Manusia itu Bernama Polisi…
Sabtu, 6/5/2006
Rombongan kendaraan Polres Jember melaju kencang dari Banyuwangi ke Jember, sore itu, 5 Mei 2006. Ada empat kendaraan: terdepan kendaraan patroli yang membunyikan sirine sepanjang perjalanan yang meminta pengguna jalan lain menepi; berikutnya dua bus Akas Asri yang mengangkut sekitar 100 petugas, dan paling belakang truk kepolisian yang mengangkut tameng dan peralatan pengamanan lainnya.
Aku bersama tiga wartawan lainnya, Muslim (Surabaya Post), Martin (Surya), dan Suwarno (Seputar Indonesia) menumpang bus terdepan bersama para polisi. Kebetulan masih ada cukup bangku kosong untuk diduduki. Kami pulang ke Jember setelah sejak Kamis lalu di Banyuwangi untuk meliput unjuk rasa besar-besaran yang bermaksud menurunkan Bupati Ratna Ani Lestari.
Aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku mencoba memejamkan mata. Tapi sulit rasanya. Padahal capek sekali. Tubuhku terguncang-guncang mengikuti irama bus yang melaju kencang. Kencang betul. Dalam waktu hanya satu jam, kami sudah berada di wilayah Jember.
Aku lihat sejumlah kendaraan dari arah berlawanan memilih untuk menepi saat berpapasan dengan rombongan kami. Sementara sejumlah kendaraan besar seperti truk dan bus harus bersedia disalip, diiringi teriakan cacian sejumlah polisi muda.
Ya, nyaris sepanjang perjalanan, para anggota polisi yang rata-rata masih berusia awal 20 tahunan itu tak henti-hentinya mengumpati pengemudi truk atau bus yang tak mau menepi.
“Jancuk…”
“Hooi minggiiiirrr!!!”
“Goblokkk !!!”
Setelah itu mereka tertawa-tawa ngakak. Terbahak-bahak. Aku tak tahu bagaimana reaksi dan wajah para sopir yang malang itu. Mungkin kaget. Mungkin juga misuh-misuh tak karuan.
“Eh jangan teriak-teriak begitu. Ada wartawan. Nanti ditulis,” teriak salah satu polisi di barisan belakang, tertawa.
“Wartawan tak boleh nulis,” sahut yang lain, ikut tertawa.
Aku dan kawan-kawan hanya nyengir melihat tingkah mereka.
***
Suatu kali, sebelum kami berangkat ke Jember, seorang polisi tua memberi tebak-tebakan kepadaku dan Martin. Saat itu kami tengah bersantai di depan masjid di dalam lingkungan Pemkab Banyuwangi. Menunggu saat untuk pulang.
“Ayo apa beda anak kecil dengan orang dewasa?”
“Orang dewasa bisa bikin anak kecil, anak kecil nggak bisa bikin orang dewasa,” sahut Martin, agak porno.
Polisi itu menggeleng. “Kalau orang dewasa, jika dikumpulkan jadi satu kelakuannya bisa jadi seperti anak kecil. Sementara jika anak kecil jika dikumpulkan jadi satu, kelakuannya ya tetap saja anak kecil,” jawabnya mantap.
“Lihat itu anak-anak. Dikumpulkan jadi satu, ada yang main kejar-kejaran, main sepak bola. Wah,” lanjut polisi itu, menunjuk pada para polisi muda usia yang tertawa-tawa tak jauh dari tempat kami berdiri.
Anak kecil. Barangkali itu kata yang tepat untuk menjelaskan tingkah laku para polisi muda usia yang berjaga di Banyuwangi. Mereka tak ubahnya ABG lainnya, suka bercanda dan merayu cewek cakep yang baru dikenal. Bahkan yang ternakal juga suka ‘plesir’ ke lokalisasi.
Yang membedakan mungkin hanyalah pakaian. Mereka berpakaian seragam coklat, dan dipersenjatai pentungan. Tubuh mereka lebih bugar dengan rambut cepak. Rata-rata mereka yang berjaga di Banyuwangi adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 2004.
Simak kenakalan mereka. Andre, seorang polisi Bondowoso bercerita bagaimana dirinya dan 29 polisi lainnya plesir ke lokalisasi Padang Bulan, Banyuwangi. “Wuuh, ceweknya ayu-ayu, mas. Putih putih,” katanya.
Semestinya, para pelacur di lokalisasi itu suka cita menyambut banyak pelanggan yang datang. Namun sial. Para polisi itu membayar sepersepuluh harga pasaran.
Saat Andre menyodorkan duit Rp 5 ribu, dengan kaget dan pasrah sang pelacur bilang, “Lho, Mas, ini Padang Bulan.”
Andre cuek saja. “Mau nggak? Mau digerebek ya?”
Siapa sangka seluruh polisi yang ngamar ternyata hanya membayar Rp 5 ribu. Padahal, biasanya para pemuas seks di Padang Bulan dibayar Rp 50 ribu untuk melayani nafsu pelanggan. Itu pun short time. Uang Rp 5 ribu sudah tak masuk hitungan. Apalagi, para polisi itu masuk pukul 19.00 dan baru keluar kompleks jam 03.00 dini hari.
Tapi para polisi sableng itu benar-benar cuek bebek. “’Barang’ ini milik Kepolisian Republik Indonesia,” kata Andre, tertawa.
Para polisi belia itu memang tak ubahnya anak remaja lainnya di dunia. Saat sedang menanti pulang ke Jember, mereka masih bisa melancarkan rayuan ke dua cewek manis yang tengah duduk seperti menanti sesuatu.
Istilah Jawanya, diglenik. Sekitar 15 menit, dua polisi muda sudah menghilang bersama dua cewek itu.
Tinggallah seorang kawannya menggerutu. “Anak itu payah, Mas. Tempo hari dia kena sanksi karena ‘mbeginikan’ pacarnya. Lha dia sendiri sudah kawin dengan anak Bondowoso. Istrinya hamil tujuh bulan,” kata sang kawan menunjuk salah satu polisi muda yang pergi bersama salah satu cewek tadi.
Kata dia, persoalan selesai setelah sang polisi muda memberikan kompensasi Rp 35 juta kepada sang pacar. Kendati begitu, sang polisi muda tetap dikenai sanksi penundaan kenaikan pangkat selama dua periode. Dua periode berarti sama dengan 12 bulan. Namun bukan rahasia lagi, polisi muda itu bisa tak naik pangkat selama bertahun-tahun. Untuk bisa naik pangkat dan lepas dari sanksi, ia harus mengurusnya ke Polda. Dan itu jelas makan biaya tak sedikit.
Tingkat kedisiplinan dan emosional para polisi muda ini juga rendah. Begitu unjuk rasa menentang Bupati Ratna Ani Lestari selesai Kamis siang, para polisi muda ini pun plesir di sekitar kantor Pemkab. Mereka kongkow di warung-warung dan menganggap tak akan ada demo susulan.
Sekitar pukul 19.30, sirine dari kendaraan taktis (rantis) menjerit-jerit: tanda adanya bahaya. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Saat itu, sejumlah anggota DPRD Banyuwangi dengan berjalan kaki menuju kantor Pemkab untuk menemui para ulama yang menanti di aula Minak Jinggo. Mereka hendak menyampaikan hasil sidang istimewa DPRD yang merekomendasikan pengusulan pencopotan Ratna ke Mendagri.
Massa yang berteriak-teriak mengiringi para anggota DPRD membuat aparat keamanan kelabakan. Mereka mengira ada demo lanjutan. Tampak betul aparat dibayang-bayangi ketakutan kerusuhan Tuban.
Sirine rantis membuat sejumlah polisi muda yang tadinya kongko-kongko atau berjalan-jalan panik. Mereka berlarian menuju kantor Pemkab. Sebagian tidak bersepatu dan hanya memakai kaos coklat.
Pintu gerbang tertutup. Malam gelap. Semua panik. Polisi membuat barikade bersaf-saf dengan pasukan yang masih tinggal di Pemkab. Saf paling belakang adalah pasukan TNI yang sudah menenteng senapan.
Para polisi muda itu pun mengambil jalan pintas dengan melompati pagar. Tapi sial, tepat di bawah pagar itu terdapat besi cor tajam. Kira-kira empat atau lima aparat tertembus kakinya, karena tak hati-hati.
Di dalam, kantor Pemkab, aku benar-benar tak bisa menyembunyikan tawa. Tampak sejumlah polisi muda tergesa-gesa berpakaian, begitu tahu ada sirine. Mereka asal comot pakaian, sehingga ada yang memakai pakaian teman. Untung jika pakaian temannya itu satu ukuran. Ada yang tertukar lebih kecil.
Setelah kejadian tersebut, malam itu juga sejumlah polisi muda yang tak siap ‘tempur’ langsung disetrap. Mereka dikumpulkan dan disuruh push up di halaman kantor Pemkab.
“Tadi malam tidak salah sebenarnya kalau polisi mukul mereka. Demo malam hari kan tidak diizinkan,” sahut Andre yang tampak kesal dengan kedatangan mendadak para wakil rakyat itu. Aku tersenyum kecil. Tidak menjawab.
***
Bus sudah masuk Jember. Aku, Martin, Muslim, dan Suwarno berdiri menuju pintu keluar. Kami memberi kode kepada sopir untuk berhenti di depan markas CPM.
“Tidak ada yang boleh turun. Wartawan juga turun di Polres,” teriak salah satu polisi muda.
“Mudun di Polres ae,” teriak lainnya.
Kami tersenyum. Keluar dari pintu bus, kami melambaikan tangan kepada mereka. Kepada manusia yang bernama polisi… (*)
08 May 2006
Labels: Pengalaman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment