Yang Terhormat Pak Ror…
Bapak melayangkan sebuah pesan pendek ke ponsel saya, 17 Maret, pukul 20.54. “Waas. Siang tadi saya teken kontrak dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia) ditugasi jadi pemred Surya. Tolong disampaikan ke teman-teman saya berjuang dari dalam supaya SI bisa masuk KKG.”
Lalu saya melayangkan SMS ke Rizal Hasan, salah satu redaktur yang dipercayai Anda. Katanya, “Tak ada personil SI yang diboyong ke Surya. Keputusan Pak Ror sudah dirapatkan dengan saya, Kim, Rony, dll di rumahnya tadi malam sebelum di-fit and proper test Kompas. Kita relakan.”
Lalu, Rizal melanjutkan: “Ada plan untuk SI dengan gabungnya Pak Ror di Surya. Saya jik nganggur. Minggu ketemu saya di rumah Jember. Saya pulang saiki jik di Sby.”
Saya tak membalas pesan itu. Saya memilih tidur, dan tak akan menemuinya hari Minggu nanti. Lalu saya diam, menelan semua kata-kata itu:
“Berjuang dari dalam”… “Kita relakan”… “Ada plan untuk SI”…
Saya sudah tak bisa menerjemahkan makna semua kata-kata itu dalam kesadaran ini. Satu kata mengandung heroisme, satu kata mengandung keikhlasan, yang lain mengandung harapan.
Saya teringat ucapan Bapak saat kita bertemu di Jember. Di sebuah rumah makan, usai Bapak melakukan konsolidasi untuk maju dalam pemilihan ketua federasi sepak bola, Bapak menyalami saya. “Yang sabar. Tetap optimistis. Saya selalu optimis pasti ada jalan.”
Saat itu, saya masih bisa memaknainya sebagai harapan. Dan saya berdoa, moga-moga benar. Namun, sekarang, saya tidak tahu bagaimana memaknainya. Mungkin karena saya terlalu tolol. Atau mungkin karena semuanya tak bisa saya referensikan dengan realitas. Tapi mungkin juga, karena heroisme, harapan, dan keikhlasan tadi, yang telah membuat hidup kita terasa begitu menegangkan.
Hidup selalu menegangkan, karena ia selalu menghadapkan heroisme, keikhlasan, dan harapan pada pilihan-pilihan. Setiap pilihan, kita tidak tahu akan membawa ke mana. Setiap pilihan adalah sebuah terowongan gelap, seolah tak berujung, dan hanya seberkas cahaya terang memandu kita di pucuk sana.
Kita memang merdeka untuk menjatuhkan pilihan, akan melewati lorong yang mana. Namun, seperti kata Sartre, kebebasan, kemerdekaan itu adalah kutukan. Manusia memang dikutuk untuk merdeka. Dengan kemerdekaan itu, kita senantiasa terdampar pada ketegangan-ketegangan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang digariskan masa depan.
Kita tidak pernah tahu apakah sesungguhnya Tuhan membiarkan kita memilih, sembari menutup rapat rahasianya: sehingga kita seperti si buta yang meraba dengan mata tertutup rapat, mengambil sebuah nomor undian. Seperti kata Forrest Gump: hidup itu seperti sekotak cokelat. Kita tidak tahu akan mengambil cokelat warna apa dan rasa apa.
Ataukah, mungkin Tuhan, sudah menggariskannya, dan kita tinggal menjalaninya. Jika memang kita tahu bahwa ternyata opsi kedua yang benar, mungkin kita akan hidup aman. Pasrah, karena kita tahu, kita menjalani hidup layaknya sebuah mesin yang dikendalikan dengan remote.
Namun, saya tak yakin, Tuhan adalah dalang sedemikian rupa, sama seperti yang dikatakan Alberto dalam Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Tidak, saya tak yakin. Karena dengan begitu hidup tak lagi menarik, masa depan tak lagi menantang. Surga dan neraka sudah diketahui penghuninya. Sesuatu yang ‘akan’ tak pernah bisa menimbulkan kegairahan, dan penasaran.
Manusia dengan rasionya lalu menjalani hidup dalam ketidaktahuan. Kita membawa keyakinan, harapan, keikhlasan, dan heroisme untuk menembus lorong gelap itu. Kadang kita tersandung. Sedikit. Atau terjatuh berkali-kali. Lalu kita mencoba meraba untuk tak terjatuh lagi dalam kelokan atau karena tersandung geronjalan yang sama.
Tapi seberapa jauhkan kita masih bisa berharap untuk melampaui lorong itu? Dalam ketidaktahuan, keyakinan dan harapan bisa berbalik menjadi sesuatu yang naif. Dalam ketidaktahuan, keikhlasan bisa berubah menjadi ketidakberdayaan. Dan heroisme bisa berputar arah menjadi omong kosong, atau sekadar menutupi kekalahan.
Yang terhormat Pak Ror…
Mungkin saya adalah Sisifus sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Albert Camus. Sisifus dikutuk para Dewa untuk mendorong batu hingga pucuk gunung, lalu batu itu menggelinding ke bawah, dan ia harus memulai dari awal. Sejarah Sisifus adalah sejarah ketundukan terhadap takdir.
Namun – semoga saya salah – sejarah saya adalah sejarah tentang kenaifan manusia yang mempercayai manusia lain, karena keyakinan dan harapan. Sejarah saya adalah sejarah di mana saya selalu terluka oleh keyakinan dan harapan itu. Luka itu…mengucur darah…mengucur darah…
Lalu saya dengan darah yang menetes, berjalan menyusuri lorong gelap yang sudah menjadi pilihan saya karena meyakini harapan yang dilukai itu. Meyakini harapan yang disemai oleh heroisme dan kepercayaan.
Banyak hal, banyak kata andai yang bisa terlontar dari bibir saya. Andai dulu…andai begini…andai begitu… andai… andai… andai saya tak memilih lorong ini… Tapi apalah arti sebuah ‘andai’ jika dibandingkan kepercayaan yang dilukai?
Jember, 18 Maret, pukul 14.51
18 March 2006
Labels: Esai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment