Dari Meja Politik ke Meja Hakim
Pertarungan politik pemilihan kepala daerah di Jember dan Banyuwangi berbuntut hingga PTUN. Imbas tafsir ketat terhadap UU dan konflik internal parpol.
Hari-hari ini, sepasukan polisi terus berjaga di Kalimantan 32, Kabupaten Jember. Kantor Komisi Pemilihan Umum Jember memang tengah menjadi pusat perhatian publik, hingga Juni mendatang. Setiap hari kantor itu tak pernah lengang dari hilir mudik para petinggi parpol. Bahkan, ketegangan membekap, saat pendaftaran calon dibuka.
Ketegangan yang tak ubahnya sumbu pendek konflik lebih luas itu disulut oleh salah satu kebijakan KPU. Mulanya hanyalah pengambilan berkas formulir pendaftaran. Dengan alasan tak ingin dokumen negara berceceran di mana-mana, KPU memperketat syarat pengambilan berkas tersebut.
Setiap parpol atau gabungan parpol yang ingin mengambil formulir harus membawa surat mandat yang ditandatangani ketua dan sekretaris parpol. Selain itu, nama pasangan bakal calon kepala daerah yang bakal diusung pun harus disebutkan.
Syarat itu membuat kalangan parpol pusing dan geram. Betapa tidak. Saat pengambilan formulir dibuka pada 28 Maret - 3 April, sebagian besar parpol belum mengantongi nama bakal calon bupati dan pasangannya yang bakal diusung. Bukan apa-apa. Partai-partai itu, terutama PKB dan PDIP, masih harus menanti surat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat masing-masing.
Keputusan itu membuat parpol dalam posisi dilematis. "Bagaimana kalau setelah DPC menyebut nama suatu pasangan, lantas ternyata pasangan itu tidak direkomendasi DPP? Kalau DPC lantas tiba-tiba mengubah nama pasangan sesuai amanat DPP, bisa-bisa kami disebut melakukan kebohongan publik," tandas Abdul Ghafur, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PAN Jember.
KPU akhirnya memperlunak syarat tersebut, sehari menjelang berakhirnya masa pengambilan formulir. Setiap parpol atau gabungan parpol boleh mengambil berkas formulir tanpa menyebut nama pasangan kandidat. Namun KPU tetap mensyaratkan surat mandat yang ditandatangani ketua dan sekretaris parpol.
Masalah pun masih membayangi. Dua parpol besar yang mempunyai jumlah perolehan suara pemilu yang cukup untuk mencalonkan bupati tanpa berkoalisi, PKB dan PDIP, tak ada masalah dengan aturan itu. Namun tidak dengan parpol-parpol yang harus berkoalisi untuk bisa mendaftarkan nama pasangan kandidat kepala daerah.
Perwakilan PAN dan Partai Demokrat ditolak mentah-mentah mengambil berkas pendaftaran oleh KPU. Alasannya, perwakilan kedua partai tidak membawa syarat surat mandat dan belum ada kesepakatan berkoalisi.
PAN dan Demokrat di Jember memang tengah dibelit konflik, dalam urusan calon-mencalonkan bupati. Di tubuh PAN tak ada kata sepakat antara mendukung Samsul Hadi Siswoyo, Bupati Jember saat ini, atau Bagong Sutrisnadi yang saat ini menjabat wabup Jember. Begitu juga di tubuh Demokrat, yang terbelah antara mendukung Samsul atau Bagong.
Akhirnya, koalisi PAN - Demokrat yang ingin mencalonkan Bagong pun gagal mengambil berkas formulir. Belakangan, Ketua DPC Demokrat Jember Gunawan Sutedjo membuat keputusan sendiri, dengan menandatangani formulir dukungan untuk Samsul. Menurut versi Gunawan, Demokrat berkoalisi dengan PKPB dan PPP.
Namun, koalisi PAN - PD mendukung Bagong yang tak direstui ketua partai masing-masing itu jalan terus. Saat hari terakhir pengembalian formulir (10/4), beberapa fungsionaris parpol tetap memasukkan nama duet Bagong Sutrisnadi - Umar Fauzi.
Di sinilah masalah itu timbul. KPU Jember menolak menerima berkas pendaftaran tersebut.
Alasannya sederhana. "Koalisi PAN - Demokrat tidak mengambil formulir pendaftaran. Kami hanya menerima berkas formulir yang diambil resmi dari KPU," kata Sudarisman, Ketua Kelompok Kerja Pencalonan KPU Jember.
Maka, murkalah para pendukung Bagong. "Ini tidak betul. KPU telah memangkas hak-hak politik kami," tukas Ghafur. Tak butuh waktu lama, massa pendukung Bagong berunjukrasa di kantor KPU. Mereka menuntut sang jagoan diterima sebagai bakal calon bupati.
Para pendukung Bagong juga bergerak di jalur hukum. Mereka menggugat KPU Jember ke Pengadilan Tata Usaha Negara. "Kami ingin penjelasan dari PTUN tentang persoalan formulir yang dijadikan landasan KPU menolak pencalonan saya," kata Bagong.
Menurut Bagong, tak seharusnya KPU menolak pengembalian berkasnya, karena tak ada aturan jelas yang mengatur proses pengembalian formulir serumit itu. Tak aneh, jika Bagong optimis PTUN akan mengabulkan gugatannya tersebut.
"Kalau di PTUN ada penjelasan yang bagus, saya optimistis bisa lolos. Apalagi ternyata syarat pengambilan formulir ini tidak berlaku nasional, tapi hanya berlaku di Jember," katanya.
Urusan politik yang merambat ke hukum semakin tak tertahan, setelah kubu pendukung Bagong dan kubu lawan politik Samsul mendapati celah. Menurut Anang Hariyanto, salah satu ketua bidang di Demokrat Jember, Gunawan sudah tidak boleh menorehkan tanda tangan dukungan untuk calon mana pun.
Pasalnya, yang bersangkutan sudah diberhentikan sebagai ketua oleh Dewan Pimpinan Daerah Demokrat Jatim. Gunawan dinilai telah melanggar sekian ketentuan partai. Sebagai gantinya, DPD mengangkat Resminarno, Wakil Sekretaris DPD Demokrat Jatim, untuk menduduki kursi pejabat ketua.
Atas ulahnya itu, Resminarno dan jajaran Demokrat melaporkan Gunawan ke kepolisian. Gunawan dianggap telah melakukan penipuan. Bersama Demokrat, Ketua PKPB Jember Ahmad Afandi juga melaporkan pejabat sementara Ketua PKPB Rudolf Sahureka. Rudolf dipolisikan karena juga dinilai 'kurang ajar' membubuhkan tanda tangan untuk Samsul. Padahal, posisi pejabat sementara sudah selesai setelah Afandi terpilih sebagai ketua dalam musyawarah cabang luar biasa awal April.
Belum jelas persoalan ruwet pencalonan itu bakal berujung di mana. Yang terang, Sudarisman menyatakan, KPU Jember tetap akan berpegang pada aturan. "Semua berkas yang masuk tidak boleh ditarik lagi," katanya.
Namun, Sudarisman tidak menjelaskan bagaimana jika salah satu berkas itu bermasalah dalam urusan tanda tangan. Saat ini di KPU Jember telah masuk tiga berkas, yakni milik duet MZA Djalal - Kusen Andalas (PDIP - PKB), Samsul Hadi Siswoyo - Baharuddin Nur (PPP, PKPB, Demokrat), dan Mahmud Sardjujono - Hariyanto (Golkar, PBB, PPNUI, PBR).
Pertarungan politik yang berpindah ke meja hukum juga terjadi di Banyuwangi. KPU Banyuwangi digugat PKB versi Hasyim Cholil, karena menolak pencalonan Samsul Hadi yang saat ini menjabat sebagai bupati Banyuwangi. KPU justru lebih suka menerima berkas pendaftaran PKB versi Achmad Wahyudi yang mencalonkan Wahyudi sendiri.
Di Banyuwangi, PKB memang terbelah dua kepengurusan antara yang diketuai Hasyim dengan Wahyudi. Dewan Pimpinan Pusat PKB sendiri lebih suka merestui kubu Hasyim Cholil. Bahkan, DPP memecat Wahyudi dari keanggotaan PKB.
Namun, KPU Banyuwangi jalan terus. Persoalan ini akhirnya dibawa ke PTUN. Di meja hijau, KPU dinyatakan kalah, dan seharusnya menerima pencalonan Samsul Hadi. Sebagian kalangan pun menilai, KPU memang sudah terlampau masuk ke dalam persoalan internal PKB. Semustinya KPU menerima berkas pendafaran PKB versi Cholil yang diakui DPP.
Namun, KPU Banyuwangi menolak tunduk. Achmad Syakib, Ketua KPU Banyuwangi mengatakan, pihaknya punya dasar hukum untuk menolak pencalonan PKB kubu Cholil. "Jika ada sengketa dua kepengurusan kembar dalam satu partai, maka kami harus mendahulukan kepengurusan yang lebih dulu ada," kata Syakib.
Syakib tidak mau menyerah. Bahkan, ia menyewa penasehat hukum untuk mengajukan banding atas keputusan PTUN tersebut. Namun, di lapangan, KPU Banyuwangi dihantam masalah karena berkonflik dengan Bupati Samsul.
Menurut Syakib, Pemkab Banyuwangi sama sekali belum mencairkan dana penyelenggaraan pilkada sebesar Rp 5,9 M. Bahkan, sempat ada ancaman Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mengadakan aksi mogok bila Samsul masih ditolak mendaftar. Sebagian besar kepala desa juga menyatakan akan memboikot pilkada. "Tapi tak masalah. Kami tetap akan melaksanakan pilkada sesuai amanat UU," kata Syakib. (oryza ardyansyah w)
Ditulis untuk Majalah Legal Review
16 April 2005
Labels: Politik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment