30 May 2006

Beritajatim Dotkom
27/5/06

Malam sudah larut, saat bus yang aku tumpangi memasuki terminal Purabaya. Badanku menggigil. Aku demam sejak berangkat dari Jember. Aku tidak tahu sakit apa. Aku berharap, aku cuma kecapekan.

Hari itu, Jumat malam 28 April 2006. Siang hari aku mendapat pesan pendek dari Hari Tri Wasono, rekanku mantan Suara Indonesia di Kediri. Isinya kira-kira: “Kamu ditunggu di Surabaya. Ada rapat dengan reporter seluruh Jatim di kantor.”

Hari lantas melayangkan SMS berisi alamat Beritajatim.com. Aku kenal daerah itu: Jalan Ngagel Jaya Utara 170. Itu dekat sekolahku saat kanak-kanak.

Perkenalanku dengan Beritajatim.com berawal dari Hari. Dulu ia pernah menyarankanku agar mendaftar ke Beritasurabaya.com. Ini situs berita online macam Detik.com. Namun jangkauan beritanya (news area) lebih spesifik untuk daerah Jatim.

Entah kenapa, kemudian Beritasurabaya.com bubar. Lalu muncul Beritajatim.com. Hari bilang, beberapa orang Beritasurabaya.com masuk sana. Aku tidak tahu siapa yang memodali. Tapi, oleh Hari, aku disarankan melamar saja.

“Ada lowongan reporter untuk wilayah Jember. Coba kamu klik,” kata Hari. Ia mengaku kenal Uglu, wartawan Detik.com yang ikut menggawangi situs berita baru itu.

Aku lantas iseng mengirimkan lamaran ke email Beritajatim.com. Aku cantumkan juga nama Hari sebagai referensi.

Selang beberapa waktu kemudian, aku bertemu dengan Kuntoro saat meliput pertandingan Persid versus Persebaya di Notohadinegoro. Kuntoro adalah mantan wartawan olahraga Suara Indonesia. Setelah bubar ia sempat pindah ke Harian Jatim Mandiri.

“Tapi aku tidak kuat. Cuma bertahan tiga hari. Lalu aku minta mundur,” kata Kuntoro. Menurut dia, kerja di Jatim Mandiri melelahkan. Ini koran siang. Jadi bekerjanya acap lembur sampai malam.

Dari Kuntoro, aku memperoleh nomor ponsel Uglu. Saat itu juga aku mengontak Uglu untuk menanyakan masalah lamaran yang kukirim. “Kamu sudah ngirim? Ini sedang dibahas oleh perusahaan,” katanya.

Lalu tak ada kabar. Sampai pada Jumat siang itu, Hari melayangkan SMS yang menyuruhku untuk pergi ke Surabaya.

Aku berangkat dalam keadaan menggigil. Di Surabaya, pukul 23.30, aku tidak langsung beristirahat. Dengan kepala yang pusing, aku meluncur ke Ngagel. Sempat putar-putar mencari alamat itu.

Di sana, Hari sudah menunggu bareng Udin, mantan wartawan Suara Indonesia yang kini bekerja di Surabaya Post. “Yak opo kabarmu, Ndeng?” tanyaku pada Hari dan Udin.

“Kamu tetap saja. Kisut seperti dulu,” sahut Udin.

“Katanya kamu mau diambil menantu sama juragan koran,” jawabku. Udin ngakak.

Aku diperkenalkan dengan Uglu. “Dari Jember langsung?” tanyanya.

“Ya. Tadi mampir ke Rungkut. Aku asli Surabaya,” jawabku.

“Kamu sudah ketemu dengan Agus?”

“Belum.”

Uglu lalu menunjuk seorang pria muda yang berpenampilan kalem yang sedang duduk lesehan di serambi kantor bersama sejumlah orang. Mereka tampaknya membahas sesuatu yang serius.

Agus tersenyum melihatku. Aku tak menyangka dia adalah pemimpin redaksi Beritajatim.com. Penampilannya yang kalem, mengingatkanku dengan MS Rasyid, pemred Radar Jember yang juga masih belia itu.

Kata Hari, Agus mantan wartawan Harian Surya. Ternyata sebagian awak Beritajatim.com adalah mantan anak-anak Surya. Di sana ada Teddy yang dulu biasa ngepos di Polda Jatim. Aku dengar juga ada Prijanto, mantan wartawan Surya di Jember.

“Pri sebenarnya ingin memasukkan Anam. Dia nggak tahu, aku merekomendasikan namamu,” kata Hari, saat kami kongko-kongko di warung kopi, setelah pertemuan dengan Agus.

Aku tak berkomentar banyak. Aku hanya heran, kenapa hidupku selalu bersinggungan dengan Anam. Di MAP bersinggungan. Kini di Beritajatim.com secara tak langsung juga begitu. Rasanya aku seperti orang yang sedang berebut lahan rejeki dengan Anam.

Agus memberi penjelasan sendikit tentang media dotkom. “Nanti kita punya tiga deadline berita, jam 12.00, jam 16.00, dan jam 19.00. Kalau di lapangan ada kejadian menarik yang harus segera diberitakan, missed call saja aku. Nanti kutelpon balik, langsung report by phone,” katanya.

“Kurangi berita Dewan yang tang-ting-tung. Berita seperti itu tidak dibaca orang. Yang baca hanya orang Dewan sendiri.”

Berita tang-ting-tung adalah istilah lain untuk talking news alias berita cangkeman. Talking news adalah jenis berita yang tidak menyajikan fakta kejadian, tapi fakta yang disusun atau direkonstruksi berdasarkan opini narasumber. Jadinya, fakta yang muncul acap semu.

“Kirimkan juga berita soal potensi daerah. Segmen kita berbeda, karena internet digunakan kalangan tertentu. Kriminal kecil-kecil nggak usah dikirim.”

Agus lalu bicara soal gaji. “Sementara ini kami cuma bisa menggaji Rp 700 ribu per bulan. Bagaimana?”

“Tidak masalah, Mas,” sahutku.

Aku bercerita, bagaimana selama tidak menjadi wartawan SI, aku masih turun lapang. Bahkan ikut meliput banjir Panti dan menyuplai tulisan buat kawan-kawan wartawan lain. Istilahnya, kantor berita berjalan. “Badanku tidak enak kalau tidak liputan,” kataku.

Agus tersenyum. “Nanti akan diberi sedikit pengganti uang rental juga,” katanya.

“Bagaimana dengan Jatim Mandiri? Tidak apa-apa jika kamu ketahuan merangkap,” tanya Agus. Agaknya, ia sudah diberitahu Hari soal aku yang sudah bekerja dengan Jatim Mandiri.

“Tidak masalah. Kalau ditanya ya dijelaskan,” kataku.

Malam itu juga aku difoto untuk press card. Kontrak yang tak terlampau njelimet ditandatangani malam itu pula.

Sebelum pulang aku cangkruk sebentar dengan Hari dan Udin. Hari menanyakan soal tidak jadinya aku ke Surabaya Pagi. Aku jawab, bukan aku yang tidak mau. Tapi Tito sendiri yang menyuruhku menunggu. “Ya sudah,” jawabku.

Lalu kami bicara soal prospek media massa. Menurut Hari, Jatim Mandiri tidak akan bertahan lama. Ternyata kesepakatan investasi dengan Grup Surabaya Pagi milik Tatang masih belum ada. Jatim Mandiri masih terus mencari investor.

Soal Beritajatim.com, Hari juga pesimis bisa bertahan lama. Ia tidak menjelaskan lebih jauh siapa investor Beritajatim.com.

Aku tak terlampau hirau dengan ramalan Hari soal Jatim Mandiri dan Beritajatim.com. Pengalamanku di Radar, di Suara Indonesia, sudah memberi banyak pelajaran tentang bagaimana harus berharap dan bertahan di media massa.

Boleh jadi Hari benar. Tapi bisa saja Hari salah. Intinya, tak ada yang tahu apa yang terjadi berikutnya. Satu-satunya solusi, jalani saja apa yang ada sekarang. Aku hanya bersyukur, menjelang kelahiran anakku yang pertama, Allah memberiku banyak jalan.

Pukul 02.30 dini hari. Aku pamit mundur. “Sampai jumpa lagi,” kataku kepada Hari dan Udin. Lalu sepedaku menghilang di kegelapan malam. (*)

No comments: