20 April 2006

Apa? Jatim Mandiri?
20/4/2006

Bagaimana rasanya menjadi wartawan sebuah harian yang baru terbit dan punya nama yang ganjil untuk ukuran media massa cetak?

Siapa bilang idiom ‘Apalah arti sebuah nama’ adalah benar? Nama adalah persoalan identitas dan eksistensi. Ia yang pertama dikenali, sebelum substansi.

Sejak 17 April lalu, namaku tercantum dalam boks redaksi harian Jatim Mandiri yang dipimpin Imron Mawardi, eks redaktur pelaksana Jawa Pos. Kendati sudah ‘on the field’, aku belum pernah secara terbuka memperkenalkan identitasku kepada narasumber. Aku memilih tidak memberitahu, kalau narasumber tak bertanya.

Pertama, aku tidak mau ia bertanya dengan nada seperti “What is that? Apaan tuh?” atau, kedua, aku tak mau disangka wartawan bodrek. Nama Jatim Mandiri selintas membuat orang berasumsi, ini media tidak jelas seperti banyak media cetak ‘bodrek’ di Jember yang jumlahnya puluhan itu (minta ampun jumlahnya)

Lalu datanglah hari itu, suatu sore, 19 April, di rumah makan Lestari. Acaranya, jumpa pers dengan operator seluler Pro XL terkait konser Peterpan esok harinya. Semua perwakilan media datang, dan memperkenalkan diri satu per satu.

Sete;ah Nursalim dari Indosiar, giliranku yang memperkenalkan diri. Aku berdehem dengan penuh ketidakpercayaan diri. Rasanya ada yang nyangkut di tenggorokan, ketika aku berkata, “Saya dari Harian Jatim Mandiri.” Aku menekankan kata harian agar semua orang paham.

“Apa? Jatim apa?” Manajer Pro XL mengulangi.

“Jatim Mandiri.”

“Ooh,” ia mengangguk, dan aku hakul yakin, ia mengangguk dengan perasaan sangsi. Aku bisa melihat wajahnya sekilas, dan aku pun segera memainkan ponsel untuk menggebas rasa malu.

Aku melayangkan pesan pendek ke Rasyid, kawanku dan pemimpin redaksi Radar Jember yang duduk di ujung meja. “Jatim Mandiri. Iku jeneng koran opo jeneng bank?”

Rasyid tertawa kecil saat membaca SMS itu, dan membalas, “Jare jeneng bank, hasil merger.”

Aku tersenyum kecut. Juamput.

Inilah yang membedakan bekerja di Suara Indonesia dengan Jatim Mandiri. Sewaktu di Suara Indonesia, problem nama bukanlah hal yang begitu penting. Sebagai media baru (dan tidak beredar di Jember!), wajar jika ada narasumber bertanya. Tapi pertanyaan itu tak sampai menohok betul, dan memerlukan penjelasan sangat panjang.

Bisa jadi sang narasumber tak lagi bertanya-tanya saat pertama kali berkenalan, karena merasa akrab atau familiar dengan nama Suara Indonesia. Entah membaca atau tahu di mana, tapi ia merasa “kayaknya tahu dengar ya.”

“Anda dari media mana?”

“Harian Suara Indonesia.”

“Ooh. pusatnya di mana?”

“Surabaya, Jalan Irian Barat.”

Paling beruntung jika bertemu dengan orang yang sudah kenal dengan Suara Indonesia. Biasanya mereka pernah ke Malang, atau memang berminat baca koran cukup besar, sehingga tahu soal Suara Indonesia yang berasal dari Malang.

Contohnya, Dimyati, anggota DPRD Jember. Ia tak bertanya apa-apa lagi, dan malah selalu bilang, “Mana SI-nya? Aku kok nggak pernah diberi?”

Ada juga yang merasa tahu atau sok tahu (mungkin), dan dengan yakinnya berkata, “Punya Jawa Pos ya?”

Bagian dari Jawa Pos adalah sejarah Suara Indonesia. Koran ini pernah diambil alih oleh raksasa media itu, dan kemudian disulap menjadi koran ekonomi bisnis, lalu disimsalabim lagi jadi Radar Surabaya.

Lalu aku pun menegaskan, Suara Indonesia bukan bagian dari Jawa Pos. Aku bilang, ini koran nasional yang sementara beredar di wilayah Surabaya, Malang, dan Jatim ke arah barat. Belum masuk Jember, karena lebih terkonsentrasi di daerah sana.

“Ini koran banyak dihuni mantan Jawa Pos, seperti Dhimam Abror dan Solikhin. Ada Pak Anis, mantan Surabay Post.”

Paling sial adalah, “Ooh, punyanya Surya Paloh itu, ya?”

Jika sudah begini, aku akan menjelaskan bahwa koran punya Surya Paloh adalah Media Indonesia, bukan Suara Indonesia. Penjelasan bisa diterima, saat saya menyebut nama Eddy Rumpoko atau Haruna Sumitro sebagai investor, Dhimam Abror Juraid sebagai pemimpin redaksi. Tiga nama itu cukup akrab.

Soal salah identifikasi antara Media Indonesia dengan Suara Indonesia, aku punya pengalaman. Suatu ketika, anggota FKB DPR RI Choirul Saleh Rasyid menelponku.

“Mas, saya minta fotonya yang dimuat hari ini,” katanya.

“Foto?”

“Iya, yang waktu kunjungan SBY kemarin,” katanya, yakin.

Aku bingung. Aku merasa saat SBY ke Jember untuk meninjau korban banjir bandang Panti, aku tidak di antara para wartawan yang meliput. Aku merasa orang ini pasti salah.

“Iya, saya lihat fotonya di Media Indonesia,” Choirul kembali bersuara.

“Ooh, itu mungkin Mas Anam. Dia yang liputan,” aku mulai paham, dan menunjuk Anam Mashoedi, reporter Media Indonesia di Jember.

Di RSUD dr. Soebandi, saat aku mengobati kakiku yang tertusuk paku saat liputan bencana di Panti, sang dokter cewek pun berkata, “Ooh, Suara Indonesia. Punyanya Haruna itu? Saya kenal dengan Haruna. Ia kawan saya.”

Saya tidak menjelaskan bahwa saat itu Haruna sudah pergi jauh dari Suara Indonesia. “Ya, benar.”

Jadi, begitulah. Nama Suara Indonesia memang masih memungkinkan mengundang tanya. Tapi aku tak segan memberi penjelasan. Kalau Jatim Mandiri?

Aku tidak tahu, siapa yang mengusulkan nama itu. Jatim Mandiri. Kesannya norak banget untuk ukuran nama koran, apalagi koran harian. Orang awam pasti mengira itu nama bank, tepatnya merger antara Bank Jatim dengan Bank Mandiri. Lingga, salah satu kawanku saja sampai bilang, “Itu nama koran atau perusahaan kayu jati?” Ia salah dengar, dikiranya Jati Mandiri.

Lalu aku menerka-nerka, bagaimana awal-muasal nama itu. Dugaanku, bisa saja nama ‘MANDIRI’ berasal dari terjemahan kata ‘INDEPENDENT’. Di luar negeri, nama Independent memang biasa dijadikan nama koran, majalah, atau tabloid. Sebut saja Sunday Independent, nama koran tempat bekerja Veronica Guerin, wartawati investigatif kesohor Irlandia yang mati ditembak mafia narkoba.

Menerjemahkan kata yang sering digunakan sebagai nama media massa di luar negeri memang biasa digunakan oleh media massa Indonesia. Kita tahu ‘TEMPO’ berasal dari ‘TIME’ atau ‘TIMES’. ‘MINGGUAN’ terjemahan dari ‘WEEKLY’. ‘HARIAN’ terjemahan dari ‘DAILY’. ‘POST’ jadi ‘POS’. ‘NEWS’ jadi ‘BERITA’. ‘INDEPENDENT’ pernah digunakan oleh sejumlah aktivis Aliansi Jurnalis Independen untuk membuat majalah bawah tanah ‘SUARA INDEPENDEN’.

Semua adaptasi/terjemahan tadi boleh dibilang nyambung jika dibuat nama media massa. Memang sejumlah media massa Indonesia pernah merintis nama yang lepas dari identifikasi media secara umum, seperti ‘KOMPAS’ atau ‘GATRA’ atau ‘GAMMA’ atau ‘FORUM KEADILAN’. Tapi semua nama itu, aku merasa, masih pas. Pendek, mudah diingat, simpel, tapi menunjukkan semangat yang tidak terjebak formalitas.

Satu-satunya media massa lumayan besar yang namanya norak, menurutku, adalah D & R yaitu singkatan dari DETEKTIF & ROMANTIKA. Ini gabungan dua majalah kriminal tempo dulu. Sempat berubah citra menjadi majalah serius dan digarap mantan awak TEMPO pasca breidel.

D & R sempat terancam breidel lagi saat menerbitkan edisi dengan kover bergambar kartu remi dengan wajah Soeharto. Namun akhirnya urung, dan D & R dimatikan sendiri oleh investornya. (Jadi ingat Suara Indonesia).

Kembali ke Jatim Mandiri, aku tidak tahu, Jatim Mandiri hendak mengikuti yang mana: mengadaptasi kosakata nama media massa luar negeri, atau meretas nama sendiri yang tak punya referensi dari nama media massa di Barat sono.

Aku bertanya ke Pak Dharma soal asal-usul nama ini. Belum ada jawaban. Tapi aku tetap percaya, Jatim Mandiri hanya mengadaptasi kosakata nama media massa di luar negeri. ‘MANDIRI’ terjemahan dari ‘INDEPENDENT’.

Jadi, kalau dalam bahasa Inggris, mungkin Jatim Mandiri adalah Jatim Independent atau East Java Independent. Kalau begitu sih keren. Atau kenapa nggak sekalian aja pakai nama JATIM INDEPENDEN, tanpa ‘t’? Bukankah independent sudah diadaptasi menjadi independen? Kalau nama begitu, aku jelas tidak minder.

Kalau Independent diterjemahkan jadi Mandiri, wah, rasanya… Aku jadi bertanya, apa ya tega Sunday Independent diterjemahkan jadi Minggu Mandiri atau Ahad Mandiri…?!

Andai ada franchise media massa di Indonesia, lalu Sunday Independent dinasionalisasi jadi Ahad Mandiri, bisa-bisa Veronica Guerin menangis atau tertawa ngakak di kuburnya.

Tapi tunggu dulu…jangan-jangan nama Suara Indonesia pun mengadaptasi dari Voice of America (nama radio resmi pemerintah AS)? Voice of America, Suara Amerika? Suara Indonesia, Voice of Indonesia? Radio? Koran? Yang jelas sudah almarhum dan balik ke alam kubur. Begitu, saudare! (*)

No comments: