Pseudo Pluralisme Wartawan Jember
25/04/2006
Aku tak percaya dengan gembar-gembor pluralisme wartawan Jember. Menurutku, wartawan di Jember masih sangat sektarian. Andaikan mereka mengatakan pluralisme, maka yang ada hanyalah pseudo pluralisme, pluralisme semu: pluralisme yang baru diteriakkan jika menguntungkan diri sendiri. Pluralisme diskriminatif.
Ada banyak contoh. Cobalah bertanya dengan salah satu wartawan Soka Radio, mengapa tidak ada mantan aktivis HMI yang bekerja sebagai wartawan di sana. Maka akan diterima jawaban enteng: “Di sini, jika ada wartawan mantan aktivis PMII mengundurkan diri, maka gantinya adalah mantan aktivis PMII juga. Jika GMNI, juga harus GMNI.”
HMI? Tidak ada tempat. Mantan aktivis HMI, sebagus apapun kualitasnya dalam bidang jurnalisme, tak akan bisa masuk sebagai wartawan Soka. Ironisnya, para mantan aktivis ini yang gembar-gembor soal pluralisme.
Lalu lihatlah Prosalina FM. Sebelumnya, saat direktur siaran dan pemberitaan dipegang Mas sopo seeee kocomotan, radio itu warna-warni betul. Ada Honest, aktivis PMII, ada Isma aktivis HMI, ada Dwi aktivis HMI, ada Dawud yang secara kultur adalah NU/PMII. Ada Rizki yang netral. Tapi begitu, mas itu hilang, anak-anak HMI ikut menghilang.
Aku tidak tahu kenapa anak-anak HMI hengkang dari Prosalina. Tapi yang jelas Mas iki tidak berbendera mana pun. Bahkan dalam suatu diskusi, dia bilang, mengajak Rizki pindah ke Soka, dan membangun sebuah radio dengan kultur beragam: ada anak HMI, PMII, GMNI, dan sebagainya. Semua bisa masuk asal bisa kerja. Dari sini aku paham, ada sesuatu masalah yang terkait dengan ‘warna’ di Prosalina.
Warna Prosalina yang secara politis NU-minded (ini juga bisa diartikan NU dan segala afiliasinya, termasuk PKB dan PMII) semakin kuketahui, setelah aku mendengar percakapan orang-orang PKB di ruang fraksi.
Orang-orang PKB bangga betul karena radio Prosalina berpihak pada suara mereka yang diklaim sebagai suara Nahdliyyin. Prosalina mereka anggap sebagai ‘orang kita’.
Kita dan mereka. Dalam dunia jurnalisme Jember, demarkasi seperti itu digunakan sebagai paradigma dalam memandang sesuatu. Maka janganlah heran, jika kemudian BEST FM, radio Pemkab yang kini sudah dibekukan, dipandang sebagai radio berwarna HMI. Pasalnya di sana ada Aziz, Nino, Amrullah, atau Nursalim (dua nama terakhir hengkang jadi wartawan televisi).
Aku tidak tahu apakah wartawan BEST diterima berdasarkan masalah warna bendera ini. Yang jelas di sana sempat ada Sigit, Ical, Martin, Danu, yang semuanya bukan orang HMI.
Lalu mereka menuduh Radar Jember sebagai sarang anak-anak HMI, karena di sana ada Winardi, Barid, aku, Narto. Rasyid dan Danu Sukendro dianggap anak HMI. Bahkan, dari Dawud, baru aku tahu bahwa ada isu untuk masuk Radar harus punya kartu tanda anggota HMI.
Bagiku, paradigma seperti itu benar-benar konyol dan bego. Paradigma itu terlampau menyederhanakan masalah dan cenderung hitam putih. Paradigma yang hanya didasari penyakit kekanak-kanakan (infantile disease).
Mulanya aku tak terlampau hirau dengan semua hal kekanak-kanakan itu. Dalam pandanganku, seorang yang sudah ma’rifat dalam urusan berorganisasi, sudah melampaui sekat-sekat organisasi itu sendiri, tanpa harus mengingkari identitasnya. Aku aktivis HMI. Tapi segala lakuku sudah melampaui apa yang didefinisikan sebagai nilai-nilai HMI, karena sesungguhnya nilai-nilai HMI dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan seperti kemanusiaan, ketuhanan, kebenaran ada pada organisasi lain seperti PMII, GMNI, atau LMND sekalipun.
Oleh karenanya, aku tak terlalu risau ketika mengambil sikap politik berseberangan dengan Bupati Samsul Hadi Siswoyo yang (dengan paradigma sektarian itu) didefinisikan sebagai kelompok HMI. Bagiku, meski Samsul didukung klan HMI seperti Bustami, Winardi, Isma, atau lainnya, ia tetap harus dilawan jika korup.
Aku juga tak malu-malu mendukung Halim yang aktivis PMII untuk menjadi anggota Panitia Pengawas Pilkada. Bagiku, Halim layak menjadi Panwas. Itu saja.
Aku juga tak segan berpihak pada Djalal dalam pilkada, meski dia dikelilingi orang-orang PMII seperti Sandi, Afton, dan lain-lain. Bagiku, perjuangan dan perubahan Jember yang lebih baik dengan jalan tidak memilih lagi Samsul sebagai bupati, tidak mengenal tembok sektarian.
Tapi rupanya, aku terlalu naif karena berharap dan menilai semua wartawan di Jember satu sikap denganku. Sebagian besar wartawan Jember, terutama dari kultur PMII, ternyata mengidap pseudo pluralisme. Pluralisme hanya dipancangkan untuk diri mereka sendiri, dan bukan untuk orang lain.
Kekecewaan terbesarku adalah kepada Mas Samsul. Siang itu, ia berkata kepadaku dan Muslim, “Kita harus merebut PWI tahun ini juga…”
Aku setuju dengannya. Sejak awal visi dan misi kami sama, yakni menyelamatkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia Jember dari bodrek yang semakin meresahkan. Tapi lalu aku terkejut dengan lanjutan kata-kata Mas Samsul.
“…karena tiga tahun ke depan Shodik (wartawan Radar Jember) akan berusaha merebut PWI dengan menggunakan sentimen HMI FISIP…”
Aku marah. Apa kaitannya persoalan PWI dengan bendera HMI? Aku mencoba menerangkan bahwa peta di Radar Jember tak sesederhana yang diucapkan Samsul. Di Radar, masalah bendera tak masuk hitungan.
Dan itu benar. Sewaktu aku masih di Radar, bersama Narto, aku memilih bergabung dengan Rasyid, Hari, Kendro yang bukan HMI untuk menentang general manager Andung Kurniawan yang didukung Win (aktivis HMI), karena terlalu berpihak kepada Samsul sehingga cenderung tidak kritis.
Radar adalah institusi pers yang paling bebas dari pertimbangan bendera saat menentukan wartawan. Dawud boleh bilang, untuk masuk Radar harus punya KTA HMI. Tapi kenyataannya Radar paling berwarna dibandingkan Soka atau Prosalina yang diklaim para ‘aktivis pluralisme’ itu:
Andung (mantan aktivis PMII), Rasyid (netral dan pernah berbenturan dengan HMI sewaktu kuliah), Hari (aktivis KAMMI dan PKS), Hadi (bukan siapa-siapa), Kendro (netral), Narto (HMI), Win (HMI), Barid (HMI), Wahyudi (Menwa), Totok (bukan siapa-siapa).
Mau dilanjutkan? Dzikri sang layouter (mantan aktivis IRM), Aji sang copy editor (anak UKM kesenian). Dulu ada Agung Bottom, layouter kedua. Dia anak pecinta alam yang setiap dalam pemilu kampus selalu berseteru dengan HMI di Fakultas Pertanian. Dia keluar dari Radar setelah peristiwa mosi tidak percaya tehadap Andung Kurniawan.
Aku kecewa dengan Samsul dan wartawan di Jember karena masih terkotak dengan paradigma tolol seperti itu. Aku marah, karena tudingan seperti Radar hanya bisa dimasuki klan HMI sama saja menyudutkanku. Dengan meyakini seperti itu, Samsul sama saja merendahkan kemampuan jurnalistikku, karena itu berarti aku diterima di Radar karena persoalan bendera, bukan kapasitasku.
Aku muak! Tiba-tiba wajah Wino terbayang di mataku. Aku teringat masa-masa di UKPKM saat aku ditusuk dari belakang atas nama pluralisme oleh Wino. Aku muak! (*)
27 April 2006
Labels: Jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
sori kalo aku telat mbaca blog ini. terus terang aku bangga punya radio prosalina, karena aku arek nJEMBER. cuman, kalo aku baca postingan yg ini, rasanya naif sekali kalo mesti ada sekat2 organisasi seperti itu. yg saya khawatirkan, pelayanan prosalina ke masyarakat akan ditunggangi kepentingan yang pure pengabdian dumateng rakyat.
Saya bukan orang2 organisasi yg disebutkan, saya juga bukan orang kuliahan. Tapi, begitu kita memutuskan untuk bekerja secara profesional di satu dunia kerja, ya saya hanya punya satu warna. Ya perusahaan itu. Dalam hal ini ya Prosalina.
Yg penting sekarang Mas, ngabdi sepenuh hati sama masyarakat Jember. Cukup itu saja. Saya nggak tau pasti kondisi masyarakat Jember saat ini, karena saya tinggal di luar Jember, tapi KTP-ku jek Jember. Tapi saya yakin masyarakat Jember butuh pengabdi yang pure ngabdi, nggak pake tendensi jabatan atau yg lain.
Semoga perjuangannya bisa lanjut ya Mas.
Post a Comment