21 March 2006

Antara Aku, Ror, dan Surya

Suatu hari di bulan Mei 2005, di Pendapa wahyawibawagraha. Hari itu, pelantikan Sjahrazad Masdar sebagai penjabat bupati Jember. Ponselku berdering, dan ketika kuangkat kudengar suara Ijo. Dia wartawan kawakan Surya yang membawahi biro Probolinggo.

“Sa, kamu mau masuk Surya?”

“Haah…” aku belum mengerti maksud Ijo.

“Kalau kamu mau, kamu bisa pilih, bertugas di Jember, Situbondo, atau Bondowoso. Bagaimana? Aku masih di Malang, meluncur ke Jember. Nanti malam kita omong-omong lagi,” kata Ijo.

Aku mengiyakan, dengan perasaan campur aduk. Masuk Surya? Aku tidak tahu harus bilang apa.

Lalu aku menghubungi MS Rasyid, wartawan Radar Jember yang juga karibku. Ia tersenyum-senyum mendengar ceritaku. “Ya, itu terserah kamu,” katanya.

“Aku sebenarnya sih ingin masuk Surya. Ini peluang. Apalagi kondisi SI seperti itu. Tapi aku merasa tidak enak dengan Pak Abror. Bagaimana pun, aku merasa berutang budi sama dia. Saat aku belum tahu harus ke mana setelah didepak dari Radar, ia membuka pintu SI buatku.”

“Itulah yang jadi ganjalan. Hubungan (hutang budi) memang dalam. Tapi saranku, kamu telpon langsung Pak Abror saja, minta pertimbangan,” katanya.

Aku pulang dan memikirkan saran Rasyid. Di rumah, istriku mendengar ceritaku dengan wajah harap-harap cemas. Ia menyarankan untuk pindah ke Surya saja. Peluang tidak datang dua kali. Tapi aku katakan kepadanya, rasanya tidak enak dengan Pak Abror.

“Memang benar. Tapi terserah Yang’e yang mau menjalani.”

Ijo lalu menelpon lagi. Mengulangi tawaran tempo hari. “Bagaimana? Mau tidak. Sementara kamu memang stranger. Tapi nanti juga bisa diangkat jadi karyawan. Ini, kamu ngomong saja sama Mas Heri.”

Heri adalah wartawan tua Surya yang bertugas sebagai komandan di Jember. “Oryza? Kamu gabung saja sama Surya. Lumayan. Memang dibayar per berita, tapi aku yakin wartawan seperti kamu bisa ngumpulkan banyak berita.”

Lalu Ijo menjelaskan, bahwa kendati belum ada gaji tetap, sebagai stranger, nantinya aku bisa mendapatkan honor lumayan. Paling sial bisa Rp 1 juta sebulan. Di beberapa tempat, malah ada wartawan yang bisa menembus Rp 2 – 2,5 juta.

Aku gelisah. Angka Rp 1 juta menggodaku untuk mengatakan iya. Apalagi di SI aku hanya digaji Rp 650 ribu per bulan. Tapi aku belum bisa menjawab. “Aku masih harus konsultasi dengan istriku,” kataku, mencoba menyodorkan alasan.

Telpon ditutup. Aku gundah.

Malam, aku menghubungi Abror. Aku ceritakan tentang tawaran dari Surya. “Wah, anda mau pindah? Saya tidak bisa memaksa anda untuk tetap di SI. Tapi akan ada perbaikan-perbaikan di SI. Insya Allah bulan Juni nanti, kita sudah akan tambah gaji dengan TP (Tunjangan Prestasi),” suaranya menjelaskan. Aku menangkap ada ragu.

Aku belum memutuskan apapun. Abror tidak berkata banyak. Ia menyuruhku untuk bicara dengan Musafik, redaktur Jatim, yang mantan wartawan Surya. Tapi aku memutuskan tidak menelpon Musafik. Berapa duit yang harus kubuang? Hemat…hemat…hemat…Aku merasa cukup bicara dengan Abror.

Malam hari, saat aku terlelap, sebuah pesan pendek meluncur mulus ke ponselku. Dari Hari Tri Wasono, wartawan SI Kediri. Ia menanyakan ketetapan hatiku untuk memilih Surya atau SI. Aku lupa, apakah aku menjawab SMS itu. Seingatku aku tidak menjawab, dan tidur lagi.

Belakangan aku baru tahu dari Hari, ternyata Abror meminta Syafik menangani persoalanku. Tapi Syafik malah menyuruh Hari untuk menghubungiku. Aneh…

“Kenapa kamu nggak menghubungi Syafik saja. Kok malah menghubungi Pak Abror,” tanya Hari.

Menurut Hari, Syafik agak gusar mendengar kabar itu. Kegusaran yang menurut dia wajar, karena Safik adalah redaktur kompartemen Jatim. Seharusnya kalau mau berkonsultasi, cukup dengan Syafik. Apalagi, dia juga mantan Surya.

Aku sendiri menilai, Syafik marah karena merasa dilangkahi. Apalagi, sejumlah wartawan Malang dan Jatim juga hengkang dari SI. Tapi aku merasa, buat apa aku menghubungi Syafik. Toh selama ini dia tak pernah menghubungiku, jika ada perkembangan penting di Surabaya. Sebagai wartawan daerah aku buta terhadap konstalasi di Surabaya.

Hari memandang, Abror bukan orang yang tepat untuk diajak berkonsultasi. Ia mengibaratkan, seorang bos yang ditanya seperti itu oleh anak buahnya bisa saja jengkel dan malah memecat sang anak buah karena dianggap tak loyal. Namun di satu sisi, Hari memujiku. “Ini bagus juga, karena untuk menunjukkan posisimu dengan Abror setara,” katanya.

Akhirnya, aku kembali menelpon Abror. Kukatakan, dengan bismillah, aku tetap di SI. “Saya percaya Bapak bisa membawa SI menjadi koran yang besar.”

“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Kalau persoalan gaji, nanti bisa saya minta bagian keuangan untuk menambahi sedikit,” Abror berjanji.

Awal Juni saldo rekeningku bertambah Rp 750 ribu. Gajiku naik Rp 100 ribu. Istriku bersyukur. “Ya, lumayan, kita bisa menyisihkan uang untuk menabung,” katanya.

Tapi, ini gaji terakhir yang mampir ke rekeningku…

***

17 Maret 2006. Sebuah pesan pendek masuk ke ponselku. Dari Abror.

“Siang tadi saya teken kontrak dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia) ditugasi jadi pemred Surya. Tolong sampaikan ke teman-teman saya berjuang dari dalam supaya SI bisa masuk ke KKG.”

Aku tertawa sendiri. Betapa lucunya hidup…. (*)

1 comment:

Editor said...

Tuan Manifesto,

Meski tulisan anda ini terbuka, saya tetap merasa perlu meminta izin untuk menempelkkannya di http://groups.yahoo.com/group/surya-geng

Bolehkah?

Hormat saya,
-yul-