13 March 2004

Sulitnya Mencari Jurus Tangkal Maling Penyu

Tak mudah menangkal pencurian telur penyu hijau di wilayah Meru Betiri dan Nusa Barong. UU No. 5/1990 perlu dijadikan lex spesialis.

Tahun 2025, tak ada lagi yang penyu hijau mampir di Sukamade. Siswoyo, Kepala Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), tak hendak membuat nubuat. Tapi ia punya data yang memang patut membuat semua pecinta lingkungan hidup khawatir habis.

Simaklah. Siswoyo memperkirakan, saat ini jumlah penyu hijau yang mendarat dan bertelur di Sukamade hanya 5 - 9 ekor setiap malam. Jumlah ini jauh berkurang bila dibandingkan dekade 1980-an. Kala itu, 20 - 30 ekor penyu hijau mendarat dan bertelur di kawasan pantai yang terletak di Banyuwangi itu. Pantai ini disukai penyu hijau, karena pasirnya berjenis nagelan yang memiliki buliran besar.

TNMB mencatat, populasi penyu hijau sejak tahun 1980 sampai 2003 melebihi jumlah populasi penyu belimbing, penyu sisik, dan penyu selengkrah. Sekitar 13.002 ekor penyu hijau telah bertelur, dan sebanyak 5586 ekor memeti (hanya mendarat dan melihat kondisi pantai), selama 23 tahun. Sementara itu, hanya ada 173 ekor penyu belimbing yang mendarat dan bertelur, 99 ekor penyu sisik, dan 81 ekor penyu selengkrah.

Dengan jumlah yang sedemikian besar, selama 23 tahun, TNMB telah menetaskan 1.013.132 butir telur yang terdapat di sepanjang pantai Sukamade. "Namun yang hidup paling banyak hanya lima persen dari jumlah keseluruhan telur yang menetas," kata Siswoyo.

Susutnya populasi penyu juga terjadi di pantai Nusa Barong yang terletak di wilayah Kabupaten Jember. Sudarminto, Kepala Bagian Tata Usaha dan Humas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim II mengatakan, pada 1980-an sekitar 20 ekor penyu setiap malam di sisi selatan pulau tersebut.

"Namun menurut penelitian terakhir tahun 2001, hanya enam ekor penyu mendarat di pantai itu setiap malam. Itu jika cuaca normal. Jika ombak besar, yang mendarat bisa 8 - 10 ekor," kata Sudarminto. Dengan kemampuan satu ekor penyu bertelur antara 100 - 160 butir, diperkirakan jumlah telur di pantai Nusa Barong berkisar antara 800 - 1600 butir setiap malam.

Kian susutnya jumlah penyu hijau yang mendarat di Sukamade dan Nusa Barong bukannya tanpa sebab. Selain karena persoalan alam, dimana telur penyu hijau menjadi bagian dari rantai makanan di samudra, ada persoalan lain yang lebih serius. Manusia menjadi ancaman terbesar bagi penyu hijau.

Di Indonesia, perburuan penyu hijau sangat diminati. Daging penyu hijau biasanya dijual dengan harga tinggi, dan menjadi menu makanan berkelas. Kepala penyu hijau dewasa dijadikan bagian dari ritual keagamaan. Sementara itu, telurnya dipercaya sebagai campuran jamu kuat yang mujarab.

"Pasar terbesar daging penyu adalah Bali," kata Siswoyo. Sementara untuk telurnya, lebih banyak dijumpai di pasaran Banyuwangi atau Jember.

Hari-hari ini, telur penyu semakin banyak diminati. Selain harganya yang lumayan mahal - sekitar Rp 2500 per butir - telur penyu lebih gampang ditilap dalam jumlah besar. Tertangkapnya seorang warga Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember yang menyimpan 1.055 butir telur penyu hijau, medio Januari lalu, bisa dijadikan bukti.

Namun menangkap basah maling telur penyu bukan persoalan gampang bagi aparat. Sejauh ini, TNMB dan BKSDA Jatim II hanya mampu menangkap maling kelas teri. Tahun 2003 lalu, TNMB menangkap dua orang maling telur penyu di Sukamade. Namun, jumlah telur yang berhasil disita tak banyak. Setali tiga uang, dalam operasi sepanjang tahun 2002 dan 2003, BKSDA Jatim II hanya berhasil menyita 150 butir telur.

Para maling itu diakui cukup lihai dalam beroperasi. Di Sukamade, mereka biasanya masuk ke wilayah pantai, saat pergantian shift jaga malam hari. Mereka sudah paham tempat-tempat penyu bertelur di sepanjang pantai antara pukul 20.00 - 03.00. Dengan hanya memasang enam penjaga untuk mengawasi pantai, sulit mengharapkan maling-maling ini tak lolos. Apalagi jarak pos monitoring terlampau jauh dari pantai, sekitar 700 meter.

Pola agak berbeda digunakan maling telur penyu di Nusa Barong. Sudarminto mengatakan, para maling biasanya menyamar sebagai nelayan. "Nyali mereka cukup besar," katanya.

Bayangkan, untuk ke Nusa Barong, maling-maling ini nekat berenang menghadapi gelombang ombak besar. Sekadar tahu saja, dalam cuaca normal, pulau yang berada di laut Selatan ini berjarak tiga jam perjalanan laut dari pantai Puger dengan menggunakan perahu.

Yang meyedihkan, tak ada penjaga yang siap sedia di atas pulau seluas 6200 hektar itu. Ketiadaan penjaga ini dikarenakan sulitnya memperoleh air tawar untuk bertahan hidup. "Kalau itu sudah teratasi, kawan-kawan bisa stand by di sana," kata Sudarminto.

Dengan kondisi ini, BKSDA hanya bisa mengandalkan pengawasan terhadap para nelayan. Tapi pengawasan model begini juga susah. Pasalnya, petugas tak mungkin menggeledah ribuan kapal yang merapat ke pantai Puger, kecuali ada yang dicurigai.

Petugas semakin kesulitan menangkal maling telur itu, karena sindikasi yang cukup rapi. Para pedagang telur penyu di pasar gelap punya modus transaksi sendiri. Dalam modus transaksi ini, seorang pembeli atau peminat telur penyu harus menghubungi seorang perantara.

Sang perantara inilah yang berperan mencari seorang pencuri telur yang sanggup memenuhi jumlah pesanan sang pembeli. Harga telur yang harus dibayarkan pembeli kepada sang maling akan ditentukan oleh perantara tersebut. Setelah barang tersedia, sang pencuri akan diminta mengantarkan pesanan kepada sang pembeli, dan menerima imbalan sesuai harga yang ditentukan perantara. Sang perantara sendiri menerima imbalan lain dari sang pembeli, setelah telur diterima.

TNMB dan BKSDA bukannya tak kurang akal. Kedua institusi ini sudah berusaha memasang informan. Tapi akurasi pelaporannya pun masih dipertanyakan. "Kami pernah mendapat laporan soal perahu canggih yang menangkap penyu. Tapi setelah dicari tidak pernah ketemu," kata Sudarminto.

Siswoyo mengatakan, jurus tangkal maling penyu bisa diciptakan melalui perangkat aturan hukum. "Mestinya, pencuri telur penyu dihukum dengan berat, sesuai UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem," tegasnya.

Dalam UU tersebut, para maling telur penyu bisa diganjar lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 juta. Sayangnya, para hakim masih sering menjatuhkan hukuman terlampau ringan. Hukuman ringan seperti ini tentu tak akan memunculkan efek jera, dan malah memicu efek kambuhan. Siswoyo mencontohkan sebagian maling penyu adalah orang itu-itu saja.

Oleh sebab itu, Siswoyo menekankan perlunya UU No 5/1990 dijadikan lex spesialis. "Isu penyu sudah jadi isu internasional. Jadi perlu ada penanganan serius," katanya. (oryza ardyansyah)

Ditulis untuk majalah Legal Review

1 comment:

cahill said...

semoga penyu2 khususnya di jember tetap lestari !!!
ditunggu link baliknya ya !!!!
www.techno-kom.blogspot.com