapto, antar umat Islam dan Kristen biasa saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Suasananya mirip silaturahmi kala Lebaran.


Terjepit di antara Globalisasi dan Keterbelakangan

Beragama di antara himpitan globalisasi dan keterbelakangan pendidikan tak ubahnya berlayar di laut bergelombang. Tak pintar-pintar memegang haluan, salah-salah kapal kita karam di tengah jalan.

Hal ini dipahami betul oleh Sapto Wardoyo, pendeta Gereja Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem. Hari-hari ini, ia harus berpikir keras, agar tradisi penginjilan berbahasa Madura ini tak lekang digerus waktu. "Kalau dibiarkan, maka bisa habis. Soalnya, anak-anak muda sekarang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia," katanya.

Di lain pihak, Sapto menghadapi ketidakpedulian. Para jemaatnya lebih suka mendidik anak-anak mereka untuk bertani dan berdagang, daripada bersekolah hingga level tertinggi. Kultur ini berimbas pada sedikitnya putra daerah yang mau menjadi pendeta.

Maka, pihak gereja pun mengambil sejumlah langkah, agar anak-anak muda tetap tertarik dengan pengajaran agama berbahasa Madura. Lagu puji-pujian semakin ditambah dan diperbanyak.

Beberapa gereja di sekitar GKJW juga diajak ikut serta melestarikan penggunaan injil berbahasa Madura itu. Di Sekolah Minggu, Sapto juga berusaha menarik minat para anak muda, melalui model cerdas cermat dan pidato berbahasa Madura. Injil berbahasa Madura dibacakan setiap pekan ganjil, dan pekan genap digunakan untuk membacakan Injil berbahasa Indonesia.

Imam Santoso Puro, Ketua GKJW Majelis Daerah Besuki Barat menambahkan, selama enam tahun belakangan pihaknya mengucurkan sejumlah beasiswa kepada para jemaat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Satu semester pihak gereja mengucurkan Rp 40 juta untuk semua level pendidikan.

"Kami ingin secara tidak langsung memberikan contoh bahwa generasi mudah perlu bersekolah hingga tinggi," kata Iman. Pihaknya juga mengimbau, agar jemaat mau mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah di Sekolah Teologi di Jogjakarta.

Hasilnya: kendati membaca sinyal bahaya, Sapto optimis, dalam 20 tahun ke depan Injil berbahasa Madura masih bisa bertahan. Apalagi, generasi baru pendeta asli Madura juga sudah muncul. "Saat ini ada satu pendeta asli Sumberpakem yang bersuku Madura, dan baru lulus dari pendidikan," katanya. Pendeta ini bakal meneruskan tradisi pendeta tua bersuku Madura yang sudah pensiun. (oryza ardyansyah w)

No comments: