HMI dan Salah Baca yang Menggelisahkan
(Sebuah Tanggapan untuk Kompas)
Bertepatan dengan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam di Makassar, Harian Kompas (Selasa, 21 Februari 2006) menurunkan laporan setengah halaman yang menarik hati. Berjudul “Kebesaran” HMI yang Menggelisahkan, artikel analitis yang disusun Litbang Kompas ini cukup telak ‘menohok’.
Tulisan itu menyebutkan beberapa poin penting yang menarik untuk dibicarakan. Partama, dominasi tarik-menarik politik elite yang mewarnai kiprah HMI sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. Kedua, lebih tumbuhnya pola pikir pragmatis di kalangan anggota HMI daripada paradigma intelektual.
Pragmatisme ini ditunjukkan oleh orientasi kader HMI yang mengedepankan pencapaian posisi-posisi penting pemerintahan, daripada pengembangan intelektualitas. Kentalnya pragmatisme ini ditunjukkan dengan banyaknya alumni HMI yang dikenal sebagai pejabat negara, daripada tokoh intelektual seperti Nurcholish Madjid. Kompas juga menyebutkan, “jaringan yang besar di HMI membuat sebagian pengurusnya lebih dekat ke elite kekuasaan.”
Untuk mendukung tesis itu, Tim Litbang Kompas menyuguhkan sebuah infografis tentang penyebaran jejaring alumni HMI di DPR, dan diaspora di eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, dan LSM. Melalui infografis itu bisa dimunculkan kesan, para alumni dan kader HMI adalah salah satu kelompok yang paling berperan dan bertanggungjawab terhadap munculnya persoalan-persoalan negara. Judul artikel itu juga menunjukkan kesan demikian.
Kendati benar dalam beberapa hal, uraian Tim Litbang Kompas dalam artikel tersebut mengandung kesalahan baca. Kesalahan baca ini diakibatkan oleh simplifikasi, yang juga banyak menghinggapi publik kala memandang HMI. Saya katakan simplifikasi, karena tesis yang dimunculkan Kompas lebih menempatkan HMI dalam perspektif organisasi mahasiswa yang memiliki mobilitas vertikal politis. Dengan mengedepankan perspektif ini, maka kita mudah terjangkit penyakit pola pikir ‘konspiratif’, dan melupakan apa yang disebut sebagai keunikan individu.
Mazhab Pragmatisme versus Intelektualisme
Saat masih mahasiswa, saya mendengar sebuah isu yang ditiupkan oleh sejumlah kelompok yang anti HMI. Kelompok-kelompok itu mengatakan, ada dua jaringan yang memiliki mobilitas vertikal politik yang kuat dan berkulindan nyaris seperti ‘mafia’, yakni militer dan HMI.
Kebetulan, kedua jaringan ini memiliki kedekatan dengan Orde Baru. Puncak kedekatan HMI dengan Orba terjadi pada era 1990-an, saat kelompok Islam mulai mendapat angin. Kala itu sempat ada tudingan kabinet dan gedung DPR telah ijo royo-royo, sebuah warna yang dilekatkan untuk kelompok Islam, khususnya HMI.
Sesungguhnya, mobilitas vertikal ini hanyalah wajah dari salah satu mazhab besar di HMI, yakni mazhab ‘pragmatisme politik’. Mazhab ini sejak awal tidak pernah satu suara Mazhab lainnya, yakni ‘intelektualisme’. Mazhab ‘pragmatisme’ lebih cenderung menjadi strukturalis, dan mazhab ‘intelektualisme’ lebih berorientasi kulturalis.
Aliran ‘pragmatisme politik’ memiliki ciri khas pengedepanan jargon-jargon esprit de corps dan ideologi. Jargon-jargon itu digunakan untuk mendefinisikan ‘kita’ dan ‘mereka’. Dalam perspektif cultural studies, jargon semangat korps dan ideologis ini mewujudkan apa yang disebut sebagai otherizing (me-liyan-kan kubu yang tak seideologi dan dianggap sebagai lawan).
Atas nama korps dan ideologi ini, mobilitas vertikal lantas terjadi. Alumni dan kader HMI yang telah lebih dulu menduduki posisi empuk di suatu tempat, akan berupaya merekrut alumni dan kader lainnya. Atas nama korps dan ideologi pula lantas para kader dan alumni akan menguatkan jaringan, dan mendukung salah satu kader yang dianggap sebagai representasi kelompok untuk menduduki posisi penting. Tak peduli apakah kader bersangkutan punya track record moral dan prestasi yang baik atau buruk.
Aliran ‘pragmatisme politik’ inilah yang menghasilkan kader-kader jenggot. Kader-kader model begini hanya bisa hidup dari sokongan jaringan yang telah kuat, dan bukan dari kemampuan maupun kapasitas pribadi. Kader-kader seperti inilah yang telah menenggelamkan nama HMI, karena hanya ‘numpang hidup’ dari organisasi dan bukannya menghidupkan organisasi.
Berbeda dengan mazhab ‘pragmatisme’, mazhab ‘intelektualisme’ sangat mengedepankan dan menjunjung tinggi rasionalitas individu, bukan semangat korps dan ideologis. Semangat korps dan ideologi hanya bisa dikalahkan oleh semangat kebenaran, semangat terhadap sesuatu yang hanif. Tidak ada upaya untuk melakukan apa yang disebut sebagai otherizing.
Era 1970-an, ada dua jalur yang menyuarakan mazhab ‘intelektualisme’ ini. Pertama, jalur liberal yang disuarakan oleh Limited Group asuhan Ali Mukti, tempat Dawam Rahardjo dan mendiang Ahmad Wahib beraktivitas. Lainnya, jalur literal yang disuarakan Imaduddin Abdurrahim (Bang Imad) melalui jamaah Salman di ITB.
Era 1980-an, setelah normalisasi kehidupan kampus diterapkan, kader-kader bermazhab ‘intelektualisme’ berdiaspora. Kader-kader literalis lebih banyak bergerak di masjid dan menghidupkan kegiatan keagamaan. Mereka menjadikan gerakan-gerakan Islam Timur Tengah sebagai referensi.
Sementara kader-kader liberal, selain menghidupkan paham keagamaan inklusif, juga ada yang terjun dalam advokasi masyarakat tertindas. Sebagian kader HMI ini ada yang berada pada spektrum ideologi kiri, dan membaca buku-buku marxisme. Sejumlah tokoh kelompok mahasiswa kiri yang menolak Orde Baru belakangan diketahui adalah kader HMI.
Menanggalkan Ke-HMI-an
Mazhab ‘intelektualisme’ dan ‘pragmatisme politik’ masih dalam pertarungan abadi hingga kini. Sayang sekali, saat ini kader dengan mazhab ‘pragmatisme politik’ yang tengah memenangkan pertarungan dan menguasai HMI. Mazhab ini memang sangat mudah diterima dibandingkan mazhab ‘intelektualisme’, karena lebih menjanjikan kenikmatan kekuasaan.
Namun, para kader dengan mazhab ‘intelektualisme’ tidak lantas padam. Kita telah mengenal mendiang Munir dan almarhum Nurcholish Madjid sebagai representasi wajah kader bermazhab ‘inteletualisme’ yang gigih memperjuangkan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Masih banyak lagi kader-kader yang bergerak dengan menanggalkan baju-baju ke-HMI-an, dan lebih mengambil HMI sebagai spirit substansial dan bukannya atribut ideologis yang dangkal.
Kader-kader inilah yang tidak terbaca oleh publik dan media massa sebagai aktivis HMI. Mereka bergerak di jalur liberal dan literal, di kiri dan di kanan. Mereka tak lagi terkungkung dalam sekat-sekat atau baju-baju ideologi sektarian. Kader-kader inilah yang seharusnya membuat “kebesaran” HMI tidak menggelisahkan siapapun. (*)
27 February 2006
Labels: Esai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment