18 April 2005

Konflik Internal Partai Saat Pilkada
Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Jember

Abstraksi
Republik Indonesia mencatat sejarah politik pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten secara langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung oleh rakyat tersebut menggantikan model pemilihan pemimpin eksekutif melalui jalan parlementer sebagaimana yang dipahami masyarakat Indonesia selama ini. Kabupaten Jember merupakan salah satu daerah pertama yang menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung.

Pemilihan itu berjalan lancar tanpa adanya kerusuhan yang berarti sebagaimana dikhawatirkan sebagian kalangan. dan Namun yang patut dicatat, pilkada memunculkan konflik internal di sejumlah partai politik, terutama yang memiliki kursi di parlemen.

Tulisan ini hendak memaparkan bagaimana terjadinya konflik di masing-masing partai tersebut, sekaligus mencari benang merah kesamaannya. Tulisan ini menyodorkan tesis bahwa konflik internal terjadi karena dua hal.

Pertama, terjadinya perbedaan antara pilihan dewan pimpinan pusat masing-masing partai dengan aspirasi bawah. Kedua, perbedaan aspirasi dukungan dan model pengambilan keputusan di tingkatan cabang.

I. Partai dan Dinamika Politik Indonesia
Babakan awal sejarah demokratisasi di Indonesia yang dimotori para mahasiswa bersama Bapak Reformasi Amien Rais pada tahun 1998 dibuka dengan runtuhnya rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Soeharto yang sempat dinobatkan oleh salah satu majalah asing sebagai orang terkuat di Asia, dipaksa mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Tekanan massa dan kerusuhan di mana-mana setelah tewasnya sejumlah mahasiswa, membuat Soeharto tak berdaya. Akhirnya, ia digantikan oleh Baharuddin Jusuf Habibie, wakil presiden yang dikenal sebagai anak emas di masa Orde Baru.

Runtuhnya kekuasaan Soeharto membuka era politik baru yakni semakin terbukanya partisipasi publik dalam mengelola roda pemerintahan, sebagai salah satu syarat demokrasi. Moh. Hatta (1976) menegaskan, demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri. Kekuasaan yang pertama ada pada Dewan Rakyat; kekuasaan kedua pada Pemerintah; dan kekuasaan yang ketiga dilakukan oleh Hakim, yang lepas dari pengaruh Dewan Rakyat dan Pemerintah.

Salah satu penanda era tersebut adalah dibukanya ruang bagi masyarakat dari semua golongan untuk mendirikan partai politik. Terbukanya ruang partisipasi politik ini merupakan angin segar bagi iklim bernegara di Indonesia, setelah kita mengalami apa yang disebut Amien Rais (1999) sebagai praktik tiga macam demokrasi: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila, yang semuanya terbukti amburadul.

Era Reformasi yang digulirkan Amien Rais dan para mahasiswa membuka harapan datangnya era keemasan demokrasi sebagaimana yang ditunjukkan pada masa-masa awal Republik Indonesia. Tahun 1950 hingga sebelum Dekrit Presiden 1 Juli 1959 dikenang sebagai masa demokrasi ideal bagi Indonesia.

Saat itu, jumlah partai politik cukup berlimpah, mulai dari partai berskala nasional hingga partai lokal. Semua partai mengusung ideologi masing-masing. Tapi tak ada gesekan berupa pertumpahan darah dan adu fisik antar anggota dan pendukung partai yang berseberangan.

Pada 29 September 1955, pemilihan umum dengan asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) diselenggarakan dalam iklim yang sepenuhnya demokratis. Kali kini untuk memilih anggota DPR dari tingkat pusat sampai kabupaten. Kemudian pada bulan Desember diadakan lagi pemilihan umum untuk anggota-anggota Majelis Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh tidak kurang dari 28 golongan politik (partai-partai dan calon perorangan). (Maarif, 1996)

Pemilu itu menghasilkan empat besar pemenang, yakni Partai Nasional Indonesia yang merepresentasikan ideologi nasionalis, Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang merepresentasikan ideologi Islam modernis, Nahdlatul Ulama yang merepresentasikan ideologi Islam tradisionalis, dan Partai Komunis Indonesia yang merepresentasikan ideologi komunis.

Pemilu itu diikuti dengan pergantian kabinet berkali-kali. Tak ada kabinet yang bisa bertahan lama, karena selalu digoyang lawan politik. Begitu mudahnya pergantian kabinet ini dikarenakan Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Pasca pemilu pula, perseteruan antar partai begitu seru. Perseteruan paling keras dan kuat terjadi dalam sidang-sidang Konstituante yang membahas dasar negara.

Kelompok Islam menghendaki Republik Indonesia berdasarkan asas Islam. Kelompok nasionalis menginginkan Pancasila yang digali Bung Karno sebagai dasar negara. Sementara kelompok komunis sebenarnya menghendaki ideologi Marxisme-Leninisme. Namun, kelompok komunis juga lebih banyak menyokong sikap kelompok nasionalis sebagai bentuk perlawanan terhadap kelompok Islam.

Berlarut-larutnya sidang Konstituante membuat Presiden Sukarno tak sabar. Tahun 1959, tepatnya pada tanggal 5 Juli, ia mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante dan mengembalikan dasar dan arah negara ke Pancasila dan UUD 1945. Ia juga memperkenalkan konsepsi tiga kaki yang merupakan penyeimbang bagi kekuatan militer, yakni konsep Nasakom. Nasakom ini singkatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tiga partai besar menyokong konsepsi ini, yakni Partai Nasional Indonesia yang merepresentasikan kaum nasionalis, Nahdlatul Ulama yang merepresentasikan kaum agama, dan Partai Komunis Indonesia dari unsur komunis.

Konsepsi Nasakom sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan. Sejak muda Sukarno dikenal sangat berambisi menyantukan tiga pilar ini. Cita-cita besar ini bisa diketahui dari karya-karya Sukarno muda yang membahas Islam, Marxisme, dan nasionalisme.

Sebagai tokoh gerakan, Sukarno memang dibesarkan di tengah tiga ideologi ini. Ia berguru kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam yang pernah menulis tentang Islam dan Sosialisme. Ikut berguru dengan Soekarno adalah Semaoen, yang pada akhirnya menjadi salah satu pelopor komunis di Indonesia dan mendirikan Serikat Islam Merah yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia.

Penerapan konsepsi ini diikuti pembekuan terhadap partai-partai yang dianggap tak sepaham. Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia adalah dua partai utama yang dimatikan rezim otoritarian Sukarno. Selain partai politik, pers juga dibungkam.

Pasca tragedi 30 September, rezim Sukarno runtuh. Aksi-aksi masif mahasiswa menyuarakan tuntutan penurunan harga, perombakan kabinet, dan pembubaran PKI membuat Sukarno kewalahan. Sementara Tentara Nasional Indonesia didukung sejumlah organisasi massa bergerak membubarkan PKI yang dituduh sebagai biang peristiwa 30 September.

Harapan kehidupan yang lebih demokratis sempat melambung saat Orde Baru berkuasa. Sejumlah partai yang dibubarkan semasa Sukarno, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia mencoba bangkit lagi. Namun dihadang oleh pemerintahan Soeharto. Bapak Proklamator Moh. Hatta mencoba mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Namun juga dilarang oleh rezim Orde Baru. Akhirnya eks politisi Masyumi mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Tapi rezim Orba melarang mantan tokoh Masyumi seperti Moh. Natsir menduduki kursi ketua.

Dengan diwarnai pencekalan terhadap kelompok tertentu inilah, rezim Orde Baru menggelar pemilu 1971. Diikuti sepuluh partai, pemilu ini hanya menjadi stempel bagi kemenangan Golongan Karya yang memang disiapkan sebagai partai pemerintah.
Kehendak menjadikan Golongan Karya sebagai kendaraan politik rezim semakin jelas, setelah pada tahun 1973 pemerintah mengeluarkan keputusan fusi partai. Jumlah partai dibatasi menjadi tiga saja.

Partai-partai sealiran dan segaris diperintahkan untuk menggabungkan diri. Maka terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan penyatuan partai-partai berideologi Islam, seperti Partai Muslimin Indonesia, Nahdlatul Ulama, atau Partai Sarekat Islam Indonesia; dan Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan gabungan Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen, dan sejumlah partai nasionalis.

Hanya Golongan Karya yang dibiarkan utuh tanpa harus berfusi. Golongan Karya dianggap sebagai salah satu pelopor Orde Baru yang sebelumnya berbentuk Sekretariat Bersama (Sekber).

Pemilu-pemilu berikutnya tidaklah menarik lagi. Selama tiga dasawarsa Rezim Militer dan Birokrasi bersekutu mematikan partai politik dengan membatasi jumlahnya menjadi tiga, dan tidak memberikan peran signifikan kepada partai-partai tersebut kecuali kepada Golongan Karya.

Golongan Karya dengan berbagai rekayasa selalu menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara telak. Perlawanan sempat terjadi dalam pemilu 1977 dan 1982, di mana saat itu Partai Persatuan Pembangunan dengan secara mengejutkan sempat memenangkan perolehan suara di Ibu Kota Jakarta. Namun secara umum, pemilu semakin menguatkan Golongan Karya sebagai salah satu pilar A-B-G (ABRI – Birokrat – Golkar) yang menopang rezim Soeharto.

Soeharto tengah mencoba eksperimen baru, yakni Demokrasi Pancasila. Jelas sekali demokrasi ala Soeharto: tidak memberikan kesempatan bagi check and balance sebagai prasayarat dari sebuah demokrasi. (Rais, 1998)

Pembungkaman Orde Baru terhadap kekuatan sosial politik semakin memuncak pada era 1980-an. Sejak tahun 1984, Soeharto menginstruksikan agar semua partai politik dan organisasi massa berasaskan Pancasila. Keputusan ini membuat partai seperti PPP rela melepaskan asas Islam yang selama ini diyakini. Kelompok nasionalis pun tak diperkenankan menggunakan asas Marhaen atau Sosio Demokrasi sebagaimana ajaran Sukarno.

Mei 1998, Soeharto dilengserkan mahasiswa sebagaimana Sukarno dijatuhkan oleh aksi-aksi serupa tahun 1966. Gairah berpolitik kembali muncul di tubuh masyarakat. Orang berlomba-lomba mendirikan partai politik dengan ideologi berbeda-beda. Ada tiga jenis partai.

Pertama, partai yang mengandalkan romantisme politik aliran masa Orde Lama, yang menyebabkan pada saat bersamaan muncul partai-partai dengan nama dan ideologi yang sama. Contohnya Partai Nasional Indonesia dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Sementara itu, warga Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi massa terbesar di Indonesia juga berlomba-lomba mendirikan partai dan mengaitkannya dengan nama NU.

Kedua, partai peninggalan masa Orde Baru dan sudah berdiri pada masa itu, namun bergerak secara bawah tanah. Contoh partai peninggalan Orde Baru ini adalah Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia. Sementara partai bawah tanah yang muncul di permukaan adalah Partai Rakyat Demokratik dan juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Sukarnoputri yang merupakan lawan PDI pimpinan Suryadi yang didukung Orde Baru.

Ketiga, partai yang mencoba melepaskan diri dari stigma masa Orde Lama dan Orde Baru. Namun partai yang mencoba lepas dari stigma ini terbagi dua golongan, yakni beraliran agama seperti Partai Keadilan dan beraliran plural inklusif sekaligus demokratis. Aliran yang terakhir ini banyak ditunjukkan oleh Partai Amanat Nasional.

Menurut M. Amien Rais (2003), sejak awal kelahirannya pada 23 Agustus 1998, PAN berusaha menampilkan wajah Indonesia yang majemuk dan teduh, serta menekankan pentingnya saling asah, asuh, dan asih diantara sesama kelompok bangsa dari latar belakang agama, suku, ras, tradisi, dan berbagai perbedaan alaminya. Tak heran jika kemudian deklarasi PAN didukung sejumlah tokoh lintas sosial agama seperti Goenawan Mohamad, Faisal Basri, Bara Hasibuan, atau Sindhunata.

Tahun 1999, pemilihan umum demokratis multi partai digelar setelah selama tiga dasawarsa rezim Orde Baru menciptakan demokrasi semu. Pemilu ini untuk memilih wakil-wakil rakyat dengan sistem proporsional. Hasilnya, secara nasional, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraup suara terbanyak diikuti Partai Golongan Karya. Namun, partai politik pemenang pemilu di setiap daerah bisa berbeda-beda, dan tak seragam sebagaimana era Orde Baru.

Era Reformasi politik ditandai dengan desentralisasi atau disebut juga era otonomi daerah. Otonomi daerah adalah jawaban dan kompromi terhadap tuntutan daerah untuk bisa lebih berdaya sekaligus jawaban atas konsep negara federal yang sempat mencuat. Konsep otonomi daerah ini diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 25/1999, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut UU No. 32/2004 pasal 1 ayat (6), otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ditegaskan dalam ayat (2), pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud UUD 1945.

Salah satu konsekuensi konsep otonomi daerah adalah hak daerah untuk menentukan pimpinan wilayah sendiri, dan tidak lagi dipaksa menerima calon dari pemerintah pusat. Parlemen hasil pemilu 1999 kemudian memainkan peran signifikan untuk memilih kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Partai politik mendapat tempat yang layak untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Kemajuan proses demokrasi Indonesia berlangsung cepat. Tahun 2004, sejarah telah ditorehkan, setelah rakyat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Prosesi kenegaraan ini mendapat pujian dari dunia, karena berlangsung damai dan relatif tanpa konflik berdarah sebagaimana sempat ditakutkan sejumlah pihak. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla terpilih sebagai duet presiden – wakil presiden Indonesia pertama yang dipilih oleh rakyat sendiri.

Setelah presiden dan wakilnya dipilih secara langsung, otomatis gubernur dan walikota/bupati pun akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Tahun 2005 menjadi momentum bersejarah, karena secara nasional ada 170 kabupaten/kota dan enam provinsi yang mesti bersiap menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Khusus di Jawa Timur, ada 16 kabupaten/kota yang memasuki masa pergantian orang nomor satu pada tahun 2005 (Harian Suara Indonesia, 4/10/2004).


II. Prosesi dan Konflik Pilkada Tahun 2000 di Jember
Pemilu 1999 di Kabupaten Jember berhasil menentukan 45 wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Partai Kebangkitan Bangsa mendudukkan 17 wakilnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menempatkan 11 wakilnya, Partai Golongan Karya menempatkan 4 wakilnya, Partai Persatuan Pembangunan mendudukkan 3 wakilnya, Partai Amanat Nasional menempatkan 2 wakilnya, Partai SUNI menempatkan 1 wakilnya, dan Partai Kebangkitan Umat menempatkan 1 wakilnya.

Dengan jumlah kursi tersebut, DPRD Kabupaten Jember memiliki empat fraksi hasil pemilu ditambah satu fraksi TNI Polri yang beranggotakan lima orang. Empat fraksi itu adalah Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Karya Suni yang merupakan gabungan Partai Golkar dengan Partai SUNI, dan Fraksi Persatuan Amanat Umat yang merupakan gabungan Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Umat.

Sebagai penguasa kursi mayoritas, Fraksi Kebangkitan Bangsa menempatkan salah satu wakilnya sebagai ketua DPRD Jember, yakni Muchson Sudjono. Politisi yang juga Ketua Tanfidz Dewan Pempinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Jember ini dibantu oleh tiga wakil ketua, yakni Baharuddin Nur dari Fraksi Persatuan Amanat Umat, Machmud Sardjujono dari Fraksi Karya Suni, dan Warsono Mulyadi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Berbekal kursi mayoritas ini, Partai Kebangkitan Bangsa dengan didukung elemen masyarakat, terutama dari kalangan Nahdliyyin, menempatkan KH Yusuf Muhammad LML sebagai kandidat bupati menggantikan Bupati Winarno yang telah habis masa jabatannya.

KH Yusuf Muhammad akrab disapa dengan panggilan Gus Yus. Ia adalah pengasuh pondok pesantren modern Darus Sholah, dan menjadi anggota DPR RI untuk Fraksi Kebangkitan Bangsa. Ia juga sempat diangkat sebagai ketua fraksi di DPR RI. Nama Gus Yus sangat diperhitungkan dalam percaturan politik di Jember. Sebagai bagian dari trah Bani Siddiq atau keluarga Talangsari, ia memiliki karisma dan ketokohan yang besar.
Pesaing Gus Yus ke tampuk jabatan bupati adalah Samsul Hadi Siswoyo. Ia adalah mantan walikota administratif Jember. Pria asli Bojonegoro ini berpasangan dengan Bagong Sutrisnadi, dan dijagokan oleh Partai Persatuan Pembangunan.

Secara matematis, kemenangan Gus Yus sudah di depan mata. Warga Nahdliyyin sudah optimistis calonnya tersebut bakal menang, mengingat Fraksi Kebangkitan Bangsa sudah menguasai 17 suara. Tinggal enam suara lagi, Gus Yus dipastikan menjadi bupati.
Namun kalkulasi matematis tak selamanya sama dengan realitas politik. Samsul Hadi Siswoyo justru berhasil memenangkan voting dengan 23 suara.

Diperkirakan, partai-partai dan fraksi yang menyumbangkan suara untuk Samsul adalah Partai Persatuan Pembangunan (4 suara), Partai Amanat Nasional (2 suara), Partai Kebangkitan Umat (1 suara), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (11 suara), Fraksi TNI Polri (5 suara). Sementara suara untuk Gus Yus berasal dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (17 suara) dan Fraksi Karya Suni (5 suara).

Kekalahan Gus Yus memicu konflik internal di tubuh warga Nahdliyyin. Fraksi Kebangkitan Bangsa dinilai tak serius menggalang upaya pemenangan Gus Yus. Sementara itu, di lain pihak, warga Nahdliyyin membanjiri gedung DPRD Jember dan menggelar aksi massa berkali-kali setelah pemilihan bupati tersebut. Mereka menyatakan penolakan atas hasil pemilihan tersebut, karena dinilai mengingkari aspirasi masyarakat Jember yang mayoritas berkultur Nahdliyyin.

Berdasarkan hasil kajian Zainul Munasichin (2003), dalam perkembangannya, warga NU menunjukkan kritisisme terhadap pemerintahan Samsul Hadi Siswoyo dengan menjadi oposisi. Salah satu kebijakan yang getol dikritisi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama adalah masalah relokasi pedagang kaki lima.

Fraksi Kebangkitan Bangsa tak bersikap reaktif atas kekecewaan warga Nahdliyyin. Bahkan mereka cenderung hati-hati. Kehati-hatian ini salah satunya ditunjukkan dengan memprotes pemberitaan media lokal yang dinilai bisa memanaskan hubungan Fraksi Kebangkitan Bangsa dengan Nahdlatul Ulama.

Seorang wartawan Radar Jember (kelompok Jawa Pos) pernah dimarahi Ketua DPRD Jember Muchson Sudjono karena mengangkat berita soal rapor kinerja para wakil rakyat. Berita yang dimuat sebagai headline tersebut mengutip komentar Ketua PCNU Jember KH Muhyiddin Abdussomad yang memberikan nilai sangat buruk terhadap kinerja dan kristisme DPRD. Sebagai fraksi dengan suara terbesar, Fraksi Kebangkitan Bangsa mau tidak mau merasa tersodok juga dengan penilaian itu.

III. Prosesi dan Konflik Pilkada Tahun 2005 di Jember
III.1 Proses Internal Parpol
Tahun 2005, masa jabatan Bupati Samsul Hadi Siswoyo berakhir. Pemilihan kepala daerah kembali dilangsungkan untuk mencari kepala daerah baru. Berbeda dengan lima tahun silam, kepala daerah kali ini dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh perwakilan rakyat di DPRD Jember. Pemilihan secara langsung ini merujuk pada pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 yang menobatkan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia menggantikan Megawati Sukarnoputri dan Hamzah Haz.

UU Nomor 32/2004 pasal 56 ayat (1) menyebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ayat (2) menyebutkan juga, pasangan calon sebagaimana dimaksud diajukan oleh partai politik atau gabungan politik.

Mulanya, sebagaimana dalam penjelasan pasal 59 ayat (1), yang bisa mencalonkan bupati adalah parpol atau gabungan parpol yang punya kursi di DPRD. Tapi Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkannya, sehingga parpol/gabungan parpol yang tak punya kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan, asal memiliki suara 15 persen dari jumlah suara sah pemilu 2004. (Suara Indonesia, 24/03/2005)

Pemilihan kepala daerah langsung ini menarik minat banyak kalangan. Partai politik sebagaimana amanat Undang-Undang membuka pintu selebar-lebarnya kepada kandidat dari luar partai dengan menggelar konvensi. Konvensi ini dilakukan terutama oleh partai-partai yang memiliki kursi di parlemen, mengingat UU memberikan keuntungan kepada partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 15 persen suara di parlemen untuk bisa mengajukan calon.

Sejumlah partai yang menggelar pintu konvensi adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional, dengan model dan cara yang berbeda-beda. Sementara itu, Partai Golongan Karya melalui Musyawarah Daerah telah menetapkan Machmud Sardjujono yang juga ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jember untuk maju sebagai calon bupati.

Partai Kebangkitan Bangsa mensyaratkan setiap calon yang hendak mendaftar melalui pintu partai tersebut harus mendapat dukungan minimal 40 persen Pengurus Anak Cabang. Lalu akan diadakan fit and proper test oleh Tim Mantap (Majelis Penetapan) yang terdiri atas lima orang dengan dipimpin langsung Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKB Jember, HM Madini Farouq.

Tim Mantap ini akan mengajukan lima nama yang dianggap layak ke Dewan Pimpinan Wilayah PKB Jawa Timur. Dewan Pimpinan Wilayah ini akan merekomendasikan dua nama untuk dipilih oleh Dewan Pimpinan Pusat PKB di Jakarta sebagai kandidat yang diberangkatkan ke arena pilkada. (Suara Indonesia, 27/01/2005)

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menggelar semacam konvensi yang melibatkan seluruh pengurus cabang, anak cabang, hingga ranting dalam Rapat Kerja Cabang Khusus. Rakercabsus akan menentukan nama pasangan yang direkomendasikan ke Dewan Pimpinan Daerah dan kemudian Dewan Pimpinan Pusat. Namun berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa, dalam Rakercabsus ini, untuk mengetahui aspirasi warga partai dilakukan semacam pemungutan suara. Total warga PDI Perjuangan yang ikut serta dalam Rakercabsus sekitar 2300 orang. (Suara Indonesia, 20/02/2005)

Partai Amanat Nasional tidak bisa memberangkatkan sendiri pasangannya dan harus berkoalisi dengan partai lain agar memenuhi ketentuan 15 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun konvensi tetap digelar dengan melibatkan sekitar 60 pengurus Dewan Pimpinan Daerah dan perwakilan Dewan Pimpinan Cabang. Sebagaimana konvensi PDI Perjuangan, konvensi di PAN juga melewati prosesi voting. Namun, PAN menetapkan nama kandidat wakil bupati berasal dari kader sendiri.

Semangat keterbukaan tiga partai tersebut membuat bermunculan kandidat-kandidat kepala daerah yang mencoba peruntungan di konvensi. Namun hasil konvensi di tingkatan kabupaten di masing-masing partai sudah didominasi sejumlah nama.

Dalam konvensi PAN, muncul empat nama kandidat bupati yang tak asing lagi, yakni Bagong Sutrisnadi (Wakil Bupati Jember 2000 – 2005), Samsul Hadi Siswoyo (Bupati Jember 2000 – 2005), Djoewito (Sekretaris Kabupaten Jember), dan Moch. Sholeh (Kepala Dinas Pendidikan Pamekasan). Sementara untuk kandidat wakil bupati, muncul nama Rendra Wirawan, H Umar Fauzi, KH Lutfi Achmad, dan Totok Siantoro.

Sementara itu, ada tujuh nama kandidat bupati yang masuk ke Tim Mantap Partai Kebangkitan Bangsa Jember, yakni Ketua PKB Jember HM Madini Farouq, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jatim MZA Djalal, Bupati Samsul Hadi Siswoyo, Wakil Bupati Bagong Sutrisnadi, Sekretaris Kabupaten Jember Djoewito, Tokoh NU dr Endang Ma'ruf Randi, dan Kepala Dinas Pendidikan Pamekasan Moch Sholeh. Namun, dua nama yang diloloskan untuk dipilih Dewan Pimpinan Pusat PKB adalah MZA Djalal dan Samsul Hadi Siswoyo.

Konvensi yang mirip pemilu mini yang digelar PDI Perjuangan Jember menghasilkan tiga besar pasangan kepala daerah dengan suara terbanyak, yakni Samsul Hadi Siswoyo – Sutalik, Haryanto – Gunawan Sakibi, dan MZA Djalal – Kusen Andalas. Semua kandidat wakil bupati adalah kader PDI Perjuangan.

Keterbukaan partisipasi oleh partai politik di tingkat kabupaten ini tak menjamin eskalasi politik bakal berjalan stabil. Justru yang terjadi adalah konflik hebat di internal partai. Konflik ini terjadi karena perbedaan pilihan dan preferensi politik tiap-tiap kader.

Masing-masing kader berjuang agar jago masing-masing bisa diloloskan sebagai kandidat resmi yang diberangkatkan partai. Gesekan menjadi tak terelakkan, saat mereka sama-sama berjuang agar jago masing-masing disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.

III.2 Konflik Parpol dan Implikasinya
Selama proses pemilihan kepala daerah tahun ini, tercatat oleh media massa ada sejumlah konflik besar internal partai politik, yakni konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Karya Peduli Bangsa.

Konflik-konflik ini memiliki implikasi dan bentuk berbeda-beda. Pertama, berimplikasi pada perpecahan kepengurusan partai politik; kedua, berimplikasi hingga proses hukum; ketiga, berimplikasi pada bentuk pembangkangan personal terhadap keputusan resmi partai yang dianggap tak sejalan.

Konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa Jember memiliki jenis implikasi pertama. Konflik ini terjadi karena perbedaan pilihan dan preferensi kandidat antara pengurus cabang dengan pengurus anak cabang. Pengurus cabang lebih condong memilih MZA Djalal sebagai kandidat resmi untuk berpasangan dengan Ketua DPC PDI Perjuangan Jember, Kusen Andalas.

Pengurus cabang memandang, PKB perlu berkoalisi dengan PDI Perjuangan untuk memenangkan pilkada. Keputusan itu tak didukung oleh 26 pengurus anak cabang yang mengklaim mendukung Samsul Hadi Siswoyo, kandidat incumbent. Mereka juga merasa tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pengurus cabang.

Pertentangan ini berlanjut hingga ke tingkat pusat. Para pendukung Samsul Hadi Siswoyo melobi Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syuro Dewan Pimpinan Pusat PKB, untuk meloloskan jagonya sebagai calon resmi partai tersebut. Akhirnya, keluarlah memo bertuliskan tangan dilengkapi tanda tangan Wahid yang menyatakan dukungan terhadap Samsul untuk diberangkatkan sebagai calon bupati dari PKB, dengan HM Madini Farouq sebagai calon wakil bupati.

Namun, pengurus cabang bertindak lebih cepat dengan mendaftarkan pasangan MZA Djalal – Kusen Andalas ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Jember. KPUD menganggap pencalonan itu sah, karena dilengkapi tanda tangan ketua dan sekretaris cabang.

Keinginan kubu pendukung Samsul agar KPUD membatalkan pencalonan tersebut tidak bisa diterima, karena dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 62 ayat (1) disebutkan, partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calonnya, terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD.

Sejak saat itu perpecahan menimpa partai terbesar di Jember tersebut. Kubu pendukung Samsul menolak menuruti keputusan pengurus cabang, dengan alasan lebih menaati Gus Dur. Mereka juga menduduki kantor cabang dan sempat melakukan kericuhan di ruang Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Jember, yang diliput sebagian besar media massa.

Persoalan semakin berlarut-larut, setelah DPP PKB menetapkan kepengurusan cabang yang dipimpin Madini Farouq dibekukan atas usulan pengurus anak cabang pendukung Samsul. Melalui Musyawarah Cabang Khusus, terpilihlah Miftahul Ulum sebagai pengganti Madini. Madini sendiri menolak dibekukan, dan akhirnya ada dua kepengurusan PKB yang sama-sama menyatakan sah.

Hingga usai pilkada pun, kepengurusan kembar ini tetap belum terselesaikan. Kali ini persoalan bukan lagi menyangkut pilkada, tapi terkait dukungan terhadap dua kubu DPP PKB yang juga terbelah, yakni pimpinan Muhaimin Iskandar dengan Alwi Shihab yang kemudian digantikan Choirul Anam. Upaya Islah sulit dilakukan, selama PKB di tingkatan pusat tak melakukan islah.

Senasib dengan PKB adalah Partai Demokrat dan Partai Karya Peduli Bangsa. Partai Demokrat di bawah pimpinan Gunawan Sutheja dan PKPB di bawah pimpinan Rudolf Sahureka telah berkoalisi bersama Partai Persatuan Pembangunan untuk mencalonkan pasangan Samsul Hadi Siswoyo – Baharuddin Nur. Namun pencalonan itu dipersoalkan, karena muncul kepengurusan ganda di tubuh kedua partai tersebut.

Partai Demokrat menganggap pencalonan Samsul oleh partai itu tak sah, karena Gunawan telah resmi dinonaktifkan sebelum menandatangani surat pengajuan calon. Dewan Pimpinan Daerah Demokrat Jawa Timur resmi menunjuk Resminarno sebagai pengganti Gunawan. Resminarno sendiri telah memutuskan berkoalisi dengan PAN untuk mendukung Bagong Sutrisnadi. Tapi di lain pihak, muncul kubu Anang Haryanto yang mengklaim diri menjadi ketua menggantikan Gunawan atas mandat dari Dewan Pimpinan Pusat.

Konflik Partai Karya Peduli Bangsa tak kalah ruwet. Mulanya, Ketua Golkar Jember Machmud Sardjujono mengklaim telah berkoalisi dengan PKPB Jember yang diketuai Sanusi Fadillah Muchtar untuk mencalonkan dirinya sebagai calon bupati.

Golkar dengan enam kursi di parlemen memang tinggal membutuhkan satu kursi lagi untuk bisa mendaftarkan calonnya dalam pilkada. Namun ternyata Sanusi dikudeta oleh sejumlah pengurus kecamatan dan digantikan Rudolf Sahureka. PKPB versi Rudolf inilah yang kemudian mencalonkan Samsul Hadi Siswoyo.

Pencalonan Samsul oleh PKPB yang diketuai Rudolf ini dinilai tak sah, karena ternyata kepengurusan pengganti Sanusi yang disahkan Dewan Pimpinan Daerah PKPB Jatim adalah kepengurusan yang diketuai Andika. Persoalan beralih ke jalur hukum, setelah Abdullah Faqih, Ketua PKPB Jatim mengaku disuap oleh salah satu anggota KPUD Jember sebesar Rp 25 juta untuk mengesahkan PKPB pimpinan Rudolf dan bukannya Andika. Kepolisian Daerah Jatim sempat mengusut kasus ini, namun hingga saat ini belum jelas kelanjutannya.

Konflik yang berimplikasi hingga proses hukum adalah konflik di tubuh Partai Amanat Nasional. Persoalan di tubuh PAN juga berawal dari perbedaan preferensi dukungan antara pucuk pimpinan Dewan Pimpinan Daerah Jember, KH Lutfi Ahmad, dengan sejumlah pengurus daerah lainnya.

Sejumlah pengurus yang dimotori Abdul Ghafur, Sekretaris DPD PAN Jember, lebih condong mencalonkan Bagong Sutrisnadi berpasangan dengan Umar Fauzi, dan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Pilihan Ghafur dan pengurus DPD lainnya sejalan dengan hasil konvensi PAN yang menempatkan Bagong di urutan pertama dalam hal jumlah dukungan. Sebaliknya, Lutfi Ahmad dikabarkan cenderung mendukung Samsul Hadi Siswoyo, kendati kepada pers ia mengaku bersikap netral.

Konflik ini melebar ke jalur hukum dan melibatkan KPUD Jember, setelah pencalonan Bagong ditolak oleh KPUD. Pengurus PAN yang diwakili Ghafur dan Partai Demokrat yang diwakili Resminarno tidak diperkenankan mengambil formulir pendaftaran, karena mandat pengambilan formulir tidak ditandatangani Lutfi Ahmad selaku ketua DPD PAN Jember. Pendaftaran yang dilakukan kubu Bagong dengan formulir yang dibuat sendiri pun ditolak karena dianggap tak sah.

Keputusan KPUD ini membuat kubu pendukung Bagong berang, dan mengadukannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun, pengaduan itu ditolak oleh PTUN.
Sementara itu, sejumlah aktivis PAN yang dimotori Bambang Irawan mulai membongkar dugaan penyuapan yang dilakukan salah satu kandidat kepada PAN Jember.

Menurut pengakuan Bambang kepada media massa, Ketua KPUD Jember Achmad Syakir Asyari diduga kuat telah memberikan uang sebesar Rp 350 juta kepada pengurus PAN yang kemudian dibagikan kepada pengurus tingkat kecamatan di pondok pesantren Lutfi Ahmad. Hingga saat ini, persoalan itu tak pernah dibuktikan secara hukum. Syakir dan Lutfi sama-sama membantah. Namun, Bambang dengan payung Kelompok Kerja Pemberantasan Korupsi telah melaporkannya ke DPRD Jember.

Implikasi konflik jenis ketiga yakni bentuk pembangkangan personal terhadap keputusan resmi partai yang dianggap tak sejalan, adalah implikasi yang paling ringan. Ini bisa dilihat pada PDI Perjuangan. Sejumlah pendukung Samsul di partai ini melakukan perlawanan, setelah Dewan Pimpinan Pusat memutuskan PDI Perjuangan mencalonkan pasangan MZA Djalal – Kusen Andalas.

Keputusan ini dianggap bertentangan dengan hasil rakercabsus yang menempatkan pasangan Samsul Hadi Siswoyo – Sutalik di tempat pertama dalam hal perolehan suara. Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Jatim sendiri menganggap rakercabsus bukan hasil mutlak. Hasil tersebut hanya dipakai sebagai salah satu pertimbangan pengambilan keputusan di tingkatan DPP.

Kecewa dengan keputusan tersebut, para pendukung Samsul melakukan sejumlah aksi. Mereka sempat mengepung kantor KPUD Jember untuk mencegah Dewan Pimpinan Cabang mengambil formulir pendaftaran. Sejumlah pendukung Samsul juga sempat melakukan kericuhan dalam rapat sosialisasi keputusan DPP di kantor DPC. Beberapa tokoh penentang keputusan DPP bersikukuh tetap mendukung Samsul kendati terancam sanksi disiplin.

IV. Struktur Konflik dan Solusi
Berdasarkan gambaran di atas, konflik internal di tubuh partai selama pilkada langsung bisa dikelompokkan dalam beberapa faktor. Pertama, faktor tidak adanya ketidaksamaan sikap antar sesama pengurus di tingkat kabupaten, sebagaimana terlihat di tubuh PKB dan PAN. Kedua, faktor intervensi dari pengurus pusat, sebagaimana tampak dalam kasus PKB dan PDI Perjuangan. Ketiga, faktor intervensi pihak eksternal sebagaimana terlihat dalam kasus PKPB dan Partai Demokrat.

Konflik-konflik tersebut bisa dibaca sebagai tidak terbiasanya kita menghadapi perbedaan dan mengelolanya, sekaligus mengkomunikasikannya. Ulil Abshar Abdalla (1998) berpendapat, nafsu untuk harmoni, di zaman Orde Baru, begitu besarnya sehingga menyebabkan komunikasi politik dalam pelbagai levelnya mengalami distorsi dan menjadi tidak rasional.

Dalam konteks konflik internal parpol selama pilkada di Jember, ketidakrasionalan tampak dengan diabaikannya misi dan visi parpol dalam berpolitik, dan parpol terjebak dalam pertarungan politik yang elitis.

Semua konflik yang dialami parpol di Jember memang dapat disebut elitis, karena hanya melibatkan sejumlah fungsionaris partai dan bukannya massa. Massa hanya dikerahkan untuk bergerak dan berunjukrasa menurut kehendak elite dan kelompok kepentingan.

Konflik-konflik tersebut sebenarnya bisa dieliminasi sejak awal. Pertama, dengan adanya keterbukaan antara sesama pengurus partai dalam mengambil keputusan. Tidak boleh ada pengurus yang mengambil keputusan dengan tertutup, karena bisa memunculkan isu yang mengganggu internal partai bersangkutan. Artinya, kalangan parpol harus bisa menghidupkan kultur berembuk.

Tradisi “berembuk” adalah tradisi yang baik. Ia merupakan modal yang baik bagi pertumbuhan demokrasi karena mendorong manusia warga masyarakat untuk mau bebricara, mengutarakan pendapat, mengutarakan persetujuan, mengutarakan ketidaksetujuan atau kejengkelan. (Kayam, 1989)

Kedua, perlunya konsistensi dalam memutuskan sesuatu. Jika sudah ada kesepakatan bersama, maka hal itu harus ditaati, dan tak boleh ada oknum pengurus yang bertindak atas kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan partai.

Ketiga, saatnya pengurus pusat tidak mengintervensi daerah dan membiarkan daerah mengambil keputusan sendiri. Jika pengurus pusat masih melakukan intervensi, maka akan bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Pengurus daerah harus diberi kepercayaan, karena paling memahami kondisi daerahnya masing-masing.

Partai Amanat Nasional sudah menunjukkan contoh bagus dalam proses demokratisasi. Pengurus pusat menyatakan tak akan mengintervensi daerah dalam menentukan calon kepala daerah. Langkah ini perlu disambut pengurus daerah dengan merapatkan barisan sehingga bisa tetap solid dan tidak terpecah belah. Semoga ini bisa dilakukan dalam pilkada masa mendatang. (*)


Daftar Pustaka

Abdalla, Ulil Abshar, Menuju Politik Konkret, Kompas, 7 – 8 Oktober 1998

Hatta, Moh., Kebangsaan dan Kerakyatan, dalam Kumpulan Karangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Kayam, Umar, Menghidupkan Kultur Masyarakat Berembuk, makalah Seminar Sehari “Demokrasi dan Proses Demokratisasi di Indonesia yang digelar Yayasan Paramadina, 1989

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Rais, M. Amien, Belajar dari Demokrasi ala Soeharto, dalam Jika Rakyat Berkuasa, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Syafri, Wirman, dan Nasri, Imron (ed), Merangkai Sejarah Menatap Masa Depan: Refleksi Kelahiran Partai Amanat Nasional, Jogjakarta: Suara Muhammadiyah bekerjasama dengan Balai Litbang DPD PAN Kota Yogyakarta

-----, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Kumpulan Kliping Harian Suara Indonesia sepanjang tahun 2005

No comments: