18 April 2006

PENGAMEN
14 April 2006

Jalur bus Situbondo – Jember tak selamanya bersahabat dengan para pengamen remaja. Saat aku dalam perjalanan pulang dari Situbondo ke Jember, sepasang anak muda tanggung menenteng gitar bolong berdiri di tepi jalan, melambaikan tangan kepada bus yang aku tumpangi.

Bus berhenti. Sepasang anak muda itu masuk lewat pintu belakang. Usia mereka tak lebih dari 17 tahun tampaknya. Mereka kelihatan ragu, saat kondektur memerintahkan naik. Begitu di dalam bus, salah satu anak muda itu langsung mengambil tempat di salah satu bangku kosong. Wajahnya masih tampak ragu.

Sang kondektur lalu menggerakkan tangan, memberikan kode kepada mereka untuk membayar.

“Pak, mau ngamen,” jawab anak muda yang menenteng gitar sembari berdiri. Nadanya memohon, memberitahu dengan suara pasrah.

Wajah kondektur itu tampak gusar. “Aah, ayo turun, turun,” Ia mengetuk kaca pintu keras-keras, kode agar sopir menghentikan bus. Pintu terbuka dengan kasar. Kondektur mendorong tubuh sepasang remaja itu dengan sikap tak sabar.

Bus berjalan lagi. Kondektur itu masih menggerutu dengan suara tak jelas. Kesal betul tampaknya dia.

Lalu bus melaju dekat pasar yang tak jauh dengan balai desa Suger. Bus berhenti, ada calon penumpang. Calon penumpang itu dibiarkan masuk lewat pintu belakang, namun kondektur itu dengan kasar mencegat langkah seorang anak remaja pula yang hendak masuk. Anak itu menenteng gitar kayu.

“Tak usah. Penyakit,” dengus kondektur.

Bus berjalan lagi. Tak sampai seratus meter, masih di daerah pasar, bus kembali berhenti. Kali ini yang masuk seorang pria. Usianya sekitar 30 tahunan. Ia menenteng gitar.

Wajah kondektur tampak melunak. Sang pria itu tersenyum. Bus berjalan lagi.

“Anak-anak kecil tadi ada yang mau naik. Aku suruh turun. Bukan yang asli ini,” kata kondektur.

Sang pria penenteng gitar celingak-celinguk menoleh ke arah belakang, seolah-olah bisa melihat anak-anak kecil yang dimaksud sang kondektur. “Aku tidak kenal,” jawabnya.

Lalu, pria itu berjalan ke deretan penumpang bagian tengah. Ambil suara, gitar digenjreng, dan dia pun menyanyi lagu-lagu pop anak muda zaman sekarang. Dua lagu dinyanyikannya. Aku tak tahu judulnya, tapi lagu itu akrab di telinga karena sering diputar di radio.

Menarik sekali melihat diskriminasi ala kondektur bus itu kepada para pengamen remaja. Alasannya sederhana: para remaja itu bukan pengamen sejati. Aku tidak tahu bagaimana definisi pengamen sejati itu. Namun mungkin yang dimaksud adalah seseorang yang pekerjaannya sehari-hari memang menyanyi sembari menggenjreng gitar, dan mengharap uang sekeping dua keping ala kadarnya dari penumpang bus. Jadi, pengamen sejati bukan pengamen dadakan yang iseng-iseng menjadi pengamen.

Mungkin dalam definisi sang kondektur, pengamen sejati setara dengan profesi lain seperti kondektur bus, supir bus, atau pedagang asongan. Intinya bukan dadakan. Selama beberapa tahun belakangan, aku selalu bertemu dengan wajah yang sama setiap kali pulang ke Surabaya. Di atas bus kota ia menyanyi, menggenjrengkan gitar, kadang menyanyikan lagu Barat nostalgia dengan bahasa Inggris yang ngawur. Tapi betapapun ngawurnya, dia adalah pengamen sejati: hidup di jalanan, mencari makan dari hasil jual suara.

Melihat para pengamen di bus kota, ada dua sikap yang aku ambil. Dan keduanya berangkat dari landasan yang sama: apresiasi. Aku tak segan memberikan sekeping dua keping duit, kalau pengamen itu menyanyi dengan sepenuh hati dan berusaha menyajikan yang terbaik dan enak didengar kuping. Tapi aku juga malas mengeluarkan sedekah, jika ternyata sang pengamen bernyanyi asal-asalan dan malah bikin kuping sakit.

Bagi aku, kesejatian pengamen dilihat dari performanya. Aku tak hendak membandingkan dengan pengamen Amerika Serikat yang bermain di tepi-tepi trotoar. Tapi, seorang pengamen sejati yang memang merasa bahwa menyanyi di jalanan adalah profesinya dan tempat mencari nafkah, maka ia akan berupaya tampil sebaik mungkin.

Seorang pengamen sejati pada dasarnya adalah seniman, yang menyanyi dengan sungguh-sungguh dan dibayar karena apresiasi publik atas penampilannya, bukan atas dasar belas kasih dari penumpang bus atau orang yang mendengarkan.

Dan juga jelas dibayar bukan atas dasar paksaan, sebagaimana pengamen di atas kereta api jurusan Jakarta –Surabaya yang melintasi salah satu kota di Jawa Tengah. Kalau begitu, mereka bukan pengamen, seniman, tapi bajingan pemeras bersenjatakan gitar. Mereka mencemarkan nama baik pengamen sedunia!

Aku bisa mengatakan begini, karena semasa kuliah di Jember, aku sempat mencoba mengamen keliling daerah kampus bersama sejumlah kawan. Aku ingat, saat itu aku duduk di semester akhir.

Aku lupa, siapa yang punya ide duluan. Tapi mungkin ide untuk mengamen datang dari Adi Muhyiddin. Ia anak FISIP angkatan 1997, yang mengontrak rumah tepat di sebelah rumah kontrakan aku. Dia satu kontrakan dengan Erwan dan Murti, dua kawan kuliah aku di Fakultas TP. Aku sendiri tinggal dengan Ismanto dan Andik Tri Patmoko di rumah kontrakan yang dijadikan markas HMI Komisariat TP.

Aku, Adi, Murti memang sering genjreng-genjreng bareng. Asrofi, anak muda kerabat rumah kontrakan sering nimbrung. Dia tidak kuliah, berasal dari kelas bawah. Kami nyanyi apa saja. Pokoknya ngepop. Kebetulan, ada dua gitar. Satu gitar milik aku, satunya lagi milik Erwan. Tapi gitar milik Erwan sering dimainkan Adi, karena sang empunya tak begitu cakap.

Tiada hari yang tak diisi dengan nyanyi dan main gitar bareng. Kadang sampai larut, sehingga kena marah tetangga sebelah. Kadang kami merekam suara kami di kaset. Sekadar buat senang-senang. Aku dulu sempat menghadiahkan satu kaset berisi nyanyian kami, permainan gitar tunggal aku, dan…suara ngorok Erwan, untuk cewek yang aku incar buat jadi pacar.

Intensitas kami main gitar mencapai klimaks, ketika Adi mengusulkan untuk ngamen. Aku setuju, karena penasaran bagaimana sih rasanya mengamen. Asrofi dan Murti pun sepakat.

Lalu kami berlatih dengan serius. Saat itu, Padi barusan mengeluarkan album Sesuatu yang Tertunda. Aku jungkir balik mencari kord-kord hampir semua lagu di album itu: mulai dari Semua Tak Sama, Lingkaran, Bayangkanlah, hingga Kasih Tak Sampai. Aku ingat, tak banyak anak-anak kampus yang menyanyikan lagu-lagu Padi komplit, karena masih baru.

Setelah merasa siap, Sabtu malam pukul 19.00, kami pun berangkat layaknya tentara pergi ke medan tempur. Kami berbagi tugas: aku dan Adi main gitar, aku menjadi vokal utama, Asrofi dan Murti karena tak hapal lirik lagunya diminta sebagai tukang penerima duit. Semua setuju. Kami merasa percaya diri, terutama Adi. Ia mengaku sudah ngomong ke beberapa kawannya bahwa akan mengamen berkeliling daerah kampus.

Rute kami tetapkan: Jalan Bangka, Halmahera, Jawa, Sumber Alam, lalu pulang. Rute itu rute kos-kosan mahasiswa jurusan sosial. Kami yakin sukses, karena selama ini di daerah kampus belum ada pengamen yang kami definisikan sebagai ‘professional entertainer’.

Tapi mengamen tak semudah yang dibayangkan. Kami dihantam rasa nervous. Pertama kami ke daerah Bangka. Di sana, kami tak mendapat apresiasi bagus. Belum lagi reffrain selesai dinyanyikan, si tuan rumah keluar dan memberikan duit seratus perak. Bahkan, ada yang melambaikan tangan, tanda menolak. Kami tersenyum kecut.

Murti dan Asrofi pun setali tiga uang. Saat disuruh menerima duit receh yang diberikan orang, mereka saling dorong. Mengamen memang benar-benar melatih mental.

Paling hancur saat Adi bertemu dengan kawan-kawannya secara tak sengaja. “Lho, laopo koen, Di?”

“Ya begini ini. Masa gak lihat kalau aku ngamen,” jawab Adi, nyengir malu. Setelah agak jauh, jadilah kami mengumpat-umpat sembari tertawa-tawa.

Aku juga sempat bertemu Iwan, kawan satu angkatan yang kuliah di Fakultas Pertanian. Saat itu ia sedang mengunjungi cewek Fakultas Ekonomi yang berhasil digebetnya saat Kuliah Kerja Nyata. Kalau tak salah, namanya Iva. Ia indekost di Jalan Jawa.

Aku kaget saat mengintip ke halaman rumah, ada Iwan di situ. Aku pun buru-buru menyanyi sembari bersembunyi di belakang tubuh Adi. Tapi, sial, Iwan yang justru keluar untuk memberikan recehan.

“Lho, Za. Kowe kok nang kene?” tanyanya dengan logat Madiun yang kental. Ia kaget.

“Iyo, ngamen,” jawabku singkat. Aku merasa mukaku merah. Apalagi, Iwan kemudian memberitahu Iva. Aku pun cepat-cepat pamit mundur. Kabur. Gantilah Adi yang tertawa.

Setelah tampil buruk di Bangka, performa kami mulai membaik saat mengamen di jalan Jawa dan daerah Sumber Alam. Apresiasi anak-anak mahasiswi di sana lumayan asyik. Kami jadi semangat.

Momen berkesan pertama adalah saat mengamen di depan sebuah rumah kos, yang halamannya dipenuhi beberapa pasangan kasmaran yang asyik bermesraan. Aku tancap gas, menyanyikan Semua Tak Sama milik Padi. Kuberikan suara terbaikku, yang menurut Ismanto memiliki keunikan.

“Suaramu unik. Aku nggak bilang bagus atau jelek, lho ya. Tapi unik,” kata Ismanto saat melihat aku menyanyi sembari main gitar di rumah kontrakan. Aku sempat merekam suaraku. Memang unik. Mungkin karena aku cadel.

Aku menyanyikan lagu itu sampai habis. Adi sesekali memperkuat dengan ikut menyanyi. Suara kami nyaring betul. Dan, setelah lagu itu berakhir, tak disangka…suara tepuk tangan dari pasangan-pasangan itu riuh menyambut. Lalu seseorang keluar dan menyodorkan banyak sekali duit recehan. Sepertinya, ada yang mengoordinasi pengumpulan duit tersebut.

Aku tak tahu berapa jumlahnya. Tapi yang jelas di atas seribu perak. Aku tersenyum lebar. Adi, Murti, dan Asrofi juga. Lalu kami menyanyikan satu lagu lagi, dan kemudian pamit sembari melambaikan tangan berterima kasih.

Momen berkesan kedua, saat kami melewati rumah kos Sari. Dia kawan satu angkatan Adi di FISIP. Beberapa tahun kemudian setelah lulus dan bekerja sebagai wartawan, aku berkawan baik dengan Sari yang menjadi reporter Radio Soka. “Lho, dulu sampeyan yang pernah ngamen sama Adi di kost-an ku ya,” katanya, saat aku berkunjung ke rumah kostnya dan mengatakan pernah ngamen di sana yang mendapat sambutan luar biasa.

Sambutan di rumah kost Sari memang luar biasa. Kami mendapat banyak duit di situ. Dan aku pun jadi tahu bahwa di antara empat pemuda jomblo yang mengamen itu, Adi-lah yang terpopuler. Adi tak butuh apa-apa lagi buat populer: wajahnya ganteng, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi, bisa main gitar. Komplit.

Aku merasa kami seperti para pemuda romantis di film-film tempo dulu. Dengan bersenjatakan gitar, kami menyanyikan lagu-lagu cinta. Sementara cewek-cewek itu berkumpul dan melihat penampilan kami di lantai atas, sembari bersandar di pagar.

Ooh Romeo….ooh Juliet…Cinta tahi kucing! Ha…ha…ha…

Tapi aku senang dengan apresiasi mereka. Setiap satu lagu selesai, mereka minta nambah. Jadilah kami menyanyikan semua persediaan lagu Padi mulai album pertama hingga yang terbaru. Suaraku sampai serak. Tapi Adi yang dapat perhatian. Kami mendapat uang recehan berlimpah.

Kejutan belum berakhir. Saat melewati rumah kost di sebelah rumah kost Sari, kami dipanggil oleh anak-anak kost yang kelihatannya lagi asyik pacaran. Kami disuruh menyanyikan lagi lagu-lagu Padi. Suaraku serak habis, dan mereka memberikan segelas air dingin. D situ aku bisa menyanyikan Kasih Tak Sampai yang tak bisa aku nyanyikan saat di rumah kost Sari karena terlalu ramai.

Di rumah kost tetangga Sari itu, aku bisa duduk dan bermain solo gitar menyanyikan Kasih Tak Sampai. Groginya bukan main dilihat cewek-cewek itu. Para pacar mereka juga tampak serius menyimak. Mungkin ingin tahu kord-nya. Aku beberapa kali bikin kesalahan kecil. Tapi tidak masalah, mereka menyambut baik dan bahkan ikut bernyanyi bersama. Di sini, duit recehan yang kami terima kembali berlimpah.

Sebelum lulus kuliah, aku dan kawan-kawan Komunitas Gumuk (nama komunitas kami) masih sempat mengamen beberapa kali. Kami tetap memilih Sabtu malam. Beberapa kawan kuliah Adi tertarik ikut mengamen. Yongki, kawan Adi, sempat menjadi vokalis. Hendra, kawan kuliahku dan juga vokalis band-ku, juga sempat ikut mengamen. Namun, ia lebih banyak mengeluh, bila hanya diberi uang receh seratus perak. Selain itu aku mengecam suaranya kurang keras dan tidak terdengar.

Jumlah pendapatan kami tak selalu tetap. Tapi rata-rata di atas Rp 10 ribu. Sepulang mengamen, kami selalu menyempatkan diri untuk mampir ke double way prasasti nama Universitas Jember, di depan kantor rektorat. Di sana kami menghitung perolehan rezeki. Setelah itu, uang kami habiskan untuk makan Indomi goreng, minum angsle, atau beli kudapan goreng di warung Pak Tua.

Ini sebuah warung yang terletak tak jauh dari rumah kontrakan kami. Aku lupa nama pemiliknya. Tapi kami sering menyebutnya Pak Tua. Warung ini yang kami datangi bila sedang kelaparan di malam hari.

Aku kadang merindukan hari-hari mengamen itu. Saat Adi datang ke Jember (kini ia bekerja di Malang), selalu tercetus keinginan untuk bernostalgia: ngamen lagi. Tapi kami sama-sama tahu, kami sama-sama sibuk dan mungkin sudah terlalu tua untuk kembali ke jalanan.

Kini daerah kampus dipenuhi para pengamen dengan berbagai lagak dan dandanan. Ada yang berombongan, ada yang sendirian. Sebagian memang entertain sejati: menyanyi sepenuh hati dengan suara dan gitar yang enak didengar, karenanya layak diapresiasi. Sebagian lagi hanya sampah yang mengharap belas kasihan.

Aku, dan Adi, mungkin tak akan pernah mengamen lagi hingga nanti. Aku sudah berkeluarga. Adi juga nanti. Namun kami memiliki kenangan dan kebanggaan yang sama: bahwa kamilah yang memulai munculnya tren pengamen yang menghibur di daerah kampus. Ini tak bakal tercatat dalam buku sejarah manapun. Tapi akan tetap tercatat di hati kami masing-masing. (*)

No comments: