13 April 2006

Jatim Mandiri dan Surabaya Pagi
Kamis, 13 April 2006

Setelah kapal Suara Indonesia tenggelam, suatu kali aku mengirimkan sebuah pesan pendek ke nomor ponsel Roni (general manager Suara Indonesia) dan Rizal Hasan (redaktur kota Suara Indonesia). Iseng-iseng, aku menulis:

“Mayday, mayday…Kapal SI tenggelam. Nahkoda SI-1 sudah menyelamatkan diri ke kapal Surya. Hakim dan Roni ke kapal Duta Masyarakat. Bagaimana nasib anak buah/wartawan lainnya? EMANG GUE PIKIRIN!

Pesan pendek itu, aku pikir kemudian, ungkapan rasa mangkel kepada para petinggi SI yang ternyata lebih hobi berpikir cari selamat sendiri. Tidak ada jawaban dari Roni dan Rizal. Sehari kemudian, hanya ada SMS dari Roni yang nggak jelas maksudnya yang intinya tentang kiriman koran Seputar Indonesia.

Pak Dharma Dewangga, eks sekretaris redaksi Suara Indonesia melayangkan SMS. Ia memberitahu, ada koran harian siang, 16 halaman, dipimpin Imron Mawardi. Namanya, Jatim Mandiri. Pak Dharma juga memberikan nomor flexi Imron.

Aku belum memutuskan.

Lalu, saat aku mengikuti hearing masalah pupuk di DPRD Jember, ponselku menyalak. Nomor Surabaya. Kuangkat, ternyata dari Rizal Hasan.

“Za, kamu sekarang di mana? Apa kegiatanmu,” tanya Rizal

“Ya begini ini. Jadi kantor berita,” aku tertawa.

“Iki serius. Kalau kamu mau, gabung dengan Jatim Mandiri. Ini harian baru, terbit siang. Pemrednya Mas Imron Mawardi. Kamu kenal kan? Dia bekas redaktur Jawa Pos. Aku dan kembaranku, Rizal Husein, juga gabung. Ada Pak Toni (Hartono Widjojo) juga. Investornya Tatang (eks) Surabaya Post,” katanya.

“Eeemhh…oke,” aku menjawab sekenanya. Aku berpikir.

“Ini koran mau terbit 17 April nanti. Aku ditanya, ada nggak orang untuk jadi wartawan di Jember. Aku menyebut nama kamu.”

“Kalau oke, nanti kamu bikin dengan format agak lain dengan koran pagi. Ya, kamu main ke sinilah sekali-sekali. Kantornya di Jemur Handayani. Atau kamu ngomong saja langsung dengan Mas Imron. Ini nomornya aku pakai telpon,” Rizal terus nyerocos.

“Ah, tidak enak. Sampeyan sajalah,” kataku.

“Oke, yang penting kamu oke, kan?” Aku mengiyakan, Rizal lalu menutup hubungan telpon.

Pikiranku berkecamuk. Sebenarnya aku nggak terlalu membutuhkan pekerjaan di koran baru. Selepas SI tenggelam, syukurlah, aku masih dapat pemasukan dengan menjadi kontributor MAP, buletin DPRD Jember. Hasilnya lumayan, lebih besar daripada yang aku peroleh di SI. Selain itu, aku bisa mencurahkan hobi menulisku yang panjang-panjang. Kelemahannya, aku harus berkompromi dengan kepentingan politik Dewan. Karena ini media ke-Humas-an. Aku nggak bisa menulis tajam, kritik, plus pedas menyangkut Dewan.

Jadi, bagaimanapun, aku rasa, aku butuh status. Di MAP, jelas statusku kontributor. Aku perlu status kewartawanan yang jelas. Lagipula, aku merasa tak enak, jika tidak bisa menulis setiap hari. Untuk MAP, aku memang masih liputan untuk aku tulis kemudian. Tapi MAP terbit sebulan sekali. Aku butuh koran harian, di mana aku bisa menjalankan kerja-kerja jurnalistik rutin. Rasanya otakku beku, kalau aku nggak menulis dan liputan setiap hari. Bisa tumpul naluri jurnalismeku karena terbiasa jadi humas di MAP.

Namun, aku kadang traumatik juga dengan yang namanya koran baru. Pengalaman SI mengajarkan banyak, bagaimana begitu banyak pengecut, bajingan, dan pecundang dalam bisnis media. Ada beberapa hal yang rasanya kurang sreg.

Pertama, yang enteng saja: persoalan nama. Jatim Mandiri: ini nama koran harian atau nama CV kontraktor sih. Lingga, salah satu sobatku, bilang, “Itu nama koran atau perusahaan kayu jati.”

Jupriono, kawanku lainnya mengatakan, “Nama itu sesuai dengan yang diberi dukunnya.” Ia memang percaya klenik.

Aku sendiri berpikir, nama Jatim Mandiri kurang mantap. Aku ingat Suara Jatim, atau Jatim Post. Terus terang aku nggak pede kalau disuruh mengenalkan diri sebagai wartawan Jatim Mandiri. Orang pasti akan bertanya: “koran mana? Mingguan ya?” Nama Jatim Mandiri memang berbau nama media bodrek.

Kedua, aku ragu dengan orang-orangnya. Satu-satunya orang Jatim Mandiri yang bisa aku berikan rasa hormat, mungkin hanya Mas Imron.

Aku kenal Mas Imron. Ia mantan ketua umum HMI Komisariat Pertanian Universitas Jember, angkatan 1988 kalau nggak salah. Orangnya agak gemuk, kecil, berkaca mata. Tipe pemikir. Saat lulus, IPK-nya kabarnya 3,5. Padahal dia ada di jurusan Ilmu Tanah yang disebut-sebut paling angker dalam soal nilai di Fakultas Pertanian.

Konon, awal-awal di JP, kariernya melejit cepat, setelah dikirim ke Jordania untuk meliput krisis teluk. Jadi, dia di lapangan jadi wartawan hanya beberapa bulan. Setelah itu langsung dikerek jadi redaktur. JP memang paling doyan melihat talenta muda.

Sebagai redaktur, dia ditugaskan di desk ekonomi bisnis. Mas Imron lalu sekolah S-2 di jurusan ekonomi. Selain jadi wartawan, ia juga mengembangkan usaha di bidang perkayuan.

Sayang, karier Mas Imron di JP berakhir nahas. Ia terbelit kasus Pohon Mas. Konon, ia menginvestasikan uangnya dan sebagian uang koperasi karyawan JP ke Pomas. Pomas memang bikin ngiler, karena menjanjikan duit berganda. Namun akhirnya, kita semua tahu, Pomas hanya tipu-tipu. Dan, Mas Imron salah satu dari sekian banyak korbannya.

Aku nggak tahu bagaimana nasibnya. Yang aku dengar, bisnisnya ambruk. Ia tidak diberhentikan dari JP. Tapi, karirnya praktis harus berakhir. Terakhir yang aku tahu, Mas Imron diangkat jadi pemred koran bisnis milik kelompok JP. Aku lupa namanya. Tapi di sana juga ada Nani Widjaya, mantan wartawan JP yang jadi salah satu petinggi teras kartel media terbesar Indonesia ini.

Lalu, aku baru tahu dari Pak Dharma dan Rizal, Mas Imron sudah bergabung dengan Jatim Mandiri.

Nama berikutnya adalah Hartono Widjojo. Dia dulu pemuja berat Dahlan Iskan, dan membawahi koran-koran Radar seantero Indonesia. Tipe orang keras dan semaunya sendiri. Aku tidak kenal pribadi. Tapi aku tahu banyak karakternya dari kawan-kawan Radar Jember yang pernah merasakan kepemimpinannya. Saat aku masuk Radar, Toing sudah pindah ke Surabaya.

Toing, demikian teman-teman memanggilnya, dianggap sebagai seorang monster. Kalau sudah punya mau, harus bisa diwujudkan oleh wartawan. Aku ingat cerita Wahyudi, salah satu anak Radar. Suatu kali ia minta izin untuk menjenguk neneknya yang meninggal dunia.

Mau tahu apa kata Toing? “Yud, Yud…Mbahmu yang meninggal kok kamu yang nggak masuk.” Wahyudi hanya mesem kecut.

Aku berhadap-hadapan dengan Toing saat ia datang ke Radar Jember untuk menghadapi apa yang disebut sebagai Pemberontakan. Kala itu, konflik tengah membelit Radar Jember. Kisahnya aku ceritakan lain waktu. Tapi yang jelas, Pusat meminta Toing turun menanganinya.

Saat itulah aku baru tahu bahwa Toing tipe pemimpin otoriter yang egois. Kawan-kawan memang dipersilakan untuk bicara dan melontarkan uneg-unegnya. Tapi ia membukanya dengan begini: “Ayo, siapa lagi yang mau jadi jagoan di sini.”

Kawan-kawan mengkeret. Takut dipecat, mungkin. Tak ada yang bicara. Hanya Hadi dan aku yang membacakan pernyataan sikap kawan-kawan. Sejak saat itu aku memastikan: aku tidak suka Toing. Toing tidak cocok berada di tengah dunia jurnalis yang semustinya demokratis.

Karir Toing di JP berakhir lebih tragis daripada Imron. Ia juga tersangkut kasus Pomas. Namun yang aku dengar, ia juga tersangkut kasus keuangan yang berat di JP. Aku tak tahu prosesnya, tapi akhirnya JP memutuskan memecat Toing dengan tidak hormat. Yang memalukan, pemecatan itu diumumkan di JP dengan dilengkapi foto lumayan menyolok mata.

Toing lalu melakukan perlawanan. Ia sempat menggugat Dahlan Iskan, orang yang dikaguminya. Berita perseteruan ini sempat masuk ke TEMPO dan media massa lainnya. Namun tak jelas kelanjutannya. Yang aku tahu, Toing tetap bergerak di dunia media, dan mendirikan tabloid Parle.

Bagaimana dengan si kembar Rizal (Hasan dan Husen)? Rizal Hasan adalah bekas redaktur desk kota di SI. Bersama Hakim, ia menjadi ‘The Most Unpopular Editor in Town’. Anak-anak kota dulu menggambarkannya sebagai redaktur yang hanya bisa marah-marah, sok, banyak omong, tapi nggak punya konsep jelas.

Untuk suka marah-marahnya, aku nggak tahu betul. Aku tidak pernah merasakan jadi anak buah Rizal Hasan. Tapi untuk soal banyak omong dan tak punya konsep jelas, sedikit banyak memang ada benarnya. Tapi satu hal kelebihannya: Rizal punya kepercayaan diri tinggi dan loyalitas lumayan besar. Ia disebut-sebut sebagai salah satu loyalis Dhimam Abror dalam konflik SI.

Rizal Husen is the next Glass. Tahu Glass? Glass adalah seorang wartawan muda yang cemerlang di majalah The New Republic. Ini majalah bergengsi, dan menjadi ‘official in flight magazine’ di Air Force One, pesawat kepresidenan. Berita-beritanya menjadi salah satu referensi presiden AS untuk mengambil kebijakan.

Glass pernah menggegerkan karena karirnya yang melejit. Ia dikenal luas setelah menurunkan reportase soal raja hacker berusia 14 tahun dalam pesta rahasia para hacker. Ia dengan bagus sekali menuliskan detail tawar-menawar antara sang raja kecil dengan salah satu perusahaan komputer besar yang ingin menjadikan hacker itu sebagai karyawan.

Tapi, ternyata, laporan Glass hanyalah omong kosong. Seratus persen fiktif! Kejadian itu tak pernah ada. Glass hanya mengarangnya. Jadilah skandal Glass sebagai salah satu skandal pers terbesar di AS, sama besarnya dengan skandal reportase fiktif salah satu wartawan The New York Times. Akibat ulah Glass, sejumlah redaktur New Republic mengundurkan diri. Majalah tersebut melakukan investigasi atas tulisan-tulisan Glass yang lain. Glass pun dipecat dan kena banned tak bisa berkarir di dunia jurnalistik.

Rizal Husen meneladani Glass. Karirnya menanjak cepat di JP. Ia sempat dikirim untuk meliput perang Irak. Di sana, ia terluka dan mengaku dibegal oleh sekelompok bajingan. Pulang ke Indonesia, ia dipuji-puji, dan langsung diberi jabatan asisten redaktur.

Nama Rizal semakin mentereng, setelah berhasil meliput jejak Dr. Azahari di Malaysia. Ia berhasil mewawancarai istri sang teroris. Bahkan hasil liputannya di Malaysia dibukukan oleh JP Press.

Wawancara dengan sang istri Azahari kembali dimuat JP, setelah gembong teror itu tewas di Batu. Ada logo ‘Eksklusif’ dalam berita JP. Wawancara itu dilakukan Rizal via sambungan telpon internasional.

Namun, siapa sangka, ternyata ia membuat wawancara fiktif dengan istri gembong teroris, Dr. Azahari. Wawancara ini terbongkar setelah sang istri mengaku kepada reporter televisi (Trans kalau nggak salah) bahwa dirinya tak pernah melakukan interview dengan wartawan Indonesia manapun sebelumnya. Bagaimana mau bicara di telpon, untuk bicara normal saja, suaranya lirih karena terserang kanker tiroid.

JP melakukan penyelidikan. Hasilnya, Rizal Husen bersalah dan diberhentikan dengan tidak hormat. Orang pun mulai bergunjing soal tulisan-tulisannya selama ini. Bahkan, mulai ada pertanyaan: benarkah Rizal terluka dan diserang begal waktu ditugaskan liputan ke Irak?

Setelah kasus Rizal, tidak ada redaktur yang mengundurkan diri di JP. Namun koran itu membuat tulisan permintaan maaf di halaman dua. JP diganjar penghargaan dari salah satu institut jurnalisme karena pengakuannya itu.

Nasib Rizal Husen terkatung-katung. Kata Muslim, salah satu wartawan Surabaya Post, Rizal hendak masuk ke SP. “Tapi anak-anak SP mengancam akan mengundurkan diri secara massal, jika Rizal diterima di sana.” Rizal pun urung masuk. Aku nggak tahu bagaimana dia bisa bergabung dengan Jatim Mandiri.

Orang berikutnya yang aku soroti adalah sang pemodal: Tatang. Aku nggak pernah kenal dekat atau bertemu dengannya. Dia sempat jadi investor SI menjelang tenggelam, tapi akhirnya menarik diri. Soal Tatang aku lebih banyak mendengar cerita dari kawan-kawan yang pernah bekerja dengannya di Surabaya Sore. Dari deskripsi kawan-kawan, aku punya kesimpulan sementara: Tatang mirip Toing. Tapi tentu ini semua harus dibuktikan. Aku nggak bisa menilai seseorang berdasarkan cerita orang lain, bukan?

Namun, tawaran Rizal Hasan tetap kuterima. Apalagi beberapa hari kemudian, Mas Heri, mantan redaktur Surya yang dulu menawariku gabung dengan Surya, juga mengontakku. Ia menawarkan kepadaku untuk gabung dengan Jatim Mandiri. Kebetulan, ia punya kawan-kawan di jajaran redaktur.

Aku berterima kasih. Aku pun mengutarakan bahwa akan masuk ke Jatim Mandiri. “Kebetulan saya Jumat (14/4) ke Surabaya,” kataku. Aku ke Surabaya karena diminta Rizal. Katanya, hendak bicara soal kemungkinan Jatim Mandiri buka biro di Jember. Tapi aku tidak mengatakan hal itu ke Mas Heri.

“Yo wis, kalau begitu. Nanti biar aku hubungi kawanku,” kata Mas Heri.

Aku pun memutuskan masuk Jatim Mandiri. Kawan-kawan milis Sedulur_Indonesia aku kabari. Bagiku, gaji dari Jatim Mandiri bisa jadi tambahan pemasukan yang lumayan. Tapi aku bertekad untuk menolak jika disuruh main rangkap jadi wartawan, pencari iklan, sekaligus jualan koran. Kalau mau profesional, angkat satu orang lagi di Jember sebagai tenaga pencari iklan sekaligus pemasaran.

Tapi Kamis, 13 April, muncul kejutan lainnya. Aku dapat SMS dari orang yang mengaku bernama Tito, Wakil Pemimpin Umum Surabaya Pagi. Kata Tito: “Saya mau kembangkan harian Surabaya Pagi ke seluruh Jatim, kalau minat kita bisa tindaklanjuti.”

Kepalaku puyeng dihajar rasa gembira dan bingung. Dua tawaran langsung! Aku nggak perlu melamar! God, how lucky I am.

Mana yang harus aku ambil? Surabaya Pagi, aku pernah mendengar. Tapi aku tidak tahu seperti apa korannya. Yang aku tahu, ini pecahan dari awak Surabaya Post pasca konflik semasa Bu Aziz dulu.

Muslim dan Zikri menyarankan aku berpikir jernih, dan mengambil Surabaya Pagi. “Dulu kamu gabung SI, karena kamu melihat sosok Pak Abror. Hasilnya kamu tahu seperti apa. Sekarang pun, kalau kamu memilih gabung Jatim Mandiri, jangan melihat sosok Imron saja. Lihat orang-orang di sekelilingnya,” kata Zikri.

“Kalau aku, Ryz, aku pilih Surabaya Pagi. Karena lebih teruji daya tahannya. Jatim Mandiri kan harian baru,” kata Muslim.

Aku sepakat dengan mereka. “Tapi aku nggak tahu siapa saja personil Surabaya Pagi.”

“Ya, kirim SMS saja. Minta penjelasan tentang Surabaya Pagi dan tugas-tugasmu kalau gabung. Suruh kirim deskripsi lewat email. Bilang saja, kamu ingin mengenal lebih jauh tentang Surabaya Pagi,” jawab Muslim.

Aku pun melayangkan SMS balasan ke Tito. Tapi, hingga pukul 16.10, tetap pending. Aku memutuskan, tetap berangkat ke Jatim Mandiri Jumat, 14 April besok. Tapi kalau tawaran Surabaya Pagi lebih baik dan prospektif, aku mungkin harus pindah tempat. Pokoknya, aku nggak ingin kasus Surya terjadi lagi. (*)

No comments: