13 March 2006

Filsafat Menulis dan RUU APP
Malam, 23.40 (12/3/06)

Hari-hari ini, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tengah diperdebatkan. Bersyukurlah, kita memperdebatkan sesuatu yang ‘telah tertulis’ dalam bentuk draft.

Namun, pertanyaannya: sudahkah RUU APP memenuhi kaidah dari apa yang disebut sebagai filsafat menulis ketika dituliskan? Ataukah RUU ini terlalu terburu-buru disodorkan ke publik untuk dikomunikasikan melalui tuturan sebelum tuntas ‘dituliskan’?

Filsafat menulis dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana: untuk apa kita menulis? Mungkin jawabnya: menulis adalah cermin diri, sebuah upaya bagi kita untuk rehat dari hiruk-pikuk komunikasi dengan orang banyak.

Berbicara dengan orang banyak adalah sebuah proses komunikasi sosial yang alamiah. Bertutur adalah upaya untuk mewujudkan maksud kita terhadap yang lain. Tampaknya tak ada yang janggal dengan proses komunikasi ini.

Namun sesungguhnya dalam setiap pembicaraan, dialog, dengan orang lain, kita disibukkan dengan pertarungan yang tak tampak. Komunikasi dengan liyan adalah imagined battleground.
Dalam setiap dialog, trialog, atau lebih, kita selalu dihadapkan pada proses penaklukan. Setiap gagasan yang dijelmakan dalam tuturan selalu bersaing untuk bisa diterima, dan kemudian diyakini sebagai kebenaran bersama.

Setiap gagasan yang bertutur adalah gagasan yang mencoba untuk menang dan tak mau kalah dengan gagasan lawan bicara. Gagasan itu harus menghancurkan gagasan yang lain melalui sodoran rasionalisasi atau dalih yang dinilai ilmiah berdasar kategori tertentu.

Gagasan dalam sebuah komunikasi harus saling menghancurkan, karena mereka berangkat dari sebuah idealitas, sebuah titik capaian tertinggi yang harus digapai dalam realitas. Dan sebuah idealitas jelas minim keseragaman, sebab ia berawal dari pola kognitif yang dibentuk struktur sosial kita. Pertarungan gagasan adalah pertarungan struktur sosial kita masing-masing.

Memang, ada yang mengatakan, setiap dialog, komunikasi, dan diskusi selalu menghasilkan konsensus. Konsensus terbentuk dari sebuah kompromi atas pertarungan komunikasi yang harus diselesaikan.

Tapi tidakkah kita sadar, bahwa dengan konsensus, sebuah kebenaran (dengan K besar) tak akan pernah ditemukan? Kebenaran apa yang bisa didapat, jika itu berasal dari sebuah kesepakatan? Apalagi sebuah kompromi dan kesepakatan tidak dengan otomatis membebaskan dua orang atau lebih yang saling bicara dari hegemoni dan kuasa salah satu pihak.

Kompromi dalam sebuah komunikasi sebenarnya adalah sebuah titik pengakuan terhadap kebenaran liyan. Kebenaran di sini boleh jadi tercipta karena liyan itu lebih pandai dan cerdik melemparkan dalih dan dalil. Kebenaran muncul dari sebuah pengakuan atas otoritas pengetahuan dalih dan dalil. Bukan melalui prosedur refleksi yang panjang.

Maka jelaslah sudah, sebuah komunikasi, dialog, trialog atau lebih, tak pernah berangkat dari titik nol. Mereka yang terlibat dalam komunikasi tidak pernah berada pada titik kemampuan yang sama untuk memulai. Selalu ada yang lebih cerdik cendekia, pandai berkonsep, atau cakap berpidato, sehingga mampu memukau dan memaksa orang lain mengakui kebenaran gagasannya.

Lalu di manakah kebenaran (dengan K besar), jika itu berasal dari pengakuan takluk dan keterpukauan? Apakah ini berarti kita menganggukkan kepala untuk Foucault yang dengan yakin menyatakan bahwa pengetahuan ditentukan oleh kuasa wacana?

Jika kita lelah dengan pertarungan tuturan itu, maka saatnya kita menoleh pada ‘menulis’. Dalam aktivitas ‘menulis’, kita mungkin saja masih harus terlibat pertarungan yang lain: menghadapi berderet-deret referensi yang ingin dijejalkan. Namun, kita masih bisa memilih untuk menulis tanpa meliriknya. Memilih untuk menulis tanpa menoleh pada referensi tak ubahnya sebuah solilukui, sebuah nyanyi sunyi. Gumam terhadap diri sendiri.

‘Menulis’ memungkinkan kita untuk berbicara tanpa tindasan apapun. Kita mencari kebenaran dalam refleksi atas pengalaman. Kita menunda untuk memaknai kebenaran atas sesuatu sebelum kita merasakan dan merenungkannya.

Lantas akankah kita menemukan kebenaran (dengan K besar)? Jawabnya, ya dan tidak. Ya, jika kita yakin bahwa apa yang kita pikirkan dan temukan dalam perenungan adalah kebenaran abadi itu. Yakin dengan ini, berarti kita membatasi pencarian kebenaran dan membekukannya, untuk kemudian ditafsirkan sebagai sesuatu yang absolut.

Tidak, jika kita percaya, bahwa pikiran dan pengalaman masih harus terus dibenahi, melalui perjalanan hidup yang terbatas. Jika kita percaya dengan yang kedua, maka bersyukurlah. Karena itu berarti kita percaya tidak ada yang lebih mutlak daripada Kebenaran itu sendiri. Karena itu berarti kita percaya, pikiran manusia tak akan pernah berhenti mencari. ‘Menulis’ hanyalah bagian dari pencarian kebenaran itu.

Jika kita tuntas memahami ini, maka sebuah tulisan yang memenuhi kaidah ‘filsafat menulis’ akan lebih mudah didialogkan dalam komunikasi berupa tuturan. Sebab tak akan ada pihak yang melakukan klaim otoritas atas kebenaran moral atau agama.

Hari-hari ini, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi diperdebatkan. Setiap tuturan adalah upaya penaklukan. Pertanyaannya, sudahkah RUU itu berhasil menemukan ‘Kebenaran’ dalam ‘proses menulis’ sebelum diperdebatkan? Semoga komunikasi publik atas RUU tersebut selama ini bukanlah imagined battleground yang sia-sia. (*)

No comments: