DEKLARASI
SERIKAT PEKERJA PERS INDEPENDEN (SPPI) JEMBER
Sejarah pers Indonesia adalah sebuah sejarah yang dipenuhi pergulatan panjang, tentang sebuah cita-cita besar: Pers sebagai pilar keempat demokratisasi. Inilah sebuah cita-cita yang berangkat dari sekian idealisme, yang meyakini bahwa pers memiliki kewajiban terhadap kebenaran. Sebuah cita-cita yang beranjak dari idealisme bahwa pers meletakkan kesetiaan tertingginya kepada kepentingan masyarakat, dan oleh karenanya pers harus menjadi pemantau kekuasaan yang gigih.
Namun, hari-hari ini pula, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pers tak pernah berjalan sendirian. Pers Indonesia hari ini adalah jurnalisme yang berwajah industri.
Bicara tentang pers tak lagi cukup bicara tentang idealisme dan cita-cita besar tentang demokratisasi. Hari ini kita juga harus bicara tentang kapital. Pers tak lagi hanya menjadi medium antara negara dan masyarakat. Tapi berada dalam lingkaran negara, masyarakat, dan pemodal.
Tiga kepentingan itu, negara, masyarakat, dan pemodal bertarung di ruang redaksi. Kadang kepentingan masyarakat dimenangkan. Tapi lebih sering pula kepentingan negara dan pemodal yang didahulukan. Di tengah pertarungan yang sengit itu, nasib jurnalis sebagai sang pembawa dan penyampai pesan tenggelam dan terabaikan.
Inilah paradoks pers Indonesia modern yang tak terpecahkan hingga kini. Kala pers dipercaya sebagai penyuara dan pembawa pesan demokratisasi, di saat yang sama, pers sebagai industri menjadi tirani bagi anak-anaknya sendiri: para jurnalis, para pekerjanya.
Para pekerja pers acap kali diperlakukan tak lebih dari sekrup yang menempel pada roda besar industri. Mereka ada hanya sebagai bagian dari prosedur mekanis yang berujung pada pemenuhan keuntungan perusahaan, yang ironisnya sering tidak bisa dinikmati, karena laba itu hanya menjadi milik segelintir orang. Pekerja pers dicekoki tentang loyalitas dan kewajiban atas perusahaan, tapi dilupakan hak-haknya, terutama hak untuk bisa hidup layak, tenang, dan sejahtera bersama keluarga.
Pekerja pers Indonesia menjelma tak ubahnya sosok Sisifus, yang dikutuk para Dewa untuk terus-menerus mendorong batu ke atas gunung tanpa tujuan yang pasti. Pekerja pers Indonesia telah bekerja keras untuk mendorong demokratisasi. Namun, semua itu seakan menjadi tak berarti, kala cita-cita utama demokratisasi yakni kemakmuran dan kehidupan yang layak sama sekali tak menyentuh kehidupan mereka.
Maka, bisa dikatakan, para pekerja pers tak hanya rentan mengalami kekerasan saat melakukan tugas-tugas jurnalistik. Lebih dari itu, para pekerja pers juga rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh perusahaan tempat mereka mengabdi. Banyak kisah menyedihkan tentang bagaimana pekerja pers bertugas tanpa ikatan kerja dan perlindungan yang jelas dari perusahaan pers. Mereka tak berdaya, dan tak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap perusahaan tempat mereka bekerja.
Kami memandang kondisi yang menekan pekerja pers saat ini harus didobrak. Sudah saatnya ada percikan-percikan semangat untuk menyatukan tekad, bahwa kondisi menyedihkan ini harus dibongkar. Dan, kami meyakini, hanya pekerja pers sendirilah yang bisa memperjuangkan hak-hak untuk hidup layak dan sejahtera. Hanya pekerja pers sendirilah yang bisa berjuang untuk menolak menjadi Sisifus dalam industri pers modern.
Berbekal keyakinan itulah, kami menyatakan satu sikap dan tekad untuk mendirikan sebuah serikat pekerja yang bernama SERIKAT PEKERJA PERS INDEPENDEN (SPPI) JEMBER. Melalui organisasi ini, kami akan berupaya memperjuangkan dan melindungi hak-hak kami sebagai pekerja di dunia jurnalistik, sekaligus memelihara keyakinan kami terhadap cita-cita besar jurnalisme yang setia terhadap kepentingan publik.
Melalui organisasi ini, kami akan memperjuangkan dan melindungi hak-hak kami melalui cara-cara yang santun, cerdas, berbudaya, dan sesuai aturan yang berlaku. Kami percaya, komunikasi adalah jalan terbaik untuk mengubah paradigma industri pers agar lebih memanusiawikan para pekerjanya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi dan meridloi langkah kami semua.
Jember, 9 Desember 2006
Kami yang mendeklarasikan:
1. Martin Rachmanto
2. Oryza Ardyansyah
3. Muhammad Muslim
4. Ahmad Hasan Halim
5. Danu Sukendro
6. Narto
7. Yakub Mulyono
8. Mukhlis
9. Eri Irawan
10. Zawawi Abdullah
11. Henricus Benny
09 December 2006
Labels: Organisasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment