Anteve dan Eksklusivitas
Oleh: Farid Gaban
Dari milis Komunitas Pantau
ANTV dan Karni Ilyas merindukan liputan eksklusif, momentum baru untuk
me-relaunch dan me-rebrand stasiun televisi milik Keluarga Bakrie yang
kini sebagian sahamnya dibeli raksasa media Rupert Murdoch. Salah satu
liputan eksklusif mutakhirnya adalah "penggrebegan teroris" di
Wonosobo.
Saya ada di lokasi kejadian beberapa jam setelah penggerebegan (sedang
kebetulan pulang ke kota kelahiran saya itu). Melihat lokasi
peristiwa, saya segera bisa menyimpulkan betapa ANTV memperoleh
privelege sangat besar dalam liputan itu. Dan segera pula muncul
pertanyaan di kepala saya: apa yang telah dan akan diberikan oleh ANTV
kepada pihak kepolisian sebagai imbalannya?
Rumah "sarang teroris" terletak di pinggir jalan utama yang
menghubungkan Wonosobo dengan kota-kota lain seperti Temanggung,
Magelang, dan Purworejo. Bus-bus besar jurusan
Purwokerto-Wonosobo-Semarang melewati jalan itu.
Mobil studio-mini ANTV (lengkap dengan satelit) persis parkir di
seberang jalan, yang membuat kameraman stasiun televisi ini paling
strategis mengarahkan kamera ke rumah kecil tanpa pagar itu. Mobil itu
sudah datang pada malam hari ketika banyak wartawan cetak dan stasiun
televisi lain masih terlelap.
Bahkan jika para wartawan lain tahu, mereka takkan bisa memperoleh
gambar yang sama, sebab jalan dari arah Magelang maupun dari arah
Wonosobo sudah diblokir sejak malam hari. Dan segera setelah
penggerebegan usai, rumah itu tak hanya dikelilingi "police line" tapi
dipagari dengan tripleks yang tidak memungkinkan wartawan yang datang
kemudian memiliki pandangan bebas ke rumah itu, apalagi memasukinya.
Sebuah kerjasama yang manis antara satu stasiun televisi dan aparat
kepolisian: gambar eksklusif dan berita besar. Jika semua mulus,
berita penggerebegan itu akan menjadi berita terbesar sepanjang hari
dan keesokan harinya. Tapi, sayang, di luar kendali mereka, marak
kerusuhan besar di Tuban yang membuat berita Wonosobo ini tidak
terlalu menonjol.
Bagaimanapun, sekali lagi, ANTV dan Karni telah berhasil menunjukkan
kekuatan scoop dan gambar yang eksklusif.
APA IMBALANNYA?
Meski mendapat liputan eksklusif, ANTV dan Karni Ilyas kehilangan daya
kritis terhadap obyek liputannya. Itu merupakan keniscayaan (atau
konsekuensi logis) dari metode jurnalisme yang mereka terapkan.
Sangatlah bisa dipahami jika setiap media, setiap stasiun televisi,
berusaha mendapatkan liputan eksklusif. Kebutuhan seperti ini terutama
mencolok di era ketika media makin menjadi industri, ketika persaingan
mengeras dan ketika rating menjadi sesembahan baru.
Salah satu cara paling ampuh dalam mendapatkan eksklusivitas adalah
memelihara hubungan baik serta mengail bocoran dari "insider" (orang
dalam). Dan dalam soal seperti ini, Karni memang istimewa. Dia sudah
menunjukkan reputasinya ketika menjadi redaktur hukum Majalah Tempo,
ketika membesarkan Majalah Forum (Keadilan), ketika di SCTV dan ketika
kini di ANTV.
Tapi, hubungan baik dengan insider tidaklah gratis; harus ada yang
dibayarkan, harus ada yang direlakan: obyektifitas serta daya kritis.
EMBEDDED-JOURNALISM
Sesungguhnya, dalam liputan "penggerebegan teroris" di Malang dan
Wonosobo, praktek yang dilakukan ANTV adalah praktek
embedded-journalism (atau jurnalisme-melekat).
Meski sedikit lebih canggih, ini tak ada bedanya dengan praktek
wartawan Buser atau Sergap yang kadang ikut rombongan polisi
menggerebek cafe atau tempat perjudian.
Tak jauh beda pula dengan para wartawan yang ikut rombongan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam lawatan-lawatan ke luar negeri, atau
wartawan CNN dan FOX TV yang meliput konflik di Irak dari sudut
pandang tentara Amerika.
Embedded-journalism memang kadang tak terhindarkan. Namun, ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan masak sebelum melakukannya:
1. Kita tidak semestinya mencantolkan diri pada salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik, atau pada pihak yang punya kepentingan
terhadap suatu perkara/liputan.
2. Eksklusivitas dan keamanan wartawan saja tidak bisa menjadi dalih
bagi wartawan untuk mencantol kepada salah satu pihak yang punya
kepentingan dalam sebuah perkara. Dalih tetap harus diletakkan pada
kepentingan publik untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.
3. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, wartawan perlu membuat
serangkaian mekanisme yang menjamin agar liputan sepihak ini bisa
dinetralisasikan dan dibuat imbang.
4. Jika embedded-journalism tak bisa dihindari, dan keberimbangan
sulit diterapkan, wartawan perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya
bahwa liputan yang dibuat dengan teknik embedded itu memang liputan
sepihak sehingga pembaca atau pemirsa tahu persis posisi liputan itu,
yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang.
LIPUTAN DI WONOSOBO
Kembali ke liputan ANTV di Wonosobo, yang pertama-tama dilupakan
stasiun televisi itu adalah bahwa polisi bukanlah pihak yang netral
dalam kasus terorisme.
- Polisi menjadi satu pihak yang bertikai dalam "war on terror"
- Polisi punya kepentingan untuk memamerkan sukses dalam "perang
melawan teror"
- Datasemen anti-teror memperoleh sumbangan dana signifikan dari
Pmerintah Amerika
- Beberapa perwira tinggi kepolisian desperate untuk mengalihkan
perhatian dari sorotan tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka.
- Aparat kepolisian punya kepentingan untuk membuat Abu Bakar Baasyir
tetap berada dalam penjara, meski keterlibatannya dalam aksi teror
tidak terbukti dalam pengadilan. Setiap ada perdebatan tentang
pelepasan Baasyir, yang disebut imam Jemaah Islamiyah, hampir selalu
disertai munculnya pola yang khas: penangkapan dan pengegrebekan
"teroris".
KEJANGGALAN DAN MISTERI
Kecuali ANTV, tidak ada wartawan lain (termasuk saya), yang punya
posisi dan akses yang bagus dalam liputan ini. Tapi, sejauh yang bisa
saya lihat dari rekaman liputan, bahkan ANTV tak bisa masuk ke rumah
sarang teroris, apalagi mengetahui kejadian sebenarnya di dalam rumah
itu ketika terjadi penggerebegan (posisi kamera ANTV hanya di seberang
jalan).
Bagaimanapun sudah jelas ANTV memiliki posisi dan akses yang paling
bagus dalam liputan ini dibanding wartawan manpun. Namun menurut saya
gagal dalam meliputnya secara komprehensif (apalagi berimbang),
sehingga menyisakan sejumlah kejanggalan dan misteri tak terjawab.
1. SEBERAPA SIGNIFIKAN PERISTIWA INI?
Dari dua teroris yang terbunuh dan dua lainnya yang ditangkap, tidak
satu pun ada dalam poster buron polisi yang disebarluaskan di seantero
Indonesia (akhir pekan ini saya ada di Padang dan melihat
poster-poster polisi itu di Bandara Internasional Minangkabau).
2. BENARKAH ADA BAKU TEMBAK?
Meski narasi presenter ANTV mengatakan telah terjadi tembak-menembak
pada saat penggerebegan, rekaman liputan langsung ANTV itu sendiri,
sejauh yang saya putar berulangkali, tidak menunjukkan ada perlawanan
dari dalam rumah.
Beberapa hari setelah penggerebegan, Koran Tempo menulis berita yang
meragukan adanya baku-tembak. Orangtua salah satu tersangka yang tewas
mengatakan kepada koran itu bahwa tidak ada bekas luka tembakan pada
jenasah anaknya.
3. MUSTAHILKAH MENANGKAP TERORIS HIDUP-HIDUP?
Menangkap hidup tersangka teroris sangat penting untuk proses
pengadilan yang bisa mengungkap misteri gerakan terorisme selama ini.
Tapi, Kapolri mengatakan mereka adalah para teroris berbahaya yang
harus digerebeg dengan kekerasan, yang tak terhindarkan menyebabkan
kematian para tersangka.
Keterangan Kapolri kurang masuk akal dilihat dari pernyataan polisi
yang lain. Pejabat kepolisian mengatakan telah memonitor rumah itu
selama beberapa pekan (bahkan tiga bulan). Berita di beberapa koran
juga menunjukkan, kepolisian mengaku sudah tahu jauh hari sebelumnya
bahwa memang tidak ada Noordin Top ada di rumah itu.
Rumah itu bersebelahan dengan rumah yang ditempati agen Bus Damri. Tak
ada pagar pemisah antara dua rumah. Sugiyono, salah satu karyawan agen
Damri, mengatakan sudah lama mengenal para penghuni rumah "teroris".
Sugiyono juga mengaku sering masuk rumah itu untuk meminjam WC dan
kamar mandi para "teroris".
Mudah untuk menyimpulkan bahwa ini rumah yang terbuka bahkan bagi
orang asing. Bukankah dengan metode sederhana, polisi bisa
menyelundupkan orang ke situ dan membekuk "para teroris" hidup-hidup?
4. MENGAPA TIDAK DIBEKUK MALAM HARI?
Kamar yang sering diinapi Sugiyono terletak di lantai dua agen Bus
Damri. Kamar ini merupakan tempat yang strategis untuk menembak dan
melempar granat ke rumah sebelah. Sehari sebelum penggerebegan, polisi
meminta Sugiyono pergi. Beberapa anggota datasemen anti-teror
menggantikan posisinya.
Bukankah polisi bisa menggerebeg rumah itu pada malam hari dan
membekuk para penghuninya dengan potensi kematian minimal? Bukankah
mereka punya alat infra-merah yang canggih?
[Tapi jelaslah kamera ANTV tak bisa bekerja di malam gelap.
Penggerebegan dilakukan setelah matahari terbit sehingga ANTV bisa
meliputnya secara "live"].
KESIMPULAN
ANTV telah mendapatkan gambar eksklusif tapi lupa akan kewajibannya
untuk meliputnya secara komprehensif, kehilangan daya kritis untuk
mempertanyakan kejanggalan, dan bahkan (mudah-mudahan saya keliru)
terjebak dalam konspirasi besama polisi untuk menyesatkan publik dalam
kasus terorisme ini.
ANTV mendapatkan liputan eksklusif yang sangat dibutuhkan untuk
menancapkan posisinya di tengah persaingan ketat stasiun televisi.
Tapi, siapakah yang membayar?
Pada sore hari setelah pengerebegan, ANTV mencoba membuat liputan
lebih komprehensif, dengan menyertakan kilas-balik aksi teror di
Indonesia. Tujuannya barangkali memberi konteks pada peristiwa pagi
harinya. Namun, konteks yang diberikan inipun tetap one-sided, yakni
cerita terorisme versi polisi (yang sebagian besar bersifat
"unverified" atau "yet-to-be-verified").
Semua tersangka di rumah itu dikatakan terlibat dalam berbagai aksi
teror yang terpisah-pisah dan dalam periode yang berbeda (Bom Marriot,
Bom Kuningan, Bom Natal), namun kini dibingkai dalam sebuah simpul
yang satu: Noordin M. Top (dulu Azahari).
Liputan sore menggiring para pemirsa untuk memahami dan mengerti
kenapa polisi "terpaksa" mengeksekusi mati para tersangka teroris
tanpa pengadilan.
Pemirsa juga diajak untuk tidak punya perasaan dan empati terhadap
keluarga orang-orang yang disangka (belum terbukti) teroris ini. Salah
satu yang ditangkap sehari-hari berjualan jagung rebus, beranak empat,
satu diantaranya lumpuh.*
08 May 2006
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment