“Ayo Show Dunk, Say…”:
Sebuah Reportase Analitis dari Bilik Warnet
Suatu hari, selepas Asar. Saya mengakhiri koneksi internet. Semua surat elektronik yang masuk ke kotak surat saya sudah terbalas. Beres membayar tagihan di kasir, saya melihat salah satu kawan masih sibuk di depan layar komputer.
Saya mendekatinya. “Chatting, Bro?”
Kawan saya itu, mari kita sebut saja dia Hardian, tersenyum.
“Mana Roni?” Saya menanyakan kawan yang lain.
“Masih internetan di ruang atas. Chatting juga,” jawab Hardian.
Lalu saya menarik sebuah kursi, dan duduk di sebelah Hardian. Di layar, terpampang gambar hidup tiga cewek, yang bisa ditangkap melalui sebuah koneksi kamera. Gambar itu bisa terpampang di layar, jika komputer sang cewek dilengkapi kamera yang terkoneksi di jaringan dunia maya alias world wide web (WWW). Saya bego dan tidak tahu bagaimana secara teknis menjelaskannya. Tapi kira-kira mirip sambungan telpon yang pakai kamera.
Oke, cukup sudah cerita soal teknis. Saya lebih suka menikmati tontonan di layar komputer itu daripada mikir berat-berat soal proses teknologis yang menayangkannya. Kembali ke tiga cewek tadi, semuanya berkulit putih berwajah permai. Lumayan, nilai tujuh setengah. Dua sisanya cantik, nilai delapan. Dan, body ketiganya sama-sama seksi, pakai baju ketat. Namanya, saya tidak tahu. Di atas visual box yang berbentuk layaknya layar televisi itu tertera nama, yang saya yakin samaran, seperti angel_4yu, linaflorist, dan janiestara.
“Wah, sip ini. Kelihatannya hot,” kata saya.
“Ya. Kalau linaflorist mau show. Janiestara juga. Tapi ada juga yang biasanya baru show jam 12 malam,” kata Hardian.
Seumur-umur saya surfing di internet, tidak pernah saya menyentuh yang namanya chatting. Saya hanya sedikit tahu dan kadang sok tahu kalau internet bisa buat chatting. Chat sendiri terjemahan bebasnya adalah ngobrol ngalor-ngidul.
Saat pertama kali berkenalan dengan internet, yang saya tahu, kawan-kawan chatter saya biasa menggunakan fasilitas MlRC. Hari-hari ini, mayoritas mereka lebih suka menggunakan fasilitas Yahoo! Messenger. Untuk bisa ikut ngobrol, seorang user (pengguna) harus punya alamat surat elektronik di Yahoo! Mail atau mendaftarkan diri di Yahoo! Messenger.
Setelah itu, barulah seorang user bisa menjelajahi chat room (tempat atau forum di dunia maya untuk chatting). Chat room yang disediakan di Yahoo! Messenger sangat beragam, mulai berdasarkan klasifikasi kota, negara, atau daerah, atau berdasarkan klasifikasi minat, hobi, profesi pekerjaan, dan bahkan kecenderungan perilaku seksual.
Diperkirakan setiap hari 30 juta orang saling berinteraksi di dunia maya. ICQ punya anggota aktif berusia antara 11 – 98 tahun sebanyak 23 juta dan mencatat pendaftaran anggota baru sebanyak 80 ribu orang setiap harinya. AOL Instant Messenger mengklaim berhasil menjaring 35 juta user setiap hari. (Asiku, 2005)
Yahoo! Messenger menyediakan fasilitas kamera (webcam) dan juga headphone atau earphone untuk melakukan voice connection atau voice chat yang mempermudah komunikasi antar user, baik privat atau bersama-sama dalam suatu forum chatting. Fasilitas seperti webcam inilah yang kemudian disalahgunakan menjadi sarana tontonan seksualitas.
Saya memang belum pernah menemukan atau melakukan survey soal ini. Namun, berdasar pengalaman saya, tema seksualitas paling banyak diminati dalam forum chatting. Namun jangan berharap menemukan kedalaman makna seks dan seksualitas di sini. Semuanya dangkal, instan, dan terburu-buru.
Dalam obrolan berjam-jam dengan cara saling melayangkan (ketik dan kirim) pesan di sebuah room, tema seksualitas tak beringsut jauh dari urusan wilayah dada dan selangkangan. Para user pria akan berupaya membujuk dan menggoda user perempuan agar mau mempertontonkan auratnya, dengan melayangkan pesan mulai dari yang sopan hingga jorok. Pamer aurat ini yang kemudian disebut show.
+ Hallo all!
- Bro, Linaflorist show!
+ Lina, please donk ACC cam nya!
- Lina, mana cam-nya dong sayang!
+ Qta kan juga ingin nenen (maaf, maksudnya: mengisap puting)
- Kalo me-q mau, bro? (me-q dibaca meki, maksudnya: vagina)
+ Ntar moncrot…wakakakakakak!
Show menjadi tujuan tertinggi bagi user cowok dalam sebuah room yang suka obrolan saru. Tak jelas juga, apakah tujuan tertinggi itu terkait dengan pemuasan naluri seksual atau bukan. Pasalnya, jika dibandingkan tontonan film biru, tingkat kevulgaran show tidak ada apa-apanya.
Pada film biru, gambar yang disuguhkan lebih riil dan kualitas gambar lebih bagus dan terang, sehingga bisa cepat mendongkrak birahi. Sementara show di webcam, kualitas gambarnya boleh dibilang tidak terlampau bagus. Bahkan, gerakan gambar lebih lambat dan terpatah-patah karena faktor koneksi jaringan internet.
Selain itu, meminta seorang user untuk show tak mudah. Tak semua user cewek terang-terangan mau langsung buka baju, atau boro-boro berhubungan seks di depan webcam. Alih-alih begitu, untuk mengabulkan permintaan koneksi cam (kamera) saja, tak semua user perempuan bersedia.
Roni, kawan saya yang juga sibuk chatting di warnet yang sama sore itu, mengumpat berkali-kali, karena permohonan koneksi cam-nya ditolak oleh salah satu user cewek. “Juangkrik, kok nggak mau,” desisnya kesal.
Roni tak sendiri. Di layar komputer, bertebaran pesan-pesan dari user pria yang mengemis agar diberi izin koneksi cam. Permohonan akan semakin kencang, jika para partisipan room tahu user cewek yang dituju memang tipe orang yang tak malu-malu meloloskan pakaian di depan kamera, untuk mempertontonkan ‘gunung kembar’.
Room kian ribut jika ada salah satu user cowok yang berhasil mendapatkan koneksi dari user cewek, melayangkan pesan-pesan yang provokatif ke penghuni room lainnya. Apalagi jika tidak buat pamer dan ‘panas-panasan’.
“Wow…nenen…”
“Indahnya nenen sore-sore…”
Roni juga panas. Selama ini ia memang tak secanggih Hardian dalam urusan mengakses show. Kadang, ia marah jika saya iseng-iseng mengirimkan pesan ngawur ke room, saat ia sibuk membujuk salah satu user cewek buat mengizinkan koneksi cam dan show. “Jangan. Nanti dia nggak mau,” tukasnya.
Hardian membenarkan, tak semua user cewek enteng hati untuk membagi koneksi webcam. Ada yang dibujuk susahnya setengah mati. Semua tergantung dari karakter sang cewek. Kadangkala user cewek baru mau membuka diri, jika user cowok sering berinteraksi dengannya dalam room.
“Pernah ada yang sok. Sebelumnya dia tidak pernah nongol di room, tapi sudah berani kurang ajar menggoda-goda dengan vulgar. Ya tidak dikasih,” kata Hardian, ketawa.
Hardian sendiri kadang lebih suka membujuk dengan kata-kata yang tak terlampau vulgar, meski menjurus ke ‘selangkangan’ juga. Tapi kalau memang user cewek dikenal hot, seperti janiestara atau linaflorist, maka message (pesan) yang dikirimkan bisa tanpa basa-basi.
User cowok yang biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengakses chat room, biasanya sudah paham betul user cewek mana yang enteng hati buat show. Saya sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri seorang user cewek bermasturbasi dalam keadaan bugil.
“Cewek ini orang Indonesia, kayaknya sih orang Medan, yang tinggal di AS. Umurnya sekitar 36-an tahun. Kalau show memang gila-gilaan,” kata Hardian menunjuk salah satu user cewek yang hobi masturbasi itu. Kalau user cewek satu ini online, maka koneksi webcam miliknya langsung full. User cowok banyak yang mengantri untuk bisa mengakses.
Kadang antar user cowok saling bantu dalam urusan mengakses show. Jika seorang user cowok berkali-kali gagal membujuk seorang user cewek untuk mendapatkan izin koneksi webcam, maka ia akan minta tolong kepada user cowok lainnya untuk me-relay tayangan show tersebut.
Cara me-relay cukup gampang. Tinggal arahkan webcam ke visual box yang memampang show user cewek. Namun, kualitas gambar tak terlampau bagus.
Selain dengan relay, penyiasatan untuk bisa mengakses tayangan show adalah dengan menggunakan program yang disebut YIntai. “YIntai digunakan untuk melihat cam dari daftar user ID yang dimiliki,” kata Hardian.
Eksploitasi Seksual?
Tanpa ragu, penggunaan webcam chatting untuk urusan seksualitas (cybersex) akan dikategorikan dalam ranah pornografi. Banyak definisi pornografi yang bisa dirangkum dalam berbagai pustaka. Namun semuanya memiliki kata-kata kunci yang sama dan dapat dipertautkan dalam satu benang merah: ‘tulisan/gambar’, ‘berahi’, ‘kelamin’, dan ‘nudis’/’telanjang’. Semuanya menjurus pada satu justifikasi gradasi moralitas: amoral dan rendahan.
Yang menarik, setiap definisi pornografi selalu ditempatkan dalam perspektif relasi perempuan – laki-laki yang diwarnai aroma maskulinitas atau dominasi patriarkis. Perempuan selalu ditempatkan sebagai objek, korban yang tak berdaya. Sementara lelaki adalah kuasa itu sendiri, subjek yang menindas.
Simak saja Catherine A. MacKinnon dan Andrea Dworkin. Mereka mendefinisikan pornografi sebagai “Penggambaran tegas perendahan perempuan secara seksual melalui gambar dan/atau perkataan, dan termasuk di dalamnya perempuan yang didehumanisasi serta diobjekkan, sebagai seseorang sedang menikmati kesakitan, perendahan martabat, maupun perkosaan dalam konteks yang membuat kondisi-kondisi ini menjadi seksual.” (Yatim, 2004).
Definisi ini seperti sudah given, dan menjadi keniscayaan: pornografi menempatkan perempuan sebagai pihak yang dikalahkan. Ketelanjangan perempuan adalah simbol kekalahan itu.
Namun, benarkah cyberseks dalam dunia interaktif (chatting) menempatkan perempuan sebagai objek, liyan yang terkalahkan? Benarkah sebuah show di webcam adalah sejenis pornografi, yang menuruti keyakinan Dworkin, menjual dan memunculkan kekerasan terhadap perempuan?
Sepintas keyakinan itu tampaknya benar. Chat room tidak lepas dari bias patriarkis. Bias itu sudah bisa dilihat dari pemilihan nama identitas (ID). Saya banyak menemukan user cowok menggunakan ID dengan nama berbau maskulin, seperti kontol_gede29, tukang_remes_susu, tititsuka_itil, atau gigolo_siaptempur. Beda dengan user cewek yang cenderung menggunakan nama sapaan normal seperti tika-ayu atau tina-tiana.
Namun, kendati keyakinan itu sepintas benar, saya tak punya jawaban meyakinkan, kecuali kembali kepada Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis itu. Suatu saat Sartre bicara tentang konsepsi ‘Diri (self)’. ‘Diri’ terbentuk secara kontinyu yang diciptakan kembali setiap saat melalui pilihan-pilihan manusia sendiri. Konsepsi kesadaran akan ‘Diri’ selalu terbentuk melalui persinggungan dengan manusia lainnya.
Marilah kita ringkas penjelasan Sartre dengan bahasa yang semoga tidak melip dan ndakik. Sebagai ‘Diri’, seorang Hardian saat ber-chatting ria memiliki relasi dengan objek-objek di sekitarnya. Ia berkomunikasi dengan user cowok lain, sesekali melihat jam dinding untuk memastikan waktu, atau menoleh ke kanan-kiri, sekadar mengibaskan pegal dan mungkin sedikit kebosanan.
Saat saya sapa dan ajak bicara, Hardian masih nyambung dan mau menjawab panjang. Ia menempatkan saya sebagai salah satu objek dalam dunianya yang memiliki relasi dengannya, sehingga ‘harus’ atau ‘tidak harus’ ditanggapi saat bicara. Sederhananya, Hardian masih menempatkan dirinya sebagai subjek yang mengendalikan objek di sekitarnya. Dalam bahasa Sartre, Hardian memiliki dunianya sendiri.
Namun, semua relasi itu hancur seketika, ketika linaflorist atau janiestara nongol melalui webcam untuk sekadar menunjukkan payudaranya. Linaflorist dan janiestara telah mencuri dunia sang user cowok. Hardian disedot ke dalam dunia orang lain, dunia linaflorist dan janiestara.
Semua perhatiannya untuk janiestara dan linaflorist. Ia tak lagi mempedulikan objek di sekitarnya: pertanyaan saya dijawab sepotong-potong bahkan sekenanya, durasi chatting yang sudah lebih dari lima jam (yang berarti tagihan rental semakin bengkak) tak dipedulikan, tidak peduli dengan ocehan user cowok lainnya.
Mendadak Hardian menjadi objek bagi dunia orang lain. Ia merayu-rayu sang user cewek untuk show. Menempatkan diri sebagai subordinat yang bersedia menanti untuk sekadar melihat ‘harta’ user cewek. Sang user cewek sendiri berhak menolak mengabulkan desakan untuk show, atau bahkan tak mengabulkan izin koneksi webcam. Tak ada yang bisa memaksanya.
Maka, “neraka adalah orang lain,” pekik Sartre.
Benar. Kehadiran linaflorist atau janiestara telah membuat Hardian memaknai ulang dunianya. Sebelum linaflorist dan janiestara hadir, ia melihat semua di sekitarnya: “saya”, “jam dinding”, “chatroom”, adalah ‘untuknya’. Sekarang semuanya beralih menjadi ‘untuk linaflorist dan janiestara’, termasuk Hardian sendiri.
‘Kekalahan’ itu semakin sempurna, ketika Hardian harus membayar tagihan sewa internet yang begitu besar. Koceknya jebol kobol-kobol. Bahkan sempat saya dengar gosip kiri-kanan, ia punya tunggakan billing (tagihan) di atas angka Rp 1 juta kepada pengelola warnet. “Hardian kalau chatting bisa berjam-jam. Kalau saya sih tidak usah lama-lama. Cukup buat refreshing,” kata Roni.
Jika kita sepakat penjelasan yang sedikit Sartrenian ini, chat room adalah ruang transformasi dari subjek menjadi objek. Transformasi dari kemenangan maskulin menjadi kebodohan dominasi patriarkis.
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Mudah saja. Ini karena Hardian atau user cowok lainnya masih memandang linaflorist atau janiestara sebagai orang, sebagai manusia. Jika mereka dipandang sebagai – katakanlah – boneka, maka mereka sama saja dengan objek-objek lain yang di bawah ordinat Hardian, yang bakal diabaikan begitu saja.
Jadi, kesimpulannya: apakah show di chat room bisa dikatakan sebagai ruang pembebasan bagi perempuan, ruang ‘memanusiakan’ perempuan, dan bukan ruang eksploitasi? Jawab saya: pikirin saja sendiri. Auk ah gelap…Daripada saya digeruduk FPI atau dibawa ke kepolisian karena dikira mendukung pornografi…Adios… (*)
27 February 2006
Labels: Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment